POTENSI RESESI GLOBAL
Menyikapi Turbulensi Ekonomi
Resesi ekonomi global yang kian mengancam jadi isu yang banyak disorot beberapa bulan terakhir. Potensi resesi global yang dipicu terutama oleh konflik dagang Amerika Serikat-China ini, menurut sejumlah ekonom dan lembaga, bisa lebih buruk dari Resesi Besar (Great Recession) 2009 dan terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) 1930-an.
Sejumlah lembaga internasional, baik IMF, Bank Dunia, UNCTAD, OECD, WEF maupun yang lainnya, beberapa kali merevisi pertumbuhan ekonomi dunia dalam setahun terakhir menjadi lebih rendah. Perlambatan terjadi di sejumlah kawasan perekonomian besar, seperti China, Uni Eropa (UE), Jepang, dan Korsel. China berisiko tumbuh di bawah 6 persen tahun ini, terendah dalam hampir tiga dekade terakhir.
AS masih tumbuh, tetapi tanda-tanda ke arah resesi mulai muncul, yakni terjadinya inverted yield curve, yaitu situasi di mana imbal hasil obligasi jangka panjang lebih rendah dari obligasi jangka pendek. Di kalangan G-20, lima negara (Inggris, Italia, Jerman, Meksiko, dan Brasil) di ambang resesi. Dari lima negara, yang menurut Morgan Stanley pada 2013 dianggap rentan/rapuh (Fragile Five), satu negara, yakni Turki, resmi memasuki resesi dan empat lainnya (Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan) melambat.
Probabilitas resesi
Meski perlambatan kian mengancam perekonomian global, belum ada kesepakatan soal seberapa besar probabilitas resesi terjadi pada 2019 dan 2020. IMF melihat resesi belum di depan mata, tetapi mengingatkan resesi di AS bisa menuntun ke resesi di UE dan Jepang sebelum akhirnya resesi global. UNCTAD melihat resesi global tak terhindarkan. Moody’s Analytics memprediksi resesi global terjadi 12-18 bulan ke depan.
Hal yang masih positif kini adalah pelemahan yang terjadi masih terbatas di sektor manufaktur dan perdagangan, belum merembes ke sektor jasa, pendapatan rumah tangga, dan konsumsi. Sebagian perekonomian dunia juga masih membukukan pertumbuhan. Lapangan kerja juga tetap tumbuh di AS dan Eropa.
Dalam rangka membentengi perekonomiannya dari dampak perlambatan ekonomi global, beberapa negara menempuh kebijakan fiskal kontrasiklus dengan menggelontorkan stimulus dan memperbesar defisit fiskal serta melakukan pelonggaran moneter dengan ramai-ramai menurunkan suku bunga.
Langkah bank sentral sejumlah negara, termasuk Bank Sentral AS, menurunkan suku bunga dan harapan dicapainya kesepakatan antara AS-China terkait konflik dagang sempat memunculkan optimisme dan penguatan di pasar finansial beberapa hari terakhir. Sentimen positif ini juga didukung oleh mulai stabilnya beberapa indikator ekonomi kunci di sejumlah negara.
Pertanyaannya, sampai kapan ini bertahan? Beberapa kalangan melihat resesi kali ini beda dengan Resesi Besar 2009 atau Depresi Besar 1930-an. Pada kasus saat ini, pertumbuhan perdagangan global, menurut Bank Dunia, terendah dalam 10 tahun terakhir. Efek krisis perdagangan ke jantung kegiatan ekonomi global biasanya jauh lebih besar dan lama. Perlambatan perdagangan global kali ini dinilai juga jauh lebih kompleks dan sistemik dari sebelumnya.
Pada saat yang sama, kepercayaan pelaku bisnis juga terpuruk, demikian pula investasi, baik di negara maju maupun berkembang. Problem utang pemerintah di negara maju dan berkembang makin mengamplifikasi situasi sulit yang mencengkeram perekonomian global. Sementara angka gagal bayar utang korporasi juga meningkat.
Berbeda dari resesi-resesi sebelumnya, resesi kali ini dinilai sifatnya self-inflicted, dipicu terutama oleh kebijakan proteksionis Trump dalam rangka merealisasikan slogan ”Make America Great Again”, yang kemudian memicu perang dagang AS dengan China dan sejumlah negara lain.
Resistensi terhadap globalisasi, bangkitnya populisme, dan meningkatnya tren proteksionisme dalam rezim perdagangan ini memukul perdagangan dan manufaktur global dan akhirnya pertumbuhan ekonomi global itu sendiri.
Perdagangan global diprediksi hanya tumbuh 1,2 persen pada 2019, terendah sejak krisis finansial global 2009. Untuk 2020, perdagangan diprediksi tumbuh 2,7 persen, lebih rendah dari proyeksi semula 3 persen. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengingatkan kemungkinan risiko ketegangan ekonomi ini berlangsung ”satu generasi” dan meluas ke hancurnya rantai pasokan dan perdagangan global.
Langkah bersama global
Para pemimpin lembaga, seperti IMF dan Bank Dunia, menilai, perlu langkah terkoordinasi global untuk mencegah perlambatan ekonomi dunia bertransmisi menjadi resesi global skala penuh. Harapan besar digantungkan pada AS-China untuk menghentikan friksi dagang di antara mereka.
Kondisi 2020 masih akan berat, terutama jika muncul babak baru perang dagang AS-China. UE kini juga mencemaskan pecahnya tensi perang dagang skala penuh transatlantik dengan memanasnya sengketa dengan AS menyangkut subsidi penerbangan, tarif kendaraan, dan pajak digital.
Upaya membalikkan ancaman resesi tergantung dari kemampuan pemerintah dan bank sentral dunia menstimulasi ekonomi untuk menghentikan perlambatan ekonomi. Ada kekhawatiran, perekonomian global tenggelam dalam resesi tanpa pelampung penyelamat karena instrumen kebijakan normal, seperti pelonggaran moneter dan stimulus fiskal, saja kemungkinan tak akan efektif atau cukup.
Kebijakan moneter juga diragukan akan efektif di sejumlah negara, seperti Eropa dan Jepang, di mana suku bunga sudah nol persen atau mendekati nol persen. Dengan instrumen moneter diragukan efektivitasnya, banyak negara kini menggantungkan pada instrumen kebijakan fiskal.
Namun, tidak semua negara punya keleluasaan dalam manuver fiskal, terutama dengan problem utang pemerintah dan defisit fiskal yang dimiliki. Kebijakan seperti penurunan bunga dan depresiasi mata uang buat memacu daya saing yang ditempuh banyak negara juga memunculkan komplikasi tersendiri, menuntun ke perang nilai tukar dan suku bunga yang juga berbahaya.
Bagaimana prospek 2020? Situasi sulit diperkirakan masih akan dihadapi negara-negara yang perekonomiannya dalam kondisi sangat tertekan. Perekonomian besar, seperti Meksiko, Brasil, dan Rusia, diprediksi sedikit membaik, tetapi tidak demikian dengan empat perekonomian terbesar dunia, yakni China, AS, Uni Eropa, dan Jepang.
Kepada siapa harapan kepemimpinan global dalam mengatasi ancaman resesi dunia yang diperkirakan lebih buruk dari Resesi Besar 2009 disandarkan? Dalam beberapa kali pertemuan para pemimpinnya, G-20 yang mewakili 85 persen PDB dunia gagal memformulasi konsensus bagaimana menghentikan manuver Trump dan membendung risiko resesi global 2019-2020.
Situasi mungkin tidak akan membaik dalam waktu dekat, dengan AS kini akan memasuki tahun pilpres. Sejumlah kebijakan ekonomi populis yang berpotensi kian memukul ekonomi global 2020 bukan tak mungkin kembali diguyurkan Trump untuk memenangi pilpres.
Prospek ekonomi dunia dalam tanda tanya. Seperti kata ekonom senior Bank Dunia, Pinelopi Goldberg, ”Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok.” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar