EKONOMI TENAGA KERJA
Mencapai Cita-cita 2045
Oleh : LANA SOELISTIANINGSIH
KOMPAS, 15 November 2019
Dalam pidato
perdananya di depan MPR pada 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi menyampaikan
cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia di 2045.
Presiden
menetapkan tiga indikator pencapaian: 1) pendapatan per kapita mencapai Rp 320
juta per tahun; 2) Produk Domestik Bruto (PDB) nominal mencapai 7 triliun
dollar AS atau setara Rp 98.000 triliun (dengan baseline nilai tukar Rp
14.000/dollar AS; 3) tingkat kemiskinan mendekati nol.
Tahun 2045,
25 tahun lagi. Jika kita beranjak dari kinerja terkini yaitu kinerja ekonomi di
2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pendapatan per kapita (PDB per
kapita) secara nominal sebesar Rp 56 juta per tahun, dengan nilai PDB nominal
Rp 14.837,4 triliun, dan tingkat kemiskinan 9,66 persen.
Dengan basis
data itu, maka cita-cita 2045 hanya bisa diraih dengan pertumbuhan yang
bersifat kuadratik atau bahkan eksponensial, bukan pertumbuhan linier. Di
sinilah kemampuan kreativitas pengambil kebijakan sangat diperlukan untuk bisa
menggali ide-ide kebijakan yang seperti kata Jokowi, ‘out of the box.’
“Rule of 70”
Dalam teori
pertumbuhan ekonomi, ada istilah rule of 70. Rule of 70 ini digunakan untuk
menghitung berapa lama PDB per kapita bisa menjadi dua kali lipat dengan basis
pertumbuhan ekonomi rata-rata. Dengan mengambil rata-rata pertumbuhan PDB
nominal 10 tahun terakhir dari 2009 hingga 2018 tercatat pertumbuhan sebesar 10
persen.
Untuk
menjadikan PDB per kapita nominal menjadi dua kali lipat atau mencapai Rp 112
juta, butuh waktu tujuh tahun yaitu 70 dibagi 10, dan selanjutnya untuk
menjadikan PDB per kapita nominal menjadi Rp 224 juta diperlukan waktu tujuh
tahun lagi, dan untuk tujuh tahun pada siklus ketiga diperoleh PDB per kapita nominal
Rp 448 juta. Besarnya PDB per kapita dalam waktu 21 tahun ke depan sejak 2018
bisa di atas cita-cita tersebut, bahkan dibutuhkan waktu yang lebih pendek
yaitu 21 tahun.
Tentu
perhitungan di atas akan berbeda jika kita menggunakan pertumbuhan PDB riil.
Dalam ekonomi, perbedaan perhitungan nominal dan riil terletak pada perlakuan
terhadap harga. Secara nominal, harga ditentukan sesuai dengan waktu, jadi
harga bergerak secara terus-menerus.
Naiknya PDB
nominal bisa jadi karena naiknya volume produksi atau/dan naiknya harga.
Sementara secara perhitungan riil adalah dengan mematok harga pada tahun
tertentu yang disebut tahun dasar, sehingga perhitungan secara riil hanya
melihat perubahan dari sisi volume atau nilai output-nya.
Dengan
menggunakan perhitungan riil, PDB per kapita pada 2018 tercatat Rp 39,4 juta
per tahun, dan pertumbuhan ekonomi secara riil dalam periode yang sama sebesar
5,4 persen, maka untuk mendobelkan PDB per kapita menjadi Rp 78,8 juta
dibutuhkan waktu 13 tahun. Demikian pula untuk siklus berikutnya menjadi Rp
157,4 juta dibutuhkan waktu 26 tahun. Dengan menggunakan perhitungan riil,
tampaknya sulit mencapai Rp 320 juta untuk 25 tahun mendatang.
Rule of 70
ini tentu mengandung banyak kelemahan termasuk pertumbuhan secara konstan
(linier) yang terjadi ditambah dengan faktor-faktor yang tidak berubah (ceteris
paribus). Padahal banyak faktor yang berubah dalam 25 tahun mendatang termasuk
harga yang makin tinggi, perilaku/selera masyarakat, metode kerja, dan nilai-nilai
yang akan dianut oleh generasi produktif 25 tahun mendatang.
Dalam satu
dekade sebelum ini, sektor industri manufaktur memegang peranan penting
memberikan kontribusi terhadap PDB lebih dari 25 persen, namun sekarang sektor
ini melambat menjadi di bawah 20 persen.
Sementara
sektor jasa-jasa bertumbuh menggerus peran manufaktur. Bisa jadi dalam 25 tahun
ke depan ada perubahan nilai-nilai masyarakat yang kian mementingkan
kesinambungan lingkungan yang sehat dan bersih, dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi
yang bisa memberikan kualitas hidup, bukan mengutamakan pertumbuhan ekonomi
secara ‘angka’.
Indeks
kebahagiaan dan indeks kualitas hidup lain kemungkinan menjadi indikator yang
penting diperhatikan. Asumsi pertumbuhan ekonomi yang linier tak memfaktorkan
potensi perubahan-perubahan di masa mendatang.
Kebutuhan
mendongkrak pertumbuhan ekonomi itu saat ini tetap diperlukan, yaitu
pertumbuhan ekonomi yang terakselerasi yang bisa mengangkat PDB per kapita yang
lebih tinggi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024 ditetapkan target pertumbuhan ekonomi mencapai terendah 5,3 persen
hingga tertinggi 6,5 persen.
Pasca-transformasi
ekonomi 1997-1998, ekonomi Indonesia pernah mencapai pertumbuhan tertingginya
6,38 persen di 2010 karena naiknya harga komoditas. Comodities boom itu
barangkali sudah lewat. Harga komoditas saat ini relatif rendah, alhasil
ekonomi Indonesia melambat.
Belum lagi
dengan ketidakpastian global yang masih sangat tinggi dalam lima tahun
mendatang, di antaranya ekonomi China yang bisa jadi masih dalam tren melambat,
kebijakan perdagangan Trump jika Trump terpilih kembali sebagai presiden AS
periode 2020-2024, dan potensi ketidakpastian lain yang membuat siklus ekonomi
global masih melambat. Kedinamisan ekonomi global menjadi keniscayaan yang
harus diterima namun bukan berarti tak bisa diantisipasi.
Kebijakan
fiskal pemerintah dan moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansif cenderung
menahan perlambatan dengan menciptakan kenaikan sisi permintaan agregat namun
tidak cukup mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan di sisi
penawaran agregat (supply side policies) dipercaya mampu menciptakan akselerasi
dan fondasi ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan.
Produktivitas kunci ekonomi jangka
panjang
Dalam teori
pertumbuhan Solow, capital per labor (modal per tenaga kerja) menjadi indikator
untuk mengukur perekonomian yang bisa mencapai steady state (kemapanan). Teori
pertumbuhan itu berevolusi sampai pada faktor di mana modal per tenaga kerja
yang berteknologi. Faktor produksi paling utama dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM). Dalam faktor produksi yang sederhana,
output dibentuk oleh dua input yaitu kapital dan tenaga kerja. Faktor tenaga
kerja lah yang bisa menciptakan efek multiplier (pengganda) ekonomi.
Berawal dari
pendapatan yang diterima pekerja, berlanjut sebagai sumber konsumsi, dan
insentif untuk berproduksi bagi produsen. Selanjutnya ekonomi akan berputar. Di
antara kebijakan yang bisa dilakukan di sisi penawaran adalah fokus di aspek
ketenagakerjaan.
Namun metode
pekerjaan yang berbasis teknologi menjadi ancaman disrupsi terhadap tenaga
kerja. Agar tenaga kerja tak jadi ‘saingan’ teknologi, tenaga kerja perlu
dibekali keahlian menggunakan teknologi sehingga faktor pendidikan menjadi
kunci.
Data BPS
menunjukkan jumlah angkatan kerja 136,18 juta orang. Dari jumlah itu, yang
bekerja 129,36 juta orang, dan 76,12 persen dari yang bekerja berpendidikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Alhasil banyak tenaga kerja yang
mengandalkan jenis sektor yang padat karya yang saat ini banyak terdisrupsi
teknologi. Oleh karenanya perlu SDM yang lulus dengan pendidikan lebih tinggi.
Kebijakan
Presiden Jokowi membangun SDM berkualitas dengan pendidikan di atas Sekolah
Menengah Atas (SMA) memberi harapan perbaikan kualitas SDM. Fondasi ini
mestinya berkelanjutan pada pemerintahan berikutnya sebagai kebijakan membangun
SDM berproduktivitas tinggi. Pembangunan SDM ini juga perlu disesuaikan dengan
peta jalan arah transformasi ekonomi Indonesia yang ingin dicapai.
Membaiknya
kualitas SDM akan membuat tingkat kemiskinan juga akan turun. Kebijakan cash
transfer sebagai bantalan sosial saat ini sangat diperlukan untuk mengiringi
proses perbaikan kualitas SDM. Pendidikan membantu mengubah pola pikir,
sehingga istilah kemiskinan turun bukan diartikan ‘turun-temurun’ yang artinya
kemiskinan berkelanjutan.
Masa 25
tahun lagi bukan tahun yang pendek untuk melakukan pembangunan ekonomi. Namun
juga bukan tahun yang panjang untuk memulai meletakkan fondasi mencapai tahapan
perekonomian yang lebih tinggi. Masih cukup waktu jika dilakukan dari sekarang
tetapi tentunya dengan kerja sangat super keras.
Visi
menembus lima besar dunia dan keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle
income trap) menjadi visi pembangunan ekonomi jangka panjang Indonesia dimulai
dari 2020 mendatang dengan menjadikan penduduk sebagai aset ekonomi yang
berkualitas.
Membaiknya
kualitas SDM akan membuat tingkat kemiskinan juga akan turun. Kebijakan cash
transfer sebagai bantalan sosial saat ini sangat diperlukan untuk mengiringi
proses perbaikan kualitas SDM.
(Lana Soelistianingsih, Dosen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar