Jumat, 15 November 2019

Mencapai Cita-cita 2045

EKONOMI TENAGA KERJA
Mencapai Cita-cita 2045

Oleh :  LANA SOELISTIANINGSIH

KOMPAS, 15 November 2019


Dalam pidato perdananya di depan MPR pada 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi menyampaikan cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia di 2045.

Presiden menetapkan tiga indikator pencapaian: 1) pendapatan per kapita mencapai Rp 320 juta per tahun; 2) Produk Domestik Bruto (PDB) nominal mencapai 7 triliun dollar AS atau setara Rp 98.000 triliun (dengan baseline nilai tukar Rp 14.000/dollar AS; 3) tingkat kemiskinan mendekati nol.

Untuk mencapai cita-cita itu, Presiden memulai dengan menyampaikan lima pilar di 2020 yaitu: 1) pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas; 2) melanjutkan pembangunan infrastruktur; 3) pemangkasan regulasi, dan menyiapkan undang-undang (UU) besar yaitu UU Cipta Kerja dan UMKM; 4) penyederhanaan birokrasi; dan 5) melakukan transformasi ekonomi.

Tahun 2045, 25 tahun lagi. Jika kita beranjak dari kinerja terkini yaitu kinerja ekonomi di 2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pendapatan per kapita (PDB per kapita) secara nominal sebesar Rp 56 juta per tahun, dengan nilai PDB nominal Rp 14.837,4 triliun, dan tingkat kemiskinan 9,66 persen.
 
Dengan basis data itu, maka cita-cita 2045 hanya bisa diraih dengan pertumbuhan yang bersifat kuadratik atau bahkan eksponensial, bukan pertumbuhan linier. Di sinilah kemampuan kreativitas pengambil kebijakan sangat diperlukan untuk bisa menggali ide-ide kebijakan yang seperti kata Jokowi, ‘out of the box.’

“Rule of 70”

Dalam teori pertumbuhan ekonomi, ada istilah rule of 70. Rule of 70 ini digunakan untuk menghitung berapa lama PDB per kapita bisa menjadi dua kali lipat dengan basis pertumbuhan ekonomi rata-rata. Dengan mengambil rata-rata pertumbuhan PDB nominal 10 tahun terakhir dari 2009 hingga 2018 tercatat pertumbuhan sebesar 10 persen.

Untuk menjadikan PDB per kapita nominal menjadi dua kali lipat atau mencapai Rp 112 juta, butuh waktu tujuh tahun yaitu 70 dibagi 10, dan selanjutnya untuk menjadikan PDB per kapita nominal menjadi Rp 224 juta diperlukan waktu tujuh tahun lagi, dan untuk tujuh tahun pada siklus ketiga diperoleh PDB per kapita nominal Rp 448 juta. Besarnya PDB per kapita dalam waktu 21 tahun ke depan sejak 2018 bisa di atas cita-cita tersebut, bahkan dibutuhkan waktu yang lebih pendek yaitu 21 tahun.

Tentu perhitungan di atas akan berbeda jika kita menggunakan pertumbuhan PDB riil. Dalam ekonomi, perbedaan perhitungan nominal dan riil terletak pada perlakuan terhadap harga. Secara nominal, harga ditentukan sesuai dengan waktu, jadi harga bergerak secara terus-menerus.

Naiknya PDB nominal bisa jadi karena naiknya volume produksi atau/dan naiknya harga. Sementara secara perhitungan riil adalah dengan mematok harga pada tahun tertentu yang disebut tahun dasar, sehingga perhitungan secara riil hanya melihat perubahan dari sisi volume atau nilai output-nya.

Dengan menggunakan perhitungan riil, PDB per kapita pada 2018 tercatat Rp 39,4 juta per tahun, dan pertumbuhan ekonomi secara riil dalam periode yang sama sebesar 5,4 persen, maka untuk mendobelkan PDB per kapita menjadi Rp 78,8 juta dibutuhkan waktu 13 tahun. Demikian pula untuk siklus berikutnya menjadi Rp 157,4 juta dibutuhkan waktu 26 tahun. Dengan menggunakan perhitungan riil, tampaknya sulit mencapai Rp 320 juta untuk 25 tahun mendatang.

Rule of 70 ini tentu mengandung banyak kelemahan termasuk pertumbuhan secara konstan (linier) yang terjadi ditambah dengan faktor-faktor yang tidak berubah (ceteris paribus). Padahal banyak faktor yang berubah dalam 25 tahun mendatang termasuk harga yang makin tinggi, perilaku/selera masyarakat, metode kerja, dan nilai-nilai yang akan dianut oleh generasi produktif 25 tahun mendatang.

Dalam satu dekade sebelum ini, sektor industri manufaktur memegang peranan penting memberikan kontribusi terhadap PDB lebih dari 25 persen, namun sekarang sektor ini melambat menjadi di bawah 20 persen.

Sementara sektor jasa-jasa bertumbuh menggerus peran manufaktur. Bisa jadi dalam 25 tahun ke depan ada perubahan nilai-nilai masyarakat yang kian mementingkan kesinambungan lingkungan yang sehat dan bersih, dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang bisa memberikan kualitas hidup, bukan mengutamakan pertumbuhan ekonomi secara ‘angka’.

Indeks kebahagiaan dan indeks kualitas hidup lain kemungkinan menjadi indikator yang penting diperhatikan. Asumsi pertumbuhan ekonomi yang linier tak memfaktorkan potensi perubahan-perubahan di masa mendatang.

Kebutuhan mendongkrak pertumbuhan ekonomi itu saat ini tetap diperlukan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang terakselerasi yang bisa mengangkat PDB per kapita yang lebih tinggi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ditetapkan target pertumbuhan ekonomi mencapai terendah 5,3 persen hingga tertinggi 6,5 persen.

Pasca-transformasi ekonomi 1997-1998, ekonomi Indonesia pernah mencapai pertumbuhan tertingginya 6,38 persen di 2010 karena naiknya harga komoditas. Comodities boom itu barangkali sudah lewat. Harga komoditas saat ini relatif rendah, alhasil ekonomi Indonesia melambat.

Belum lagi dengan ketidakpastian global yang masih sangat tinggi dalam lima tahun mendatang, di antaranya ekonomi China yang bisa jadi masih dalam tren melambat, kebijakan perdagangan Trump jika Trump terpilih kembali sebagai presiden AS periode 2020-2024, dan potensi ketidakpastian lain yang membuat siklus ekonomi global masih melambat. Kedinamisan ekonomi global menjadi keniscayaan yang harus diterima namun bukan berarti tak bisa diantisipasi.

Kebijakan fiskal pemerintah dan moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansif cenderung menahan perlambatan dengan menciptakan kenaikan sisi permintaan agregat namun tidak cukup mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan di sisi penawaran agregat (supply side policies) dipercaya mampu menciptakan akselerasi dan fondasi ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan.

Produktivitas kunci ekonomi jangka panjang

Dalam teori pertumbuhan Solow, capital per labor (modal per tenaga kerja) menjadi indikator untuk mengukur perekonomian yang bisa mencapai steady state (kemapanan). Teori pertumbuhan itu berevolusi sampai pada faktor di mana modal per tenaga kerja yang berteknologi. Faktor produksi paling utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM). Dalam faktor produksi yang sederhana, output dibentuk oleh dua input yaitu kapital dan tenaga kerja. Faktor tenaga kerja lah yang bisa menciptakan efek multiplier (pengganda) ekonomi.

Berawal dari pendapatan yang diterima pekerja, berlanjut sebagai sumber konsumsi, dan insentif untuk berproduksi bagi produsen. Selanjutnya ekonomi akan berputar. Di antara kebijakan yang bisa dilakukan di sisi penawaran adalah fokus di aspek ketenagakerjaan.

Namun metode pekerjaan yang berbasis teknologi menjadi ancaman disrupsi terhadap tenaga kerja. Agar tenaga kerja tak jadi ‘saingan’ teknologi, tenaga kerja perlu dibekali keahlian menggunakan teknologi sehingga faktor pendidikan menjadi kunci.

Data BPS menunjukkan jumlah angkatan kerja 136,18 juta orang. Dari jumlah itu, yang bekerja 129,36 juta orang, dan 76,12 persen dari yang bekerja berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Alhasil banyak tenaga kerja yang mengandalkan jenis sektor yang padat karya yang saat ini banyak terdisrupsi teknologi. Oleh karenanya perlu SDM yang lulus dengan pendidikan lebih tinggi.

Kebijakan Presiden Jokowi membangun SDM berkualitas dengan pendidikan di atas Sekolah Menengah Atas (SMA) memberi harapan perbaikan kualitas SDM. Fondasi ini mestinya berkelanjutan pada pemerintahan berikutnya sebagai kebijakan membangun SDM berproduktivitas tinggi. Pembangunan SDM ini juga perlu disesuaikan dengan peta jalan arah transformasi ekonomi Indonesia yang ingin dicapai.

Membaiknya kualitas SDM akan membuat tingkat kemiskinan juga akan turun. Kebijakan cash transfer sebagai bantalan sosial saat ini sangat diperlukan untuk mengiringi proses perbaikan kualitas SDM. Pendidikan membantu mengubah pola pikir, sehingga istilah kemiskinan turun bukan diartikan ‘turun-temurun’ yang artinya kemiskinan berkelanjutan.

Masa 25 tahun lagi bukan tahun yang pendek untuk melakukan pembangunan ekonomi. Namun juga bukan tahun yang panjang untuk memulai meletakkan fondasi mencapai tahapan perekonomian yang lebih tinggi. Masih cukup waktu jika dilakukan dari sekarang tetapi tentunya dengan kerja sangat super keras.

Visi menembus lima besar dunia dan keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) menjadi visi pembangunan ekonomi jangka panjang Indonesia dimulai dari 2020 mendatang dengan menjadikan penduduk sebagai aset ekonomi yang berkualitas.

Membaiknya kualitas SDM akan membuat tingkat kemiskinan juga akan turun. Kebijakan cash transfer sebagai bantalan sosial saat ini sangat diperlukan untuk mengiringi proses perbaikan kualitas SDM.


(Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar