TRANSFORMASI
EKONOMI
Urgensi Transformasi Ekonomi Jokowi
Oleh : AGUS HERTA SUMARTO
KOMPAS, 23 November 2019
Pada pidato
pelantikan presiden-wakil presiden terpilih 20 Oktober 2019, Jokowi
menyampaikan lima strategi besar ekonomi yang akan digunakan selama masa
pemerintahan keduanya, lima tahun ke depan. Lima strategi ini merupakan rencana
strategis (renstra) Jokowi beserta tim ekonominya guna menjadikan Indonesia
lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045.
Kelima
strategi besar ekonomi itu, pertama, pembangunan sumber daya manusia (SDM)
berkualitas yang terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua,
melanjutkan pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah, terutama untuk
mendukung kawasan-kawasan industri. Ketiga, melakukan penyederhanaan regulasi
(deregulasi) berbagai peraturan yang dinilai menghambat investasi dan sektor
industri.
Keempat, melakukan
penyederhanaan birokrasi (debirokratisasi) yang selama ini terlalu panjang dan
rumit. Kelima, melakukan transformasi ekonomi: mengubah struktur pendapatan
ekonomi dari semula mengandalkan sumber daya alam menjadi sektor industri
manufaktur yang berdaya saing, modern, dan bernilai tambah tinggi.
Dari kelima
strategi besar itu, transformasi ekonomi sebenarnya menjadi gong dan ruh bagi
keempat strategi sebelumnya. Transformasi ekonomi melalui penyesuaian
struktural merupakan strategi inti yang menjadi dasar dari strategi-strategi
lain serta memiliki dampak sistemik ke sektor-sektor lainnya.
Transformasi
ekonomi dengan menjadikan sektor industri pengolahan menjadi faktor pendorong
perekonomian nasional memiliki berbagai prasyarat yang harus dipenuhi. Yang
paling utama adalah lingkungan ekonomi yang ramah terhadap perkembangan sektor
industri dan investasi. Transformasi ekonomi melalui penyesuaian struktural
akan mampu menciptakan sistem ekonomi yang lebih efisien, berdaya saing, dan
produktif sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan
berkeadilan.
Tiga pilar
Setidaknya
terdapat tiga pilar utama yang harus dilakukan pemerintah dalam lima tahun ke depan,
yaitu ketersediaan infrastruktur yang memadai, regulasi dan birokrasi yang
ramah investasi, dan ketersediaan SDM berkualitas. Pembangunan infrastruktur
oleh pemerintahan Jokowi–JK lima tahun terakhir merupakan langkah tepat. Namun,
infrastruktur tersebut masih memerlukan infrastruktur yang mendukung dan
menyangga infrastruktur utama.
Pelabuhan
dan kawasan industri memerlukan infrastruktur jalan raya yang memadai dan
mendukung proses transportasi yang menghubungkan antara pusat industri dan
pelabuhan. Sampai saat ini, beberapa infrastruktur pendukung itu belum
sepenuhnya tersedia dengan baik sehingga beberapa infrastruktur yang telah
dibangun belum bisa berfungsi optimal.
Pilar kedua,
regulasi dan birokrasi yang ramah terhadap perkembangan industri dan investasi.
Menurut Indeks Kemudahan Berusaha 2019 versi Bank Dunia, salah satu
permasalahan utama lingkungan ekonomi yang menghambat perkembangan industri dan
investasi adalah regulasi dan birokrasi.
Masalah
birokrasi dan regulasi ini terkait aspek penegakan kontrak/perjanjian
(enforcing contract) dan aspek memulai usaha (starting business), yaitu
prosedur, biaya, dan waktu yang dibutuhkan untuk melalui berbagai birokrasi dan
regulasi itu. Jika masalah birokrasi dan regulasi ini tak dapat dihilangkan
dengan baik, proses industrialisasi berdaya saing menuju ekonomi yang maju akan
kian jauh dari harapan.
Pilar ketiga,
ketersediaan SDM yang produktif. Salah satu syarat dalam meningkatkan
produktivitas SDM Indonesia saat ini adalah dengan meningkatkan kualitasnya.
Saat ini, kualitas SDM kita masih kalah dibandingkan beberapa negara besar
ASEAN.
Peringkat
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, bahkan Filipina. Indonesia di
peringkat ke-116 dunia, sedangkan Singapura (9), Brunei Darussalam (39),
Malaysia (57), Thailand (83), dan Filipina (113). Artinya, daya saing SDM kita
dalam persaingan global masih sangat rendah.
Jika tiga
pilar tersebut bisa ditingkatkan secara baik dan komprehensif, langkah Jokowi
dan tim ekonominya untuk melakukan transformasi ekonomi dengan mendorong sektor
industri manufaktur akan tercapai dengan baik, yaitu industri yang berdaya
saing, bernilai tambah, dan memiliki orientasi digital (digital oriented).
Indeks daya saing Indonesia saat ini masih kalah dibandingkan dengan Singapura
(peringkat ke-1), Malaysia (ke-27), dan Thailand (ke-40).
Namun, di
sisi lain, penciptaan industri berdaya saing harus diikuti dengan strategi
pemasaran yang kuat dan baik. Pembangunan sektor industri yang berdaya saing
seharusnya diarahkan pada peluang pasar ekspor yang tersedia. Untuk membaca
peluang pasar ekspor, pemerintah perlu meningkatkan fungsi kecerdasan pemasaran
(marketing intelligence) sehingga bisa mengetahui kebutuhan dan peluang pasar
di setiap negara.
Pemerintah
juga harus bisa lebih memanfaatkan kebijakan nontarif (NTM) sebagai instrumen
melindungi dan meningkatkan daya saing produk nasional yang selama ini belum dimanfaatkan
dengan baik. Bahkan, selama ini, perdagangan Indonesia sering kali dirugikan
oleh ketentuan NTM negara lain, sementara Indonesia belum memanfaatkan NTM
untuk kepentingan industri dan perdagangan dalam negeri.
Jika output
sektor industri bisa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, kebutuhan dan
peluang pasar global, industri dan sektor perdagangan bisa saling menguatkan.
Tak akan ada lagi masalah defisit neraca perdagangan yang selama ini selalu
menghantui neraca transaksi berjalan Indonesia.
(Agus Herta Sumarto, Dosen
Universitas Mercu Buana dan Peneliti Indef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar