MILAD KE-107 MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah untuk Dunia
Oleh : MUHBIB ABDUL WAHAB
KOMPAS, 19 November 2019
Pada
miladnya yang ke-107 tahun, 18 November 2019, Muhammadiyah sudah mencatatkan
diri sebagai organisasi sosial keagamaan paling modern dan paling kaya amal
usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Akan tetapi,
dinamika progresifnya belum berbanding lurus dengan perubahan global yang
supercepat, terutama di bidang sains dan teknologi.
Agenda abad
kedua Muhammadiyah idealnya tidak lagi purifikasi dan reformasi pemikiran
sosial keagamaan, tetapi melompat jauh ke arah agenda riset dan pengembangan
ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) yang senapas dengan Islam
berkemajuan yang menjadi ”slogan” dan elan vital khitahnya.
Karena itu, dengan
jaringan 166 PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) dan PTA (Perguruan Tinggi
Aisyiyah), dengan lebih dari 600.000 mahasisnya, Muhammadiyah perlu berpikir
keras secara break-trought (lompatan di luar kelaziman).
Selama satu
abad lebih, Muhammadiyah menyinari negeri, mencerdaskan dan mencerahkan
kehidupan umat dan bangsa. Akan tetapi, sejatinya masyarakat dunia juga
menginginkan sentuhan penceraham Muhammadiyah. Gerakan pencerahan idealnya
melampaui batas-batas teritori nusantara karena ”mentari” Muhammadiyah pada
dasarnya bisa menerangi dunia dengan gagasan besar dan visi peradabannya yang
mendunia.
Persoalannya,
bagaimana Muhammadiyah mengepakkan sayap progresifnya menuju go international,
mencerahkan dunia?
Gerakan pencerahan
Gagasan
internasionalisasi Muhammadiyah sudah lama bergulir di kalangan pimpinan dan
aktivis Muhammadiyah. Akan tetapi, konseptualisasi dan aktualisasi gagasan ini
masih belum menemukan format ideal sekaligus praksis konkret dan operasional.
Pendirian
sejumlah pemimpin cabang istimewa Muhammadiyah (PCIM) di luar negeri, misalnya,
baru sebatas mewadahi kader-kader Muhammadiyah yang sedang menempuh studi
lanjut atau meniti karier di negara itu. Jalinan kerja sama internasional yang
dilakukan sejumlah PTM juga belum mampu mendongkrak peringkat PTM menjadi
universitas riset berkelas dunia.
Meski
demikian, dalam memasuki abad keduanya, Muhammadiyah berkomitmen melakukan
gerakan pencerahan (tanwir). Menurut Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah, gerakan
pencerahan merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan umat manusia. Gerakan pencerahan
dihadirkan untuk memberi jawaban dan solusi terhadap berbagai persoalan
kemanusiaan, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Gerakan
pencerahan Muhammadiyah juga diorientasikan dapat menjawab masalah kegersangan
spiritual, krisis dan dekadensi moral, kekerasan, radikalisme, terorisme,
korupsi, pembalakan hutan secara ilegal, pencemaran dan kerusakan ekologis,
perdagangan manusia, kejahatan dunia maya (cyber crime), neokolonialisme,
komunisme, permisivisme, dan sebagainya.
Selain itu,
Muhammadiyah juga berkomitmen mengembangkan relasi sosial politik yang
berkeadilan tanpa diskriminasi; menjunjung tinggi HAM, mengeliminasi ujaran
kebencian, penyebaran berita hoaks, dan sekaligus merawat kerukunan umat
beragama dan keutuhan NKRI.
Gerakan
pencerahan Muhammadiyah tidak hanya untuk mencerdaskan dan mencerahkan bangsa,
tetapi juga untuk menyinari dunia dengan menghadirkan Islam rahmatan li
al-‘alamin (rahmat, ramah, dan penuh kasih sayang untuk semua).
Dalam
aktualisasinya, gerakan pencerahan Muhammadiyah mengambil sikap dan praksis
pertengahan (wasathiyyah), tidak ekstrem kanan atau ekstrem kiri; membangun
sinergitas lintas sosial kultural dengan membangun perdamaian dunia, menghargai
kemajemukan, membudayakan toleransi, menghormati harkat dan martabat
kemanusiaan.
Secara
personal dan organisasional, Muhammadiyah juga terlibat dalam dialog,
perdamaian dunia, resolusi konflik, dan pembangunan peradaban dunia yang
berkeadilan.
Din
Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, misalnya, berkontribusi penting dalam
dialog lintas iman dan perdamaian dunia. Karena itu, ia dipercaya menjadi
Presiden Conference of Religion for Peace dalam World Conference Religion for
Peace.
Mendunia
”Matahari”
Muhammadiyah memang ”terbit” di Indonesia, tetapi sinarnya juga bisa menerangi
dunia. Upaya internasionalisasi Muhammadiyah dilakukan dengan mendirikan
pimpinan cabang istimewa Muhammadiyah (PCIM) di mancanegara, seperti AS, Arab
Saudi, Mesir, Turki, Australia, Maroko, Jerman, Malaysia, India, Tunisia, dan
Sudan.
Kerja sama
dan kemitraan antara Muhammadiyah dan negara atau lembaga internasional juga
dikembangkan, baik dalam rangka pertukaran dosen, mahasiswa, pelajar, studi
lanjut, riset kolaboratif, maupun publikasi ilmiah.
Karena itu,
revitalisasi perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) sebagai universitas riset
bereputasi internasional menjadi sangat strategis sehingga inovasi dan temuan
teori-teori baru di bidang ipteks dan pemikiran Islam dari PTM menjadi
keniscayaan.
Kiprah dan
kontribusi Muhammadiyah dalam mengembangkan Islam moderat, modernis, dan
humanis penting dipromosikan, terutama melalui publikasi berbasis riset.
Ahli-ahli
tentang Muhammadiyah dari luar negeri juga perlu diekstensifkan sehingga para
”muhammadiahnis” tidak hanya muka lama, seperti Mitsuo Nakamura, James L
Peacock, Howard M Federspiel, dan Robert van Niel. Internasionalisasi pemikiran
reformis dan progesif Muhamamdiyah dengan Islam moderat (wasathi) sangat layak
mendapat apresiasi dan rekognisi dunia.
Oleh karena
itu, UGM misalnya mengusulkan Muhammadiyah dan NU sebagai penerima Nobel
Perdamaian pada 2019 karena kontribusinya yang besar dalam membumikan Islam
moderat dan mengawal NKRI dan Pancasila. Usulan ini didukung Duta Besar RI
untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, tokoh dan akademisi, seperti Nico JG Kaptein dan Romo Franz-Magnis Suseno,
dan lembaga seperti Peace Research Institute Oslo (PRIO).
Menurut
Azyumardi Azra, promosi Muhammadiyah dan NU di Oslo untuk meraih Nobel
Perdamaian merupakan upaya strategis memperkenalkan kiprah kedua ormas ini
dalam perdamaian dunia. Namun, promosi ini tidak bisa lain menjadi bagian dari
upaya memperkenalkan Indonesia atau lebih khususnya, Islam Indonesia, kepada
publik Eropa dan dunia internasional lebih luas.
Guru Besar
Studi Islam Asia Tenggara Nico JG Kaptein juga berpendapat bahwa Muhammadiyah
dan NU secara nyata menebarkan benih-benih toleransi kepada masyarakat
Indonesia dan dunia. Oleh karena itu, Islam berkemajuan di Nusantara yang
moderat, toleran, dan inklusif sangat penting dipromosikan sebagai sumber nilai
dan solusi bagi perdamaian dunia. Karena itu, mempromosikan Islam moderat
Indonesia ke pentas dunia sejatinya merupakan promosi Negara Pancasila secara
lebih mendunia.
Muhammadiyah
untuk dunia tidak lepas dari sikap konstruktifnya terhadap NKRI sebagai Darul
Ahdi wa asy-Syahadah (Negara perjanjian dan pembuktian nyata). Bagi
Muhammadiyah, NKRI itu hasil titik temu
dan kesepakatan final dari para pendiri bangsa yang sebagiannya adalah
kader Muhammadiyah, seperti Ir Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, dan Abdul Kahar
Muzakkir.
Pancasila
sebagai legasi ideologi perekat dan pemersatu bangsa tentu saja sebagiannya juga merupakan
kontribusi Muhammadiyah dalam mewakafkan pemikiran Islam moderat dan
berkemajuan bagi bangsa dan dunia.
Muhammadiyah
akan semakin mendunia apabila mampu mengembangkan jaringan internasionalnya
berbasis holding organization yang
modern, terbuka, dan inovatif.
Dengan
jaringan amal usahanya yang luas, Muhammadiyah perlu semakin mempromosikan praksis Islam moderat dan berkemajuan yang
sudah terbukti, misalnya menjadi rumah perdamaian dan laboratorium toleransi
bagi warga bangsa, terutama di wilayah Indonesia timur, seperti Universitas
Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong, dan
Universitas Muhammadiyah Kupang, dengan 65-75 persen dari total mahasiswanya
adalah non-Muslim.
Melalui
pesantren internasional KH Mas Mansur di Universitas Muhammadiyah Surakarta,
misalnya, Muhammadiyah juga mendidik setidaknya 560 mahasantri, calon duta
perdamaian dari mancanegara, seperti Inggris, Singapura, Jordania, Thailand,
Nigeria, Sudan, Tanzania, Filipina, dan Maroko.
Kontribusi
dalam pencerdasan dan pencerahan bangsa, pembangunan perdamaian dunia, dan
aktualisasi Islam moderat, modernis, dan humanis ini bisa dijadikan model
percontohan relasi harmoni antara organisasi sosial keagamaan (Muhammadiyah)
dan negara.
Selain itu,
gerakan pencerahan dan relasi harmoni Muhammadiyah dengan negara sangat layak
dipromosikan untuk masyarakat dunia. Oleh karena itu, pemerintah juga sangat diharapkan mendukung dan
memperjuangkan Muhammadiyah untuk meraih Nobel Perdamaian agar NKRI dengan
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pemersatu bangsa juga semakin
mendunia.
Akhirul
kalam, sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah tidak pernah tergoda menjadi partai
politik atau terlibat politik praktis. Namun, dalam berpolitik, Muhammadiyah
mengedepankan politik nilai dan politik kemaslahatan bangsa.
Muhammadiyah
selalu konsisten menyuarakan dakwah amar makruf nahi mungkar dengan spirit
tajdid dan gerakan pencerahan. Muhammadiyah tetap diharapkan tampil sebagai
organisasi sosial keagamaan paling istikamah dengan khitahnya, terutama dalam
mempraksiskan Islam moderat, modernis, dan humanis demi kejayaan NKRI dan
terwujudnya peradaban dunia yang adil dan damai. Sebab, Muhammadiyah merupakan
salah satu jendela dunia untuk melihat Indonesia.
(Muhbib Abdul Wahab, Dosen
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan
Pesantren PP Muhammadiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar