PEMBANGUNAN DESA
Pertaruhan Pembangunan Desa
Oleh : AHMAD ERANI YUSTIKA
KOMPAS, 19 November 2019
Presiden
Jokowi sejak tahun lalu terus menyatakan agar pembangunan desa, khususnya via
Dana Desa, difokuskan kepada isu yang terkait dengan bidang ekonomi dan
pemberdayaan.
Secara lebih
spesifik, pembangunan ekonomi desa diarahkan untuk peningkatan investasi,
penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu,
pemberdayaan diikhtiarkan untuk penguatan kualitas sumber daya insani desa
sehingga punya kapasitas penyangga hidup (khususnya di bidang ekonomi).
Begitu pula,
sekitar 70 persen tenaga kerja di desa hanya tamat SMP ke bawah. Situasi inilah
yang membuat pemberdayaan menjadi matra vital di desa.
Penguatan basis produksi
Jangkar
ekonomi di desa adalah aktivitas produksi, terutama di sektor pertanian.
Sekitar 80 persen sumber daya ekonomi di desa adalah pertanian dalam pengertian
luas, termasuk perikanan, kehutanan, perkebunan, dan peternakan. Problem
puluhan tahun yang tidak ditangani adalah: kepemilikan/penguasaan lahan yang
sempit.
Maksudnya,
basis produksi warga desa sangat terbatas. Jadi, pekerjaan rumah yang wajib
dijamah demi menggerakkan ekonomi desa adalah mengurus basis produksi
(pertanian) rakyat. Di sini ada sedikit cahaya, program RAPS (reforma agraria
dan perhutanan sosial) sudah berjalan selama lima tahun dengan segala
kendalanya. Perhutanan sosial lumayan masif dikerjakan sehingga menyentuh
banyak petani/pekebun.
Reforma
agraria masih harus dihentak lebih keras lagi, di luar program sertifikasi
lahan yang sudah melesat. Di sinilah kesempatan ini menganga: tautkan
pemanfaatan Dana Desa dengan program RAPS. Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi (Kemendes) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (plus
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) mesti erat
bergandengan tangan.
Berikutnya
yang mesti diurus adalah organisasi ekonomi desa. Gerak ekonomi bukan sekadar
menyelenggarakan produksi, namun memastikan proses penciptaan nilai tambah
(pengolahan), pengemasan, distribusi, penjualan, dan lain sebagainya bisa
dilakukan dengan serempak. Seluruh proses itu baru dapat dikonsolidasikan
melalui organisasi ekonomi yang mapan. Gugus tugas organisasi ekonomi itu
dibagi tiga: konsolidasi sumber daya, menciptakan nilai tambah, dan membangun posisi
tawar.
Pelaku
ekonomi (misalnya petani) yang terpecah-pecah (apalagi dengan basis
produksi/tanah yang lemah) adalah situasi sempurna bagi terjadinya praktik
pengisapan. Mereka harus dikonsolidasikan dalam satu organisasi yang kukuh.
Jika gagasan
ini berjalan, dimungkinkan gerakan ekonomi diteruskan ke proses nilai tambah
(pengolahan) sebab terpenuhinya skala ekonomi. Seterusnya, konsolidasi ini
melontarkan posisi tawar ke level yang tinggi berhadapan dengan pelaku/agen di
hilir. Implikasinya, kesejahteraan bisa dikerek ke atas.
Pertanyaannya,
organisasi ekonomi apa yang mesti digerakkan di desa? Jawabannya lugas:
koperasi. Hanya bangun usaha ini yang cocok untuk menghidupkan nadi ekonomi
desa dengan titik tumpu modal sosial, sumber daya terpecah, dan minus posisi
tawar.
Lima tahun
ini juga dibentuk lembaga ekonomi Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) sebagai
mandat UU Desa No 6 Tahun 2014, yang jumlahnya sekarang sudah menyentuh lebih
dari 45.000 (dari hampir 75.000 desa). Artinya, 60 persen desa sudah memiliki
Bumdes.
Opsi yang
bisa diambil: koperasi bekerja sama dengan Bumdes untuk menggerakkan ekonomi
desa, atau menjadikan Bumdes (atau anak usaha Bumdes) berbadan hukum koperasi.
Isu ini sudah menjadi bahan debat lima tahun, sekarang momentum untuk lekas
diambil keputusan.
Pada titik
ini, kolaborasi antara Kementerian Koperasi dan UMKM dan Kemendes menjadi
keniscayaan. Dua kementerian ini palang pintu dan tulang punggung poros
pergerakan ekonomi di desa.
Medan kawasan perdesaan
Fakta yang
tak bisa disembunyikan selama ini adalah ketiadaan kesadaran untuk menarasikan
skala ekonomi sebagai urusan genting di bidang ekonomi (desa). Dana Desa
membuat desa makin melihat ke dalam (inward looking), bukan menjemput peluang
kolaborasi dengan desa-desa tetangga untuk meninggikan skala ekonomi. Mandat UU
Desa sebetulnya bukan hanya pembangunan desa, tetapi juga kawasan perdesaan.
Makna
kawasan perdesaan ialah lebih dari satu desa membuat prakarsa kerja sama
mengelola dan mengolah sumber daya alam (ekonomi) agar derajat pembangunan
terdongkrak. Pembangunan ekonomi pada level desa dapat saja dilakukan, namun
tidak akan pernah mencapai skala ekonomi untuk masuk ke sektor manufaktur
(industrialisasi perdesaan).
Sektor ini
dicirikan lebih padat modal dan memerlukan bahan baku yang besar sehingga
efisiensi dan daya saing produksi dapat dijelmakan. Persoalannya, syarat ini
bakal sukar diperoleh jika unit gerakan ekonominya pada level desa.
Jadi,
pendalaman pembangunan ekonomi desa sebetulnya paralel dengan pilihan menggeser
titik tumpu pembangunan ke kawasan perdesaan, di mana antara 5-20 desa membuat
konsensus pendalaman gerakan ekonomi. Penggeseran alas pembangunan ini relevan
dalam empat perkara. Pertama, kawasan perdesaan menjadikan pendalaman
pembangunan ekonomi (deepening) lebih mungkin dikerjakan akibat terpenuhinya
skala ekonomi.
Kedua,
kawasan perdesaan menjembatani (bridging) relasi desa-kota. Dalam situasi
kekuatan desa yang lemah, maka hubungan dengan (pelaku ekonomi) kota pasti akan
eksploitatif. Namun, jika itu dijembatani oleh (organisasi ekonomi) pada level
kawasan perdesaan, maka relasinya dengan kota menjadi lebih setara. Ketiga,
kawasan perdesaan menjadi model kerja sama (collaborating) yang membuat
antardesa tidak saling mematikan/memangsa.
Keempat,
kawasan perdesaan mengefektifkan fasilitasi (facilitating) yang dilakukan
pemerintah (pusat/daerah) dibandingkan dengan mengembangkan ekonomi pada level
desa dengan jumlah yang amat banyak (dan kecil).
Dengan
begitu, pada masa mendatang gerak pembangunan ekonomi di desa memerlukan lima
konsensus besar, yang seluruhnya menjadi satu paket pembangunan: (i) Konsensus
kepemilikan/penguasaan faktor produksi (tanah).
Program RAPS
mesti dipercepat sehingga menjadi lokomotif peningkatan basis produksi rakyat
di desa; (ii) Konsensus organisasi ekonomi: koperasi dan Bumdes. Keduanya
menjadi jantung pemapanan ekonomi di desa/kawasan perdesaan. Soal legal lekas
diselesaikan agar tak menjerat kaki untuk bergerak dengan sigap; (iii)
Konsensus skala ekonomi: kolektif dan level kawasan perdesaan. Kegiatan ekonomi
diselenggarakan secara kolektif dan medannya digeser ke tingkat kawasan
perdesaan; (iv) Konsensus nilai tambah: agroindustri.
Tak boleh
lagi ekonomi bertumpu kepada produksi komoditas primer yang hanya akan melanggengkan
kemelaratan; dan (v) Konsensus rantai pasok yang mesti dipangkas dan dikuasai
oleh organisasi ekonomi desa.
Pemberdayaan dan politik kolaborasi
Agenda lain
yang terus didengungkan oleh Presiden adalah pemberdayaan warga desa. Fokus ini
tentu selaras dengan rumusan visi pembangunan manusia dalam periode kedua
pemerintahan. Pada kasus desa, agenda pemberdayaan dan meninggikan kualitas
kesadaran warga dapat dibagi dalam dua jenis tingkatan.
Pertama,
kesadaran ideologis. Warga desa dan kawasan perdesaan difasilitasi untuk
menghidupkan kesadaran atas isu-isu strategis yang menyebabkan ketertinggalan
ekonomi/politik desa (kawasan perdesaan). Desa berhak punya daulat dan
kemandirian ekonomi, misalnya di bidang pangan, energi, dan lain-lain karena
sumber daya yang dimiliki relatif tersedia (bahkan sebagian melimpah).
Demikian
pula untuk isu gender, transparansi anggaran, demokrasi ekonomi, distribusi
pendapatan, penguasaan faktor produksi, organisasi ekonomi, dan seterusnya.
Intinya, tiap warga wajib mempunyai kesadaran dan pengetahuan strategis untuk
mengurai perkara struktural pembangunan di masing-masing desa.
Kedua,
kesadaran teknokratis. Pada level ini tiap warga desa dibekali dengan kapasitas
teknikal/instrumental untuk mengelola sumber daya ekonomi di desa. Pemerintah
memiliki program bagus yang bernama Kartu Prakerja. Program ini mesti
dihimpitkan dengan penguatan kapasitas warga dengan pendekatan komunitas.
Pembelajaran
mandiri komunitas merupakan pilihan yang mesti diambil pada masyarakat
desa/kawasan perdesaan. Bagi desa/kawasan perdesaan yang ingin mengembangkan
(misalnya) pariwisata, maka kapasitas yang disuntikkan adalah di bidang
tersebut.
Demikian pula
dengan desa yang hendak menggarap bidang perikanan, peternakan, perkebunan, dan
lain-lain; pembelajaran mandiri komunitas fokus kepada penguatan kapasitas
teknikal tersebut. Kementerian Tenaga Kerja seyogianya serius mendesain program
Kartu Parkerja untuk warga desa sehingga kerja sama dengan Kemendes menjadi
keharusan yang tak bisa ditampik sejak awal bekerja.
Selebihnya,
pembangunan ekonomi dan pemberdayaan desa jelas tidak mungkin dipanggul oleh
Kemendes saja, apalagi sekadar dari Dana Desa. Ini merupakan pertempuran besar
yang hanya dapat diangkat oleh lintas pemangku kepentingan, sehingga politik
kolaborasi adalah harga mati. Kerja sama yang dikerjakan secara sederhana
bertumpu pada tiga kaki.
Pertama,
sinergi program dan kegiatan. Lintas pemangku kepentingan (pemerintah maupun
swasta) menyepakati hanya sedikit program/kegiatan saja, namun dieksekusi
dengan eksesif. Tugas dibagi berdasarkan kompetensi dan sumber daya yang
dipunyai.
Kedua,
konsolidasi anggaran. Anggaran yang terkait dengan desa hanya diperuntukkan
untuk fokus kegiatan yang telah diputuskan. Masing-masing pihak disiplin
menjalankan kegiatan tersebut, tidak boleh digeser berdasarkan selera tiap
pemangku kepentingan.
Ketiga,
advokasi dan promosi kebijakan. Kebijakan produksi, perdagangan, pajak,
investasi, dan lain sebagainya diformulasikan dan didesakkan agar ramah bagi
pembangunan desa. Persekutuan lembaga dan pemahaman gagasan inilah yang akan
menjadi pertaruhan keberhasilan pembangunan desa ke depan.
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Dirjen
PPMD dan PKP Kemendes 2015-2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar