Minggu, 24 November 2019

Gunung Budeg dan Candi Gayatri

Gunung Budeg dan Candi Gayatri

Oleh :  BRE REDANA

KOMPAS, 24 November 2019


Dalam perjalanan dari Kota Tulungagung, Jawa Timur, menuju Candi Gayatri di daerah Boyolangu, tak tahan melihat Gunung Budeg membiru, tampak sebegitu dekatnya di seberang persawahan. Ternyata juga tak sulit mencapainya. Pagi indah di Gunung Budeg.

Di gunung ini terdapat batu yang dinamakan Joko Budeg. Menurut cerita tutur setempat, dahulu ada perjaka keturunan orang biasa jatuh cinta pada wanita keturunan ningrat bernama Roro Kembangsore. Ditolak cintanya oleh sang dara karena merasa keduanya tak sederajat, si perjaka lalu bertapa untuk membuktikan kesungguhan niatnya.

Lama-lama Kembangsore jatuh iba. Ia coba membangunkan si perjaka dari tapanya yang telah melampaui 40 hari. Sang perjaka tak tergugah, sampai akhirnya sang dara mengeluarkan ucapan bahwa yang dihadapinya tuli seperti batu. Kutuk zaman terjadi seketika: perjaka itu menjadi batu, menjadi Joko Budeg.

Legenda atau mitologi jelas ada hubungan dengan dunia bawah sadar kolektif. Dari waktu ke waktu, rakyat jelata, orang miskin, menyimpan mimpi mengalami perbaikan nasib, menjalani mobilitas sosial ke atas, seperti mengawini putri ningrat. Kenyataan sosial menunjukkan, mimpi lebih banyak tinggal mimpi daripada menjadi kenyataan. Istilahnya: too good to be true.

Dilihat dari konteks setempat, legenda Gunung Budeg seperti memberi kerangka pemikiran, bagaimana candi-candi daerah itu, termasuk yang utama Candi Gayatri, sejatinya dilingkupi problematik hubungan antara trah penguasa dan rakyat jelata. Gayatri Rajapatni (circa 1276-1350) adalah putri Raja Singasari, Kertanegara, yang dipersunting pendiri Majapahit, Raden Wijaya.

Ketika Raden Wijaya wafat, Gayatri inilah yang konon kemudian punya peran besar di belakang layar kekuasaan Majapahit. Pada zaman pengganti Raden Wijaya, yakni Jayanegara alias Prabu Kalagemet yang dianggap lemah, secara tak terduga muncul prajurit dari kalangan rakyat jelata bernama Gajah Mada.

Melihat konflik elite istana dikarenakan tingkah laku Kalagemet yang dianggap tidak pantas, diam-diam Gayatri mendekati Gajah Mada—manusia dari kalangan rakyat jelata yang dianggapnya cerdas. Kalagemet adalah putra Dara Petak, yang berarti anak tiri Gayatri. Nagarakrtagama menggambarkan bagaimana dengan penuh siasat Gajah Mada mengakhiri kekuasaan Kalagemet. Pembunuhan Kalagemet dipersalahkan pada petinggi istana bernama Tanca.

Kalagemet diganti putri Gayatri bernama Tribhuwana Tunggadewi, selanjutnya Tribhuwana digantikan Hayam Wuruk yang dikenang memimpin zaman gilang-gemilang Majapahit. Baik selama pemerintahan Kalagemet, Tribhuwana, maupun Hayam Wuruk (dia masih remaja ketika naik takhta), Gayatri banyak menentukan kebijakan politik dan kebudayaan Majapahit melalui Gajah Mada.

Gajah Mada pada masa itu dari segi usia dan kematangan jauh melebihi para keturunan Gayatri sendiri. Konon Gayatri yang memberikan wawasan politik dan kebudayaan pada Gajah Mada, termasuk menurunkan visi politik ayahnya, Kertanegara, akan penyatuan pulau-pulau di luar Jawa. Sumpah Palapa yang terkenal oleh Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara adalah kelanjutan visi Singasari, yang pada waktu itu hanya dipahami oleh Gayatri.

Gajah Mada boleh jadi satu dari sedikit kalangan rakyat jelata, sudra, yang mampu meniti karier politik istana melalui jalan ”nonpemberontakan”—sebutlah konstitusional. Ia direkrut Kalagemet, yang kemungkinan semata-mata ingin mencari pengawal yang kuat, mengingat kondisi internal istana yang ia sadari membahayakan dirinya. Di luar Gajah Mada, seperti di zaman Singasari, rakyat jelata hanya bisa naik takhta dengan cara menusukkan keris pada penguasa, seperti dilakukan oleh Ken Arok.

Gayatri sadar betul, kekuasaan tak cukup hanya mengemban tugas politik, ekonomi, tetapi juga tugas kebudayaan. Itu yang ia internalisasikan pada Gajah Mada. Mereka berdua sangat mencintai Bali, karena Bali menunjukkan sifat yang paling sesuai dengan visi kebudayaan Majapahit.

Ia meninggalkan wasiat ingin dikenang sebagai Prajnaparamita, Dewi Pengetahuan Tertinggi. Sayang, patungnya sebagai Prajnaparamita di Boyolangu telah terpenggal kepalanya. Nasib candi ini, sama seperti candi-candi Hindu-Buddha lain, kebanyakan merana karena tak mendapat dukungan dari sistem kepercayaan berikutnya.


Yang menyedihkan lagi, sekarang ini yang berantakan tampaknya bukan hanya fisik candi, melainkan juga gagasan Nusantara seperti pernah dihidupi Gayatri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar