Kamis, 14 November 2019

Tantangan Menteri BUMN

PEMBENAHAN BUMN
Tantangan Menteri BUMN

Oleh :  PAUL SUTARYONO

KOMPAS, 14 November 2019


Sungguh, Erick Thohir menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghadapi segunung tantangan selain “warisan” menteri sebelumnya. Apa saja tantangan itu? “Cuci piring!”

Kini terdapat 143 BUMN pada 2018 yang tumbuh dari 115 pada 2017 dan 118 pada 2016. Bagaimana kinerja BUMN? Total aset terus naik dari Rp 5.760 triliun pada 2015 menjadi Rp 6.473 triliun (12,38 persen), Rp 7.210 triliun (11,39 persen) dan Rp 8.092 triliun (12,23 persen) pada 2016, 2017 dan 2018. BUMN sanggup menggeber pendapatan bersih dari Rp 150 triliun pada 2015 menjadi Rp 176 triliun (17,33 persen), Rp 186 triliun (5,68 persen) dan Rp 188 triliun (1,08 persen) masing-masing pada 2016, 2017 dan 2018.

Kontribusi yang meliputi pajak, dividen dan pembayaran non pajak juga terus mendaki dari Rp 303 triliun pada 2015 menjadi Rp 309 triliun (1,98 persen), Rp 354 triliun (14,56 persen) dan Rp 422 triliun (19,21 persen) pada 2016, 2017 dan 2018. Rapor agak biru.

Aneka tantangan

Lantas, apa saja tantangan ke depan? Apa saja langkah strategis untuk menghadapi tantangan itu? Pertama, reformasi birokrasi. Sejatinya lokomotif tak akan mampu berjalan cepat tanpa dukungan deretan gerbong yang baik.

Artinya, keberhasilan menteri itu bukan hanya tergantung sosok menteri tetapi juga bawahannya di kementerian yang meliputi lima eselon. Karena itu, mandat Presiden Jokowi untuk memangkas eselon 3, 4 dan 5 merupakan angin segar untuk mengerek efisiensi dan mempercepat putusan dan eksekusi program.

Saatnya menerapkan penilaian tahunan pegawai dengan menggunakan ukuran kinerja (key performance indicators /KPI). KPI merupakan ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengukur penilaian tahunan pegawai dalam suatu organisasi.

Mengingat KPI diturunkan dari visi, misi dan nilai-nilai organisasi, maka semua pegawai memiliki target berbeda tetapi dengan tujuan sama. Apakah setiap kementerian, lembaga pemerintah dan BUMN sudah menerapkan KPI? Saya khawatir belum. Ini tantangan serius bagi Kementerian BUMN meski sebagian BUMN sudah menerapkan.

Kedua, segregasi wewenang. Sungguh tepat dipilihnya dua wakil menteri (wamen) BUMN. Budi Gunadi Sadikin yang mantan direktur utama (dirut) PT Inalum dan PT Bank Mandiri bertugas meningkatkan peran BUMN untuk kesejahteraan rakyat. Kartika Wirjoatmodjo, mantan dirut PT Bank Mandiri dan direktur eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertugas untuk meningkatkan kompetensi BUMN agar bisa bersaing dengan perusahaan swasta.

Dalam praktiknya, kehadiran wamen akan bersinggungan dengan tugas eselon 1 yakni sekretaris kementerian, deputi (selama ini ada empat) dan staf ahli (ada dua). Untuk itu, menteri BUMN harus menetapkan wewenang dan tugas wamen dan ketiga pejabat itu dengan terang-benderang. Tugas wamen sepatutnya bersifat koordinatif dan sekretaris kementerian bersifat administratif, deputi, dan staf ahli bersifat operasional. Segregasi wewenang yang tegas dapat menciptakan sinergi mencapai target.

Ketiga, bersih-bersih. Apa saja “warisan” menteri sebelumnya? Pada akhir 2018, PT Asuransi Jiwasraya merugi Rp 15,83 triliun. PT Krakatau Steel merugi Rp 1,09 triliun pada 2018. Perum Bulog merugi Rp 961,78 miliar. PT Dirgantara Indonesia merugi Rp 961,78 miliar. PT PAL Indonesia merugi Rp 304,15 miliar. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari merugi Rp 272,87 miliar. Pun PT Sang Hyang Seri merugi Rp 182,54 miliar. PT Iglas merugi Rp 84,61 miliar. PT Pertani merugi Rp 83,07 miliar. PT Kertas Kraft Aceh merugi Rp 75,11 miliar. PT Varuna Tirta Prakas merugi Rp 6,65 miliar. PT Indofarma merugi Rp 32,73 miliar (infobanknews.com, 23/10/2019). Plus berbagai kasus dugaan korupsi yang dilakukan direksi BUMN. Aduh!

Bagaimana alternatif solusinya? Evaluasi semua komisaris dan direksi terutama yang bermasalah dan audit keuangan khusus. Upaya itu bertujuan untuk memastikan kerugian itu merupakan risiko bisnis atau salah kelola (mismanagement). Kini waktunya untuk membangun BUMN yang modern dan terkemuka sehingga mampu bersaing di tingkat kawasan, apalagi global. Untuk itu diperlukan komisaris dan direksi yang memiliki integritas tinggi, kompetensi tinggi, visi jauh dan profesional.

Sebagai bentuk sinergi antar-BUMN, bank BUMN dapat diminta mengucurkan kredit untuk memperbaiki kinerja keuangan BUMN yang sedang sakit itu. Ada pula kiat lain seperti penyertaan modal negara (PMN), penerbitan obligasi subordinasi (subdebt) atau divestasi sebagian aset ke investor asing. Kiat terakhir itu akan disambut hangat investor asing lantaran Indonesia memiliki penduduk 267 jiwa yang merupakan basis pasar maha luas dan gurih.

Keempat, tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perlu meninjau kembali penerapan prinsip-prinsip GCG yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran. Hal itu termasuk penerapan manajemen risiko terintegrasi terutama BUMN dengan banyak anak perusahaan. Ketika ada anak perusahaan terpapar risiko, maka risiko itu tak akan menjalar ke anak perusahaan lain karena potensi risiko sudah dihitung sebelumnya.

Kelima, pengendalian utang. BUMN beserta anak perusahaannya memiliki utang Rp 3.200 triliun per semester I-2019 (Kontan, 25/10/2019). Terutama BUMN Karya lantaran membiayai proyek infrastruktur. Pengalaman Erick Thohir sebagai pelaku bisnis yang unggul ditantang untuk menjamin bahwa utang itu terkendali, terlebih utang valas untuk mencegah risiko gagal bayar (default risk) saat resesi global menerkam.

Ancaman resesi dan disrupsi

Keenam, antisipasi resesi. Bukan hanya menteri keuangan, tetapi juga menteri tim ekonomi seperti menteri BUMN, menteri pertanian, menteri perdagangan dan menteri perindustrian harus mampu mengantisipasi ancaman resesi yang makin mengental.

Ancaman resesi mulai tampak di perbankan ketika pertumbuhan kredit terus menurun. Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit secara tahunan (year on year/yoy) melambat dari 9,84 persen pada Juni 2019 menjadi 9,52 persen dan 8,52 persen per Juli dan Agustus 2019.

Dana pihak ketiga (DPK) pun melambat 7,27 persen, 7,93 persen dan 7,52 persen masing-masing per Juni, Juli dan Agustus 2019. Likuiditas ketat itu lebih tersurat jelas dalam rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) yang tinggi 94,98 persen, 94,48 persen dan 94,66 persen pada tiga bulan terakhir Juni-Agustus 2019. Angka itu di atas LDR ideal 78-92 persen.

Akibatnya, hanya kelompok Bank Asing, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan Bank Persero yang mampu meraih kenaikan laba sebelum pajak masing-masing 64,38 persen, 9,11 persen dan 6,78 persen per Agustus 2019. Sebaliknya, laba sebelum pajak Bank Campuran, BUSN Non Devisa dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) masing-masing justru turun 13,76 persen, 11,79 persen dan 2,99 persen.

Ditambah lagi, korporasi Duniatex Group yang merupakan debitor 21 bank mulai limbung. Kasus kritis utang berawal ketika PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) anak usaha Duniatex Group mengalami gagal bayar dalam membayar pokok utang dan bunga pinjaman dalam kredit sindikasi 11 juta dollar AS yang jatuh tempo. PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) menghadapi tantangan untuk memenuhi kewajiban 5 juta dollar AS pada September dan harus mulai membayar bunga obligasi 13 juta dollar AS dari surat utang dengan total 300 juta dollar AS.

Hal itu menjadi beban berat bagi bank tatkala utang berubah menjadi kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Akhirnya, bank harus membuat cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sesuai dengan kualitas kredit.

Ada lima kolektibilitas yakni kredit lancar (kolektibilitas 1), kredit dalam perhatian khusus (kolektibilitas 2), kredit kurang lancar (kolektibilitas 3), kredit diragukan (kolektibilitas 4) dan kredit macet (kolektibilitas 5). Kolektibilitas 3, 4 dan 5 itu disebut NPL. Alhasil, bank harus menyediakan cadangan minimal 15 persen, 50 persen dan 100 persen dari kredit dikurangi agunan masing-masing untuk kualitas kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet. Cadangan itu akan menekan laba bahkan menggerus modal. Untuk itu, BI disarankan terus melakukan stress test. Upaya itu memastikan apakah bank mampu menahan ketidakstabilan ekonomi ke depan.

Ketujuh, ancaman pemutusan hubungan kerja. Majalah Infobank (31/10/2019) mencatat pada 2014-2018 terjadi pengurangan 38.831 tenaga kerja di 114 bank umum dan bisa melebihi 40.000 orang hingga akhir 2019. Tetapi ingat itu bukan hanya karena krisis tetapi juga disrupsi teknologi seperti lahirnya perusahaan teknologi finansial (tekfin). Dampak positifnya, tekfin dapat memacu bank untuk menggali aneka produk berbasis teknologi. Namun itu belum cukup. Bank harus pula mengubah model bisnis supaya lebih mampu bersaing dan bertahan dalam sengitnya persaingan.

Kedelapan, induk perusahaan. Apakah pembentukan induk perusahaan BUMN akan dilanjutkan? Hendaknya amat hati-hati dalam membentuk induk perusahaan BUMN keuangan dan perbankan. Mengapa? Karena bank BUMN memiliki jutaan nasabah yang harus dilindungi. Akan lebih baik manakala Kementerian BUMN menggandeng perguruan tinggi untuk membuat kajian akademis untuk memastikan manfaat induk perusahaan dan analisis dampaknya.

Di sisi lain, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang berada di bawah koordinasi menteri keuangan dengan anggota Gubernur BI, Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan LPS wajib lebih meningkatkan kewaspadaan. Pencegahan dan penanganan bank sistemik menjadi fokus utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan.

Berbekal aneka langkah strategis demikian, BUMN diharapkan menjadi kian modern, profesional dan terkemuka.


(Paul Sutaryono ; Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar