Rabu, 13 November 2019

Pahlawan di Zaman Digital

MAKNA KEPAHLAWANAN
Pahlawan di Zaman Digital

Oleh :  YERI WIRAWAN

KOMPAS, 13 November 2019


Artikel Budiman Sudjatmiko di Kompas (28/10/2019) yang mengulas tentang pentingnya mendefinisikan kembali semangat Sumpah Pemuda masa kini dalam konteks industri 4.0 sangat menarik. Budiman Sudjatmiko mengingatkan kita pentingnya pemuda untuk berdaulat dalam penguasaan teknologi industri 4.0.

Artikel Budiman tersebut memperoleh konteks aktual dari hasil survei Litbang Kompas (4/11/2019) yang menyajikan temuan terjadinya pergeseran makna kepahlawanan di kalangan generasi milenial saat ini. Bagi kalangan milenial pahlawan masa kini adalah mereka yang kreatif dan inovatif dalam dunia startup (usaha rintisan). Termasuk yang dianggap pahlawan oleh mereka adalah para influencer dan pebisnis yang berkiprah di jagad digital atau media sosial.

Tentu kita memahami bila terjadi pergeseran makna kepahlawanan yang tak bisa dilepaskan dari konteks perubahan sosial budaya aktual dewasa ini. Namun demikian kita juga tetap perlu bersikap kritis terhadap proses konstruksi makna kepahlawanan tersebut.

Secara substansial semangat kepahlawanan berpijak pada nilai-nilai kerelaan untuk mengorbankan diri berjuang bersama menjaga keluhuran martabat kemanusiaan dan mewujudkan kehidupan bersama yang lebih adil dan sejahtera. Maka tepat waktu jika kita mengenang kembali peristiwa Pertempuran 10 November 1945 yang secara resmi dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Semangat pemuda

Kerelaan berkorban untuk mewujudkan  “Masyarakat yang merdeka, bersatu, adil dan makmur” merupakan komponen utama dalam Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Perang hebat yang terjadi saat itu merupakan ujian keteguhan bagi pemuda mewujudkan cita-cita. Jika diukur dari jumlah korban yang tewas dalam pertempuran di Surabaya, korban di pihak sekutu lebih sedikit dibandingkan para pemuda pejuang dan penduduk sipil. Namun momen pertempuran itu memperlihatkan gelora semangat para pemuda Indonesia yang sangat militan mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Hal yang tak bisa ditaklukan sekutu. Bahkan para pemuda menemukan identitas mereka yang baru yaitu sebagai motor pejuang kemerdekaan.

Sebagian besar pemuda yang berjuang dalam pertempuran di Surabaya rata-rata berumur belasan atau duapuluh-an tahun. Mereka menerjemahkan cita-cita kemerdekaan dengan sederhana yaitu angkat senjata melawan penjajah. Tanpa berpikir berbelit, tegas bersikap mengambil pilihan hidup atau mati.

Hal ini berbeda dengan corak perjuangan generasi sebelumnya yang lebih mengandalkan aktivitas intelektual dan politis. Para pemuda pejuang 10 November 1945 adalah  generasi yang menolak aksi basa-basi dan bertele-tele, lebih spontan merespon panggilan berjuang sebagai panggilan berperang mengangkat senjata. Gelora semangat itu tercermin secara sastrawi dalam puisi-puisi Chairil Anwar, penyair utama Angkatan ‘45.

Pemerintahan Sukarno mengabadikan semangat kepemudaan 10 November 1945 ini sebagai Hari Pahlawan pada tahun 1959. Cita-cita dan keberanian para pemuda dijadikan model rujukan bagi generasi-generasi selanjutnya untuk mencontoh semangat kepahlawanan. Pada masa Soekarno ini, upaya menjaga dan mengaktualkan semangat pemuda 1945 tidak menemukan banyak kesulitan dibandingkan pada era berikutnya.

Definisi musuh diaktualkan Soekarno saat memosisikan Indonesia-pada masa Perang Dingin- sebagai bagian dari New Emerging Force (Nefo) yang melawan upaya Barat sebagai pemenang Perang Dunia membangkitkan kembali imperialisme atau Neo Kolonialisme (Nekolim).

Makna kepahlawanan

Pergeseran makna kepahlawanan kembali terjadi saat rezim Orde Baru berkuasa. Pemerintah Orde Baru yang didominasi militer mendefinisikan musuh tidak lagi terkait ancaman penjajah dari luar melainkan sesama bangsa sendiri yaitu kaum Kiri dan loyalis Soekarno. Pada masa Orde Baru semangat kepahlawanan pemuda 10 November 1945 terasa mengendur.

Sekurangnya ada dua momen politik penting sebagai penanda kepahlawanan baru menggantikan narasi kepahlawanan era Soekarno. Pusat narasi kepahlawanan dalam masa rezim Orde Baru ada pada sosok Jenderal Soeharto. Pemerintah mensakralkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan menonjolkan peranan Soeharto, meminggirkan peranan penting Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Meskipun warga Yogyakarta tahu bahwa  serangan umum itu tidak akan terjadi tanpa restu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun yang terpenting dalam era ini adalah menggeser penekanan narasi kepahlawanan dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya ke Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta , yang berarti menggantikan kepahlawanan tokoh-tokoh pemuda ke Soeharto dan militer.

Peristiwa kepahlawanan lain yang juga penting pada masa Orde Baru adalah periode berlangsungnya “penumpasan G.30.S/PKI” yang juga menempatkan Jenderal Soeharto sebagai tokoh pahlawan yang paling menonjol. Berdasarkan berbagai studi sejarah terungkap bahwa dibalik narasi kepahlawanan ini terjadi tragedi kemanusiaan terbesar bangsa ini berupa penangkapan dan pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh Kiri atau pendukung setia Soekarno (Roosa, 2008). Kita menyaksikan pada masa rezim Orde Baru bagaimana narasi kepahlawanan menonjolkan peran militer dalam panggung sejarah nasional di atas peran rakyat sipil.

Peristiwa Mei 1998 dengan tragedi kemanusiaannya menjadi penanda kegagalan pemerintahan Orde Baru dalam merawat narasi kepahlawanan. Berbagai masalah sosial politik juga ekonomi yang berpotensi mengancam keutuhan NKRI membongkar kerapuhan bangunan kekuasaan Orde Baru dengan narasi kepahlawanan para tokoh utamanya.

Kemanusiaan

Selepas masa pemerintahan Soeharto, kita menghadapi tantangan baru yaitu membangun kembali narasi kepahlawanan di era reformasi dan digital. Tantangan-tantangan yang dirumuskan pada hari ini jauh lebih beragam dan kompleks dibandingkan pada masa sebelumnya. Kita bisa menyusun daftar panjang permasalahan bangsa yang kita hadapi saat ini. Dalam tulisan opininya, Budiman Sudjatmiko menawarkan penguasaan teknologi digital 4.0 sebagai alat untuk menjawab berbagai tantangan bangsa tersebut. Seperti juga yang ditunjukkan hasil survei Kompas, generasi muda menjadi motor kemajuan teknologi masa kini.

Namun di saat yang sama kita juga perlu menyadari bahwa soal kepahlawanan bukan hanya soal keunggulan dalam penguasaan teknologi digital. Panggilan sejarah kepada para pemuda untuk meletakkan keluhuran martabat kemanusiaan sebagai bangsa yang merdeka tetap menjadi ujian keteguhan memperjuangkan cita-cita hingga batas-batasnya yang terjauh. Adapun teknologi tetaplah sarana mencapai tujuan membangun masyarakat yang adil dan makmur. Di titik ini kita mungkin perlu berkaca pada apa yang sedang dibangun bangsa Jepang dengan strategi pembangunan Masyarakat 5.0 (Society 5.0).

Dalam proyek besarnya ini, bangsa Jepang mengarahkan pembangunan dan industri teknologinya dengan berorientasi pada “human-centred society” dan ramah lingkungan. Secara ringkas dapat dikatakan semua inovasi dan perkembangan teknologi negeri tersebut ditujukan untuk kemanusiaan.

Kita tentu menyadari kemampuan teknologi dan sumber daya kita masih jauh tertinggal dari yang dimiliki oleh masyarakat Jepang. Namun satu hal yang perlu kita pegang saat kita bekerja keras mengejar ketertinggalan adalah cita-cita kemanusiaan harus tetap menjadi titik sentral atau batu penjuru dalam setiap kemajuan teknologi yang kita kembangkan.


(Yeri Wirawan, Pengajar di Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar