Kalimat penuh kemarahan dilontarkan kepada para pemimpin dunia dalam UN Climate Action Summit 2019. ”How dare you! You have stolen my childhood. We are in the beginning of a mass extinction and all you can talk about is money and fairy tales of eternal economic growth—how dare you!” (Sungguh lancang, kalian! Kalian mencuri masa kanak-kanak saya. Kita sedang berada di awal musnah massalnya ras manusia, dan kalian hanya sibuk bicara tentang uang dan khayalan tentang pertumbuhan ekonomi abadi… sungguh lancang kalian!) Pelantangnya seorang remaja usia 16 tahun yang telah mengguncang dunia. Greta Thunberg.
Tahun 2018 lalu, Greta meninggalkan hari-hari belajar di sekolah demi berunjuk rasa di depan gedung parlemen Swedia setelah serangan udara panas (heatwave) akibat suhu tertinggi sejak 262 tahun lalu. Ia nekat beraksi sendirian, mencoba menarik perhatian parlemen agar membuat kebijakan tegas mengurangi emisi karbon sesuai dengan Perjanjian Paris.
Foto Greta duduk sendirian di depan tembok parlemen Swedia menarik perhatian publik. Aksinya menjadi inspirasi bagi warga dunia. Saat ini di beberapa tempat di dunia, anak-anak remaja melakukan aksi ”Fridays for Future”, sebuah gerakan bolos sekolah untuk berunjuk rasa menyerukan agar negara-negara mereka menangani perubahan iklim secara serius. Sekurangnya, sampai saat ini ada empat aksi global yang diikuti lebih dari 4 juta warga, terhubung melalui teknologi informasi.
Pidato-pidato Greta yang lugas dan pedas menyentak para pemimpin dunia walaupun tak semua dapat menerimanya. Greta menuduh para penguasa tidaklah sungguh-sungguh peduli terhadap masa depan yang akan rusak akibat perubahan iklim. Katanya, ”you are not mature enough to tell it is like it is,” menuding para politisi dan pemerintahan negara-negara yang tak cukup dewasa untuk bisa mengakui persoalan ini.
Moncernya Greta memperjelas babak baru dalam dinamika hubungan antara warga dan pemerintah. Sebelumnya, unjuk rasa dilakukan kelompok usia produktif yang biasanya adalah para aktivis demokrasi dan mahasiswa serta perkumpulan profesi, seperti serikat buruh. Aksi Greta yang diikuti anak-anak remaja di beberapa tempat di dunia telah mendorong guru dan orangtua mengizinkan anak-anaknya mengikuti unjuk rasa perubahan iklim.
Gerakan Greta melengkapi gerakan anak muda di sejumlah tempat di dunia. Tahun 2016, saya berkesempatan mengikuti sebuah konferensi di Korea Selatan yang membahas kepemimpinan anak muda dalam memperjuangkan keadilan di Asia. Aksi Umbrella Movement di Hong Kong, Sunflower Movement di Taiwan, Gerakan Bersih di Malaysia, dan lain-lain rupanya digerakkan oleh mahasiswa dan anak muda, sebagaimana di Indonesia pada tahun 1998.
Beberapa bulan terakhir, aksi unjuk rasa besar mengguncang beberapa kota di dunia, seperti Beirut, Chile, Iran, Irak, Lebanon, Bolivia, dan Spanyol. Anak-anak muda menginisiasi, menginspirasi jutaan orang yang kemudian bergabung. Sebagian berlangsung damai, sebagian menimbulkan korban jiwa karena ricuh. Di Chile, 19 orang meninggal, sedangkan di Iraq sejumlah 240 jiwa melayang.
Tema yang selalu muncul dalam aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai sudut dunia ini adalah kemarahan kepada elite politik yang gagal menyejahterakan warganya serta isu korupsi yang merajalela. Warga tidak lagi dapat menahan diri menggugat ketimpangan sosial akibat kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat sehingga peluang ekonomi tak merata dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Menurunnya kualitas demokrasi membuat suara dan aspirasi rakyat tak lagi dapat didengar sebab suara rakyat diganti oleh suara para wakil rakyat yang mengatasnamakan rakyat, tetapi lebih banyak berjuang untuk kepentingan partai politiknya. Istilah demokrasi telah dibajak menjadi istilah yang makin santer terdengar. Muncul pula pertanyaan apakah demokrasi sebagai sebuah sistem politik masih layak untuk dipertahankan karena justru memberikan banyak keuntungan kepada elite politik-ekonomi saja. Dalam kata-kata Greta, ”It is the sufferings of the many which pay for the luxuries of the few.” (”Penderitaan masyarakat banyaklah yang mengongkosi kemewahan yang dinikmati segelintir orang”).
Di Indonesia, anak-anak muda mulai menggerakkan aksi unjuk rasa terkait dengan berbagai regulasi kontroversial. Kehadiran anak-anak usia sekolah menengah cukup mengejutkan publik kita, tetapi pada dasarnya ini adalah fenomena global. Kemarahan anak-anak muda ini bersumber dari kegeraman mereka melihat situasi bangsa. Fenomena ini patut direspons dengan perbaikan kualitas kehidupan rakyat dan kualitas demokrasi kita sebab bila tidak, kegeraman ini akan semakin menggumpal.
Bisa jadi, anak-anak muda kita akan terinspirasi dari Greta, ”we have not come here to beg the world leaders to care for our future. They have ignored us in the past and they will ignore us again. We have come here to let them know that change is coming whether they like it or not.” (”Kami tidak datang untuk berlutut di hadapan para pemimpin untuk menjaga masa depan. Mereka dulu mengabaikan kita, nanti pun akan demikian. Kami datang untuk memberi tahu mereka bahwa perubahan akan terjadi, tidak peduli mereka siap atau tidak”). ***