Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar tutup usia Rabu (30/10/2019) dalam usia 87 tahun. Ia tidak pernah menduduki pucuk pimpinan pengambilan kebijakan di bidang pendidikan, katakan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi perhatian, kecintaan, dan komitmennya didarmabaktikan total untuk pengembangan pendidikan.
Semua wilayah yang berurusan dengan pendidikan, terutama, jenjang pendidikan dasar dan menengah dirambahnya, mulai dari mengajar, melakukan penelitian dan penulisan artikel serta buku. Juga ketika dipercaya menduduki jabatan-jabatan birokratis di Bappenas maupun sebagai direktur utama Lembaga Manajemen Universitas Negeri Jakarta. Dan diberi kebebasan penuh oleh istrinya, Martha Tilaar, pengusaha kosmetika.
Memasuki wilayah pendidikan sejak tahun 1952 dengan menjadi guru sampai usia senja lebih dari 80 tahun, Tilaar masih mengajar. Tidak hanya mengajar, bahkan dalam tugas sebagai birokrat pun Pak Tilaar—demikan biasa dipanggil—selain terus mengajar juga menulis buku. Puluhan buku ditulisnya, dan umumnya berhalaman tebal. Dua di antaranya, pada tahun 2012 menerbitkan buku tentang kebijakan pendidikan selama 50 tahun Indonesia merdeka setebal 1.000 halaman.
Di tahun 2012 terbit buku tebalnya 1.245 halaman berjudul Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Selain dua dua buku tebal itu, Tilaar menerbitkan pula puluhan buku yang umumnya minimal tebalnya 300 halaman. Semua bukunya tidak hanya resume atau perjalanan sejarah praksis pendidikan di Indonesia, tetapi juga kritik yang selalu dilengkapi dengan solusi.
Dari antara serakan buku itu, Tilaar sampai pada kesimpulan tentang pendidikan kritis Paulo Freire yang gagasannya mirip dengan Taman Siswa. Buku tokoh pendidikan Brasil ini muncul pertama kali tahun 1968 dengan judul Pedagogy of the Opressed. Tentu bukan buku Freire menjadi satu-satunya referensi buku-buku Tilaar dan sikap kritisnya tentang pendidikan di Indonesia. Enam tahun diasingkan di Belanda, membuat Ki Hadjar Dewantara menikmati kesempatan banyak mempelajari ide-ide baru tentang pendidikan.
Namun pendidikan kritis, pendidikan yang membebaskan, itulah gagasan yang rupanya paling menarik bagi Ki Hadjar, dan memberi bingkai atas pemikirannya tentang praksis pendidikan untuk Indonesia, sekarang dan ke depan: mempelajari terobosan praksis pendidikan yang dilatarbelakangi upaya Indonesia merdeka. Sebegitu obses dengan gagasan Ki Hadjar dan praksis pendidikan Taman Siswa, Tilaar pun tergerak menerjemahkan pemikiran Ki Hadjar ke dalam Bahasa Ingggris.
Sowing the Seed of Freedom. Ki Hadjar Dewantara as A Pioneer of Critical Pedagogy, terbit tahun 2014, itulah judul bukunya. Buku yang relatif tipis dibanding buku-buku Tilaar yang lain. Bersama INS Kayutanam di Sumatera Barat dengan tokohnya Engku Mohamad Syafei, menurut Tilaar, bersama Perguruan Taman Siswa Ki Hadjar, merekalah dua pelopor kebangsaan Indonesia merdeka lewat bidang pendidikan. Membandingkan di antara keduanya, Taman Siswa dirasanya lebih radikal, sebab sekaligus menjadi antitese sistem pendidikan Belanda yang hanya diselenggarakan demi kepentingan penjajah.
Pendidikan yang membebaskan
Pendidikan kritis yang dipraktikkan Freire merupakan pertemuan antara pencarian intelektualitas dan praksis pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan. Paradigma pendidikan kritis Paulo Frerie menghendaki perubahan sosial yang berkeadilan. Untuk itu dituntut penyadaran yang didasarkan atas jati diri sebagai pelaku yang sadar akan jati dirinya.
Pemberantasan buta huruf yang dia cobakan dengan metode ini, ternyata dinilai sebagai bagian dari agenda pembebasan/kemerdekaan. Paulo Freire pun dikenal sebagai pelopor pemikir dan pengembang pendidikan kritis.
Ki Hadjar yang hidup beberapa tahun sebelumya, dilatarlakangi kegiatan politiknya bersama Tjipto Mangunkusumo dan EE Douwes Dekker, sejak awal memanfaatkan kegiatan pendidikan sebagai sarana perjuangan kemerdekaan. Karena itu dia gali nilai-nilai budaya (Jawa) diramu dengan gagasan-gagasan pendidikan dan praksis pendidikan modern. Tiga di antaranya adalah Ana Montessori, Frobel dan Kreschenteiner—penggagas sekolah kerja yang kemudian dibawa John Dewey ke AS. Fokus masing-masing melengkapi gagasan pendidikan kritis Taman Siswa yang kemudian dilengkapi dengan sistem asrama model Shanti Niketan dari Rabindranath Tagore.
Selain pendidikan kritis dan membebaskan, Tilaar juga memberikan fokus praksis pendidikan yang memberi perhatian pada faktor guru. Guru itu aset, bukan modal. Dia pun selalu mengingatkan pertanyaan Kaisar Hirohito ketika Hiroshima dihancurkan Sekutu. “Berapa orang guru yang selamat?”, sebuah pertanyaan sederhana tetapi bernas. Guru menjadi faktor kunci dalam kemajuan suatu bangsa. Beberapa buku yang ditulisnya, kebetulan Tilaar berlatar belakang guru—dari keluarga guru di Tomohon dan pendidikan keguruan yang ditempuhnya—selalu mengapresiasi dan mengingatkan tentang pentingnya guru.
Mengapresiasi dan mempraktikkan gagasan-gagasan besar Prof Tilaar tentu menuntut banyak penyesuaian. Mungkin juga sebagian sudah obsolete, usang. Tetapi gagasan-gagasan besar itu butuh penjabaran dan terutama dalam menghadapi era digital saat ini. Pembelajaran era 4.0 niscaya berbeda dengan pembelajaran di era sebelumnya. Dan karena setiap gagasan memiliki masa tertentu, masuk akal gagasan-gagasan besar dan mendasar Prof Tilaar memperoleh pembaruan dan penyuesuaian.
Namun, ada gagasan besar yang niscaya tidah berubah yakni: pendidikan haruslah membebaskan anak didik dari keterbelengguan. Biarlah mereka berkembang bebas, bila perlu pamong/guru mengingatkan serta memberi dorongan dari belakang. Ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karsa tut wuri handayani.
(St Sularto ; Wartawan Senior)