Selasa, 19 November 2019

Menuju Litbang yang Dipandang

LEMBAGA RISET NASIONAL
Menuju Litbang yang Dipandang

Oleh :  IRSAN A. PAWENNEI

KOMPAS, 19 November 2019


Pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN melahirkan harapan akan majunya penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia. Supaya bisa memenuhi harapan itu, format kelembagaan BRIN perlu disusun secara jeli dengan memperhatikan peran dan fungsi berbagai lembaga litbang yang sudah ada.

Wacana pembentukan BRIN mulai mengemuka dalam proses penyusunan RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Adanya kebutuhan lembaga baru ini juga dipicu keresahan Presiden Jokowi ketika membuka sidang kabinet paripurna pada 9 April 2018. Waktu itu, Presiden mempertanyakan hasil anggaran riset sebesar Rp 24,9 triliun per tahun. Ia menilai uang sebesar itu tidak terlihat karena dibagi-bagi ke berbagai kementerian/lembaga.

Terlepas dari persentase kegiatan litbang yang hanya sekitar 44 persen dari angka tersebut (LIPI, 2016), ada masalah mengakar terkait keluaran riset yang belum berdampak pada pembangunan. Keadaan ini dipengaruhi ekosistem riset yang belum terbangun sehingga muncul kebutuhan hadirnya institusi seperti BRIN (Kompas, 20/2/2019).

Litbang, yang dengan adanya UU No. 11/2019 tentang Sisnas Iptek diperluas aktivitasnya menjadi penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan (litbang jirap) dalam bentuk invensi dan inovasi, selama ini acap kali dipandang sebelah mata. Litbang seringkali tidak diperhatikan sehingga muncul ungkapan ‘litbang = sulit berkembang’.

Saat ini, ada berbagai lembaga litbang pemerintah di tingkat pusat. Pertama, Lembaga Pemerintah Kementerian (LPK). Saat ini terdapat 21 Kementerian yang mempunyai unit litbang. Berdasarkan CIPG (2014), mayoritas litbang LPK fokus menghasilkan kebijakan yang mendukung kementeriannya, seperti Balitbang Kementerian Kominfo.

Di sisi lain, beberapa litbang LPK juga menghasilkan riset terapan, seperti Balitbang Kementerian PU-PR. Kedua, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Saat ini ada enam LPNK bidang iptek, antara lain LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, BAPETEN, dan BSN. Sebagian besar LPNK tersebut mempunyai kekhususan, yaitu BATAN dan BAPETEN di bidang ketenaganukliran; LAPAN di bidang keantariksaan; BSN di bidang standardisasi.

Pemerintah dan DPR sebagai penyusun UU Sisnas Iptek sudah menyadari bahwa iptek dibutuhkan dalam meningkatkan daya saing bangsa. Sebagai wujud keseriusan, pemerintah sudah menyiapkan dana abadi penelitian sebesar Rp 99 miliar pada tahun 2019 yang dikelola perguruan tinggi.

Namun, penambahan sumber pendanaan ini tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah keluaran riset yang belum berdampak. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya fungsi regulator dan fasilitator dalam memperbaiki tata kelola ekosistem riset, serta memastikan efektivitas anggaran.

Regulator dan fasilitator

Saat ini, Kementerian Riset dan Teknologi sedang menggodok kelembagaan dan fungsi BRIN sebagaimana yang diamanatkan UU Sisnas Iptek dalam menjalankan litbang jirap, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Terdapat dua opsi utama yang berkembang.

Pertama, BRIN sebagai penggabungan berbagai lembaga litbang jirap. Opsi ini akan mempermudah koordinasi aktivitas riset karena mempunyai satu kepala. Namun, BRIN akan cenderung menjadi lembaga berkekuatan besar yang berperan memberikan arah riset, mengelola pendanaan, serta menjalankan aktivitas riset. Dengan memperhatikan kompleksitas lembaga, terutama lembaga litbang LPK yang langsung mendukung kementeriannya, serta berbagai LPNK yang mempunyai kekhususan bidang, sulit untuk membayangkan berbagai lembaga litbang dapat disatukan.

Kedua, BRIN sebagai regulator dan fasilitator yang memastikan integrasi aktivitas litbang jirap, invensi, dan inovasi. Fungsi ini dijalankan dengan memisahkan antara lembaga yang melakukan aktivitas riset dengan lembaga yang memberikan arah dan pendanaan. Arah riset yang divergen menjadi permasalahan utama dalam satu dekade terakhir. Adanya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang berlandaskan peraturan presiden (Perpres No. 38/2018) sudah menjadi solusi.

Di sisi pendanaan, BRIN bisa berperan sebagai penyalur pendanaan riset satu pintu, sehingga tidak ada lagi penyaluran dana kegiatan litbang ke berbagai kementerian/lembaga. Dalam hal ini, BRIN sebagai pengambil keputusan pendanaan juga dapat menyalurkan dana abadi penelitian bekerjasama dengan lembaga pendanaan yang mempunyai manajer investasi dalam mengelola dana. Selain itu, opsi ini juga mendukung skema kompetisi nasional, peneliti harus berkompetisi untuk mendapatkan dana riset, sehingga akan menumbuhkan peneliti yang berdaya saing.

Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, opsi kedua tampaknya lebih efektif untuk dilakukan dalam waktu dekat. Seiring dengan itu, secara perlahan, lembaga litbang jirap yang kurang kompetitif dan mempunyai fokus riset yang sama bisa dilebur. Ambil contoh di bidang bioteknologi, terdapat Balai Besar Bioteknologi BPPT dan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Kesamaan bidang riset juga ditemui antara lembaga litbang LPK dan LPNK, yakni Balai Besar Keramik Kementerian Perindustrian dan Balai Teknologi Industri Kreatif Keramik BPPT.

Terkait dengan itu, Lukman Hakim mengatakan bahwa tantangan terbesar Menristek/Kepala BRIN bukan menggabungkan berbagai lembaga riset yang sudah ada, melainkan menyinergikan segenap potensi sumber daya iptek agar memberikan kontribusi signifikan bagi Indonesia (Kompas, 12/11/2019).

Oleh karena itu, saya mengusulkan BRIN yang melekat pada Kementerian Ristek berfungsi seperti BAPPENAS yang melekat pada Kementerian PPN. BRIN berfungsi membuat perencanaan program dan anggaran di bidang iptek, integrasi data dan informasi iptek, memberikan arah riset, serta menyalurkan pendanaan riset, namun bukan menjadi pelaksana litbang jirap.

Penataan peran dan fungsi kelembagaan yang cermat dengan memperhatikan keberadaan berbagai lembaga litbang akan bisa menempatkan BRIN pada posisi yang tepat sehingga bisa mendorong kemajuan litbang jirap. Semoga dengan adanya BRIN, litbang tidak dianggap sulit berkembang, melainkan dipandang dan dapat menjadi solusi pembangunan.


Irsan A. Pawennei, Co-Founder & Advisor Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar