Senin, 25 November 2019

Indeks Keterbukaan Anggaran Daerah

TRANSPARANSI ANGGARAN
Indeks Keterbukaan Anggaran Daerah

Oleh :   DEDI HARYADI

KOMPAS, 25 November 2019


Kemendagri menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyisir  dokumen Anggaran  Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) demi  memastikan tak adanya  penyimpangan dalam  pengelolaan anggaran pemerintah  pusat yang ditransfer ke daerah (Kompas, 30/10/2019).

Rencana ini dipicu berbagai kasus korupsi APBD di daerah  termasuk kasus ganjilnya  rencana belanja  Pemprov DKI.  Diberitakan Pemprov DKI pada tahun fiskal 2020 akan  belanja lem, bolpoin, storage, komputer yang nilainya  ratusan miliar rupiah.  Boleh jadi praktik penyusunan anggaran seperti Pemprov DKI juga dilakukan pemda lain.   Karena itu, ide  menyisir dokumen  APBD, bagus dan oke saja. Tapi bagaimana dan siapa yang nanti menyisir APBD sementara jumlah pemda itu ratusan?

Pasti sulit  dan melelahkan menyisir 576 dokumen  APBD  yang terdiri dari 34 APBD provinsi dan 542 APBD pemerintah kota dan kabupaten. Dua pertanyaan itu mengarah pada perlunya instrumen yang efisien dan efektif dalam menyisir dokumen APDB.  Informasi yang didapat dari penyisiran itu berguna untuk merancang aksi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi termasuk memberikan apresiasi pada pemda yang pengelolaan APBD-nya  sudah sangat baik. Apakah ada instrumen seperti itu? Ada.

Sejak 2006, International Budget Partnership (IBO)  mengembangkan Open Budget Index/OBI (Indeks Keterbukaan Anggaran).  Indeks ini menangkap praktik—bukan aturan normatif seperti yang diatur dalam UU atau peraturan—pengelolaan anggaran di suatu negara. Ada tiga praktik pengelolaan negara yang ditangkap dalam indeks ini, yaitu transparansi anggaran, pelembagaan partisipasi publik  dan akuntabilitas pengelolaan  anggaran negara.

‘Standar’ transparansi, partisipasi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara itu disusun berdasar praktik terbaik (best practices)  pengelolaan anggaran di negara maju. Indeks itu  juga merekam proses dan siklus anggaran suatu negara secara lengkap  dimulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi dan auditing.

Dengan indeks ini bisa  diketahui, 1)pasang surut keterbukaan anggaran suatu negara sepanjang waktu, 2) perbandingan  keterbukaan anggaran dari negara ke negara, dan 3) peringkat keterbukaan anggaran antar negara sepanjang waktu.

Pasang surut keterbukaan anggaran suatu negara dapat dilihat dari kategorisasi skor indeks. Skor OBI itu dari nol sampai 100. Ada lima kategori skor indeks: 1) extensive (81-100), 2) substansial (61-80), 3) limited ( 41-60), 4)minimal (21-40) dan 5) scant atau none (0-20).

Lima  negara yang anggarannya paling terbuka saat ini berdasar hasil survei 2017  adalah  1) Selandia Baru, 2) Afrika Selatan, 3) Swedia, 4) Norwegia, 5) Georgia. Kelima negara itu menyajikan data dan informasi anggaran secara ekstensif ke warganya.  Posisi ini relatif tak berubah dibanding hasil survei 2015, kecuali Georgia dan AS. Peringkat Georgia membaik dari  ke-16 menjadi ke-5, AS memburuk dari  ke-5 menjadi ke-8.

Perubahan skor OBI dan peringkat keterbukaan anggaran menunjukkan komitmen dan konsisten pemerintah dalam mengembangkan keterbukaan anggaran.  Selandia Baru, Afsel, Swedia dan Norwegia, menunjukkan komitmen dan konsistensi tinggi menyediakan informasi anggaran secara ekstensif ke warganya bahkan termasuk informasi anggaran pertahanan dan keamanan (militer).

Di banyak negara, termasuk Indonesia,  informasi anggaran militer masih dianggap rahasia atau sangat rahasia.  Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR bulan ini, menganggap informasi anggaran militer   rahasia bahkan di lingkungan parlemen sekalipun.

Modifikasi indeks

Bagaimana indeks keterbukaan anggaran kita?  Pada 2015 Indonesia menduduki peringkat ke-26 dengan skor OBI 59, dari 100 negara yang disurvei. Dua tahun kemudian (2017) peringkat 23 dengan skor 64.  Kita naik kelas dari kategori limited ke substansial.  Agenda advokasi kebijakan  yang penting dan mendesak ke depan adalah bagaimana terus mendorong keterbukaan sehingga kita bertengger di peringkat lima besar.  Dengan kian terbukanya data dan informasi  anggaran, risiko korupsi akan kian terkendali.

Keempat negara yang anggarannya paling terbuka juga punya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang baik.  Artinya makin baik keterbukaan anggaran suatu negara maka akan makin kecil risiko korupsi negara itu.

Pengalaman IBP mengembangkan OBI bisa jadi inspirasi bagi kita dalam mengembangkan, sebut saja, Indeks Keterbukaan Anggaran Daerah (IKAD).  Kalau penyisiran APBD yang akan dilakukan Kemendagri dan KPK itu dikontekskan dalam penyusunan dan pengembangan  IKAD maka, penyisiran itu tampak akan lebih  sistematik dan programatik.

Jadinya penyisiran APBD itu megandung tiga elemen penting: 1) disklosur dokumen APBD  sehingga publik dapat mengakses dokumen itu; 2) pelembagaan partisipasi publik dalam proses penganggaran lokal, 3) meningkatkan akuntabilitas kebijakan dan alokasi anggaran. Dengan ketiga hal itu, penyisiran APBD itu  ditempatkan dalam konteks  memperbaiki  tata kelola pemerintahan yang baik.

Kemendagri dan KPK tak punya pengalaman dan kompetensi cukup  dalam menyusun  IKAD. Oleh karena itu kerja sama keduanya  harus diperluas dengan melibatkan lembaga lain. Sebenarnya perguruan tinggi atau lembaga penelitian swasta bisa juga menyusun dan menerbitkan  IKAD. Tapi sebaiknya BPS yang menyusun dan menerbitkan IKAD  secara berkala dan teratur. BPS lebih berpengalaman, punya SDM cukup, anggaran teratur dan jaringan kerja luas sehingga bisa menjangkau seluruh pemda di Tanah Air dan juga  lebih bebas dan mandiri.

Tanpa harus mengganggu kebebasan dan kemandiriannya BPS bisa bekerja sama dengan lembaga donor atau lembaga pembangunan internasional, seperti IBP, misalnya, untuk mengembangkan indeks ini.

Dengan IKAD ini kita bisa mengetahui pasang surut transparansi APBD sepanjang waktu,  perbandingan  transparansi APBD  antar-pemda dan peringkat transparansi APBD antar pemda  sepanjang waktu. Kalau mau, informasi ini bisa jadi dasar Kemendagri memberi penghargaan ke pemda yang sukses dan terbaik dalam mengelola APBD.  Hanya pemda dengan skor dan peringkat IKAD tertinggi berhakdapat penghargaan, bukan yang paling tinggi daya serap APBD-nya.


(Dedi Haryadi ;  Staf Ahli pada Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar