TRANSPARANSI ANGGARAN
Indeks Keterbukaan Anggaran Daerah
Oleh : DEDI HARYADI
KOMPAS, 25 November 2019
Kemendagri
menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyisir dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
demi memastikan tak adanya penyimpangan dalam pengelolaan anggaran pemerintah pusat yang ditransfer ke daerah (Kompas,
30/10/2019).
Pasti
sulit dan melelahkan menyisir 576
dokumen APBD yang terdiri dari 34 APBD provinsi dan 542
APBD pemerintah kota dan kabupaten. Dua pertanyaan itu mengarah pada perlunya
instrumen yang efisien dan efektif dalam menyisir dokumen APDB. Informasi yang didapat dari penyisiran itu berguna
untuk merancang aksi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi termasuk
memberikan apresiasi pada pemda yang pengelolaan APBD-nya sudah sangat baik. Apakah ada instrumen
seperti itu? Ada.
Sejak 2006,
International Budget Partnership (IBO) mengembangkan
Open Budget Index/OBI (Indeks Keterbukaan Anggaran). Indeks ini menangkap praktik—bukan aturan
normatif seperti yang diatur dalam UU atau peraturan—pengelolaan anggaran di
suatu negara. Ada tiga praktik pengelolaan negara yang ditangkap dalam indeks
ini, yaitu transparansi anggaran, pelembagaan partisipasi publik dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara.
‘Standar’
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara itu
disusun berdasar praktik terbaik (best practices) pengelolaan anggaran di negara maju. Indeks
itu juga merekam proses dan siklus
anggaran suatu negara secara lengkap
dimulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi dan auditing.
Dengan
indeks ini bisa diketahui, 1)pasang
surut keterbukaan anggaran suatu negara sepanjang waktu, 2) perbandingan keterbukaan anggaran dari negara ke negara,
dan 3) peringkat keterbukaan anggaran antar negara sepanjang waktu.
Pasang surut
keterbukaan anggaran suatu negara dapat dilihat dari kategorisasi skor indeks.
Skor OBI itu dari nol sampai 100. Ada lima kategori skor indeks: 1) extensive
(81-100), 2) substansial (61-80), 3) limited ( 41-60), 4)minimal (21-40) dan 5)
scant atau none (0-20).
Lima negara yang anggarannya paling terbuka saat
ini berdasar hasil survei 2017
adalah 1) Selandia Baru, 2)
Afrika Selatan, 3) Swedia, 4) Norwegia, 5) Georgia. Kelima negara itu menyajikan
data dan informasi anggaran secara ekstensif ke warganya. Posisi ini relatif tak berubah dibanding
hasil survei 2015, kecuali Georgia dan AS. Peringkat Georgia membaik dari ke-16 menjadi ke-5, AS memburuk dari ke-5 menjadi ke-8.
Perubahan
skor OBI dan peringkat keterbukaan anggaran menunjukkan komitmen dan konsisten
pemerintah dalam mengembangkan keterbukaan anggaran. Selandia Baru, Afsel, Swedia dan Norwegia,
menunjukkan komitmen dan konsistensi tinggi menyediakan informasi anggaran
secara ekstensif ke warganya bahkan termasuk informasi anggaran pertahanan dan
keamanan (militer).
Di banyak
negara, termasuk Indonesia, informasi
anggaran militer masih dianggap rahasia atau sangat rahasia. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dalam
dengar pendapat dengan Komisi I DPR bulan ini, menganggap informasi anggaran
militer rahasia bahkan di lingkungan
parlemen sekalipun.
Modifikasi indeks
Bagaimana
indeks keterbukaan anggaran kita? Pada
2015 Indonesia menduduki peringkat ke-26 dengan skor OBI 59, dari 100 negara
yang disurvei. Dua tahun kemudian (2017) peringkat 23 dengan skor 64. Kita naik kelas dari kategori limited ke
substansial. Agenda advokasi
kebijakan yang penting dan mendesak ke
depan adalah bagaimana terus mendorong keterbukaan sehingga kita bertengger di
peringkat lima besar. Dengan kian
terbukanya data dan informasi anggaran,
risiko korupsi akan kian terkendali.
Keempat negara
yang anggarannya paling terbuka juga punya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang
baik. Artinya makin baik keterbukaan
anggaran suatu negara maka akan makin kecil risiko korupsi negara itu.
Pengalaman
IBP mengembangkan OBI bisa jadi inspirasi bagi kita dalam mengembangkan, sebut
saja, Indeks Keterbukaan Anggaran Daerah (IKAD). Kalau penyisiran APBD yang akan dilakukan
Kemendagri dan KPK itu dikontekskan dalam penyusunan dan pengembangan IKAD maka, penyisiran itu tampak akan
lebih sistematik dan programatik.
Jadinya
penyisiran APBD itu megandung tiga elemen penting: 1) disklosur dokumen
APBD sehingga publik dapat mengakses
dokumen itu; 2) pelembagaan partisipasi publik dalam proses penganggaran lokal,
3) meningkatkan akuntabilitas kebijakan dan alokasi anggaran. Dengan ketiga hal
itu, penyisiran APBD itu ditempatkan
dalam konteks memperbaiki tata kelola pemerintahan yang baik.
Kemendagri
dan KPK tak punya pengalaman dan kompetensi cukup dalam menyusun IKAD. Oleh karena itu kerja sama
keduanya harus diperluas dengan
melibatkan lembaga lain. Sebenarnya perguruan tinggi atau lembaga penelitian
swasta bisa juga menyusun dan menerbitkan
IKAD. Tapi sebaiknya BPS yang menyusun dan menerbitkan IKAD secara berkala dan teratur. BPS lebih
berpengalaman, punya SDM cukup, anggaran teratur dan jaringan kerja luas
sehingga bisa menjangkau seluruh pemda di Tanah Air dan juga lebih bebas dan mandiri.
Tanpa harus
mengganggu kebebasan dan kemandiriannya BPS bisa bekerja sama dengan lembaga
donor atau lembaga pembangunan internasional, seperti IBP, misalnya, untuk
mengembangkan indeks ini.
Dengan IKAD
ini kita bisa mengetahui pasang surut transparansi APBD sepanjang waktu, perbandingan
transparansi APBD antar-pemda dan
peringkat transparansi APBD antar pemda
sepanjang waktu. Kalau mau, informasi ini bisa jadi dasar Kemendagri memberi
penghargaan ke pemda yang sukses dan terbaik dalam mengelola APBD. Hanya pemda dengan skor dan peringkat IKAD
tertinggi berhakdapat penghargaan, bukan yang paling tinggi daya serap
APBD-nya.
(Dedi Haryadi ; Staf Ahli pada Sekretariat Nasional Pencegahan
Korupsi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar