Keberhasilan bangsa Indonesia mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai pemersatu sejak deklarasi Sumpah Pemuda 1928 merupakan kebanggaan. Di beberapa negara lain, ini masih merupakan perjuangan dan alasan konflik.
Komitmen merawat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional perlu terus dipertahankan.  Secara garis besar, ada empat kategori bahasa yang digunakan di Indonesia: bahasa daerah, bahasa Indonesia, varian bahasa Indonesia (campuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah), dan bahasa asing.
Bahasa asing dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia adalah bahasa Inggris, Mandarin, dan Arab. Artikel menyoroti penggunaan bahasa Inggris di sekolah terutama berkaitan dengan Peraturan Presiden RI No 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang baru disahkan 30 September 2019.
Bagian kelima perpres mengatur Bahasa Pengantar dalam Pendidikan Nasional.  Pasal 23: ”Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional” (Ayat 1) ”dalam seluruh jenjang pendidikan” (Ayat 2).
Selanjutnya, ”Selain Bahasa Indonesia…, Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah… pada tahun pertama dan kedua untuk mendukung pembelajaran” (Ayat 3) dan ”.., Bahasa Asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik” (Ayat 4).
Bahasa asing di sekolah
Sejak kemerdekaan RI tahun 1945, bahasa Belanda tak dipilih sebagai bahasa asing utama karena dianggap bahasa penjajah.  Bahasa Inggris justru diajarkan secara resmi dan masuk kurikulum nasional untuk jenjang SMP dan SMA.  Beberapa dekade kemudian, bahkan diajarkan di sekolah dasar (SD) dan pra-SD, terutama di sekolah yang mengejar status sebagai unggulan.
Ada dua macam status bahasa Inggris di sekolah: diajarkan sebagai mata pelajaran dan digunakan sebagai bahasa pengantar. Pada status pertama, ada berbagai pendekatan, model, dan metode pengajaran berdasar teori-teori yang berbeda. Kurikulum Bahasa Inggris di Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan pendekatan dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing (Lie, TEFLIN Journal, 2007 & 2017).
Yang terakhir dan masih berlaku adalah Kurikulum Bahasa Inggris 2013 dengan pendekatan saintifik dengan prosedur lima langkah (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan).
Status bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pemelajaran terjadi di sebagian sekolah swasta yang melabeli diri sekolah internasional atau nasional plus beberapa tahun sebelum ada pengaturan secara legal dan spesifik.  UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 33 mengatur ”Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional” (Ayat 1) dan ”bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik” (Ayat 3).
Frasa pada satuan pendidikan tertentu rupanya menjelma jadi ruang bagi pendirian Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas.  Praktik SBI dan RSBI memunculkan banyak masalah. Kompetensi bahasa Inggris para guru umumnya sangat rendah sehingga proses pemelajaran jadi kacau.
Untungnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi dan memutuskan RSBI tak sesuai dengan UUD 1945. MK menyatakan, RSBI/SBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan dan bentuk baru liberalisasi pendidikan. RSBI/SBI juga menimbulkan diskriminasi pendidikan.
Penggunaan bahasa asing sebagai pengantar juga berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia.
”Jika pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas sekolah publik, harus ada perlakuan yang sama untuk semua sekolah,” kata Ketua MK Mahfud MD (Kompas, 9/1/2013).  ”Selain itu, penekanan bahasa Inggris bagi siswa di sekolah RSBI atau SBI dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda 1928. Sebab itu, seluruh sekolah di Indonesia seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.”
Perpres No 63/2019 tampaknya membuka kembali ruang bagi penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di pendidikan. Pasal 23 menyatakan, ”Selain Bahasa Indonesia, bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.” Frasa pada satuan pendidikan tertentu tak dicantumkan lagi. Harapannya, diskriminasi dalam bentuk perbedaan layanan, sarana dan prasarana pendidikan termasuk pemelajaran bahasa Inggris tak lagi terjadi.
Larangan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah bukan hanya tak ampuh, tetapi justru menimbulkan keterpisahan linguistik yang kian mendalam berdasar kelas sosial ekonomi. Segelintir peserta didik di sekolah berstatus Satuan Pendidikan Kerja Sama—jelmaan sekolah internasional dan SBI/RSBI—masih menikmati penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, sementara sebagian peserta didik lain harus menerima pelajaran Bahasa Inggris dari guru yang masih belum mencapai taraf penguasaan minimal bahasa Inggris.
Padahal, dua alat taktis untuk bisa bersaing dan berkontribusi di era revolusi industri 4.0 adalah kemampuan teknologi informasi-komunikasi dan penguasaan bahasa Inggris.
Sejalan dengan tuntutan global, dalam pidato pelantikan, Presiden Jokowi menetapkan target kerja pertama periode 2019-2024 adalah pembangunan SDM yang pekerja keras, dinamis, terampil, menguasai iptek, dan bekerja sama dengan talenta-talenta global.
Sulit membayangkan orang-orang muda Indonesia mampu menguasai iptek dan bekerja sama dengan talenta global secara prima tanpa penguasaan bahasa Inggris. Tantangan besar bagi Indonesia justru pada demokratisasi bahasa Inggris.
Demokratisasi di sini berarti pemerataan akses terhadap pemelajaran bahasa Inggris yang bermutu bagi semua peserta didik serta pemanfaatan bahasa Inggris sebagai medium untuk ikut mengekspresikan keindonesiaan di panggung dunia.
Walaupun bukan bahasa dengan jumlah penutur terbanyak, suka atau tidak, bahasa Inggris masih diakui sebagai bahasa paling berpengaruh karena penggunaannya di sektor keilmuan, industri, teknologi, dan budaya pop termasuk medsos.
Selain itu, saat ini bahasa Inggris sudah bukan lagi milik terbatas negara Inggris Raya, AS, dan Australia sebagai ”penutur asli”.  Bahasa Inggris sudah ikut berubah dan berkembang seiring penggunaannya yang makin meluas di kalangan penutur lain di luar ketiga negara tersebut.

Bahasa Inggris dan jati diri bangsa
Penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar tak berarti pengabaian terhadap bahasa nasional.  Pasal 24 Perpres No 63/2019 mewajibkan penggunaan ”Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, pendidikan agama, dan mata pelajaran terkait dengan pendidikan kewarganegaraan pada lembaga pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus” di mana ada juga anak-anak Indonesia yang bersekolah.
Sejak Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia sudah berhasil menjadi kekuatan pemersatu bangsa dan sampai kini menjadi lingua franca antarsuku bangsa di Tanah Air.  Orang Indonesia punya pengalaman dan kemampuan berinteraksi dalam masyarakat dengan keanekaragaman linguistik. Orang Indonesia sudah terbiasa bergerak secara cair dan melakukan translanguaging (praktik bermulti-bahasa) dengan nyaman.
Penelitian terhadap 1.707 siswa SMA di beberapa kota besar menunjukkan, penggunaan bahasa Inggris dalam percakapan di sekolah dan di medsos tak membuat mereka menjadi kurang Indonesia. Sebagian responden mengungkapkan mereka justru bisa berbicara soal Indonesia dengan teman-teman internasional di medsos.
Mereka tetap merasa sebagai anak Indonesia dengan kemampuan berbahasa asing dan kesempatan menjelajah ruang-ruang global. Mereka juga masih mengetahui kapan, di mana, dan dengan siapa harus berbahasa Indonesia serta berkeinginan terus belajar berbahasa Indonesia dengan baik (Harjanto, Lie, dan Wijaya, Indonesian Journal of Applied Linguistics, 2019).
Isu identitas nasional selalu menimbulkan kecemasan karena sebagai negara yang relatif masih muda, Indonesia masih terus menggeluti proses menjadi Indonesia.
Namun, isu ini akan secara bertahap menjadi terurai seiring kebutuhan penguasaan bahasa Inggris yang tak bisa dihindari dan kepercayaan diri yang makin bertumbuh sebagai orang Indonesia dengan berbagai identitas (suku, bahasa ibu, budaya lokal, pandangan global, gaya hidup) ***