Rabu, 13 November 2019

Negarawan dan Demokrasi

KOALISI PEMERINTAHAN
Negarawan dan Demokrasi

Oleh :   MOCH NURHASIM

KOMPAS, 13 November 2019


Secara teoretik, kombinasi sistem presidensial dengan multipartai ekstrem sulit menghasilkan kekuatan politik yang terkonsolidasi di parlemen.

Presiden terpilih biasanya kesulitan dalam membangun koalisi yang solid, sehingga di parlemen jarang memperoleh dukungan politik mayoritas. Hal demikian tidak terjadi pada kasus Indonesia, khususnya setelah Pemilu 2019 akibat bangunan pemerintahan yang merangkul semuanya.

Hasil Pemilu 2019 menunjukkan presiden/wakil presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin mampu mengkonsolidasikan kabinet dengan berhasil menarik Partai Gerindra yang diberi jatah dua kursi di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Masuknya Gerindra membuat kekuatan pendukung Jokowi di parlemen sangat besar, sekitar 74,98 persen atau hampir 75 persen. Sisanya, tinggal tiga partai yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang berada di luar pemerintahan dengan kekuatan sekitar 25,74 persen.

Politik “over jumbo”

Komposisi kabinet hasil Pemilu 2019 menunjukkan wajah kabinet kompromi politik, dibandingkan dengan kabinet kerja yang profesional (zakken cabinet). Kursi kabinet sebanyak 50 yang terdiri atas 38 menteri dan 12 wakil menteri dari kelompok profesional, partai pendukung, tim sukses dan orang-orang dekat Presiden. Komposisinya memang tidak bisa ideal, masih besar dari kalangan non-profesional sekitar 62 persen sedangkan yang berasal dari kalangan profesional hanya 38 persen. Hal itu kian mengukuhkan bahwa kabinet yang terbentuk adalah kabinet kompromi.

Koalisi “plus-plus” juga terjadi di parlemen, di mana dengan masuknya Gerindra, partai pengusung Jokowi-Ma’ruf menguasai hampir semua alat strategis yang penting di DPR, MPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dikuasainya empat pimpinan DPR, dan empat ketua Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan 14 wakil ketua AKD, pimpinan MPR dan DPD menunjukkan pola politik sapu bersih ala Jokowi dalam rangka mengukuhkan politiknya selama lima tahun. Ini menunjukkan bahwa hasil Pemilu 2019 mendorong terjadinya koalisi kartel yang tidak memiliki dasar, kecuali kepentingan politik.

Koalisi kartel dengan penguasaan 74,98 persen kursi di parlemen dan hanya menyisakan 25,74 persen partai di luar pemerintahan bisa mendorong timbulnya tirani mayoritas. Salah satu kasus dari dampak tirani mayoritas dalam demokrasi dapat kita lihat dari kasus pengesahan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi undang-undang (UU). Hampir semua kekuatan politik berkata sama dan sepakat, baik di parlemen maupun pemerintahan. Padahal suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan—vox populi, vox dei—menolak RUU KPK ini. Namun dalam praktik politik tak dihiraukan oleh parlemen dan pemerintah.

Koalisi kartel sebenarnya sah-sah saja dalam berdemokrasi. Namun demikian, ada bahayanya apabila koalisi kartel berubah menjadi perselingkuhan politik. Hal itu mungkin saja terjadi manakala pemerintah dan DPR memiliki kesepakatan politik yang bertentangan dengan “kehendak” masyarakat luas dan dianggap mencederai kepentingan bersama. Dalam konteks demokrasi, apa yang akan dihasilkan oleh pemerintah dan DPR sah menurut peraturan perundang-undangan, akan tetapi belum tentu legitimate atau dipercaya oleh pemilik kedaulatan. Pengalaman beberapa negara lain juga menunjukkan bahwa politik tanpa oposisi, bisa menimbulkan gejala demokrasi yang tersandera, karena institusi-institusi demokrasi dikooptasi oleh pemerintah dan tidak ada kekuatan lain yang menjadi penyeimbang untuk menyuarakan suara yang berbeda. Demokrasi demikian berkembang mirip dengan demokrasi gotong royong, demokrasi yang tanpa kritik dan tanpa pengawasan, karena semua kelompok harus menjadi bagian dari pemerintahan.

Pemaknaan demokrasi seperti itu bisa bermata dua, di satu sisi memang akan menjadikan presidensialisme-multipartai efektif dan efisien dalam membuat kebijakan. Namun, bisa jadi kebijakan yang dihasilkan dapat bertentangan dengan kehendak bersama atau menimbulkan kekecewaan publik secara luas.

Harus diakui, masuknya Gerindra pada KIM 2019-2004, oposisi seperti “kehilangan induk”. Tiga partai yang tersisa, PKS, PAN dan Demokrat secara politik tak memiliki kekuatan yang memadai, apalagi tak ditunjang oleh kader-kader yang piawai dan kritis dalam merespons sejumlah kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah. Lemahnya oposisi dapat saja menimbulkan efek kejut bagi demokrasi, karena secara otomatis akan melemahkan pengawasan parlemen terhadap pemerintah. Efek kejutnya bisa saja menimbulkan apa yang oleh Larry Diamond diistilahkan sebagai “facing up to the democratic recession” atau menghadapi resesi demokratik.

Di sisi lain, koalisi turah bisa saja akan menimbulkan gejala politik “saling menyandera” antara Presiden dan partai pendukung. Mengapa demikian? Karena kedua-duanya ingin merasa aman dan nyaman hingga periode akhir pemerintahan terwujud. Hal demikian bisa saja akan memengaruhi pola hubungan politik antara Presiden-parlemen, parlemen-partai dan problem reposisi parlemen-kabinet. Dalam wacana demokrasi, situasi demikian bisa menimbulkan tidak bekerjanya mekanisme checks and balances yang merupakan inti sari demokrasi presidensial kita. Tanpa checks and balances, demokrasi kita akan berubah jadi kompromi tanpa pengawasan.

Butuh negarawan

Dalam suasana kepincangan politik antara oposisi dengan pemerintah, serta keberadaan pemerintahan yang kuat, demokrasi Indonesia membutuhkan negarawan bukan politisi. Apa maksudnya? Pertama, negarawan akan berpikir menurut pertimbangan keutuhan dan masa depan bangsa. Mereka akan menakar mana yang baik bagi demokrasi dan mana yang bisa merusak demokrasi.

Kedua, negarawan berbeda dengan otokrat, karena otokrat lebih dicirikan oleh sikap politik yang “arogan” dan tidak mendengar kepentingan rakyat. Suara rakyat yang memiliki kedaulatan sejati bisa saja diterjang oleh seorang otokrat yang memimpin dalam sistem demokrasi. Dalam banyak peristiwa, para otokrat inilah yang mencoba memundurkan demokrasi melalui kooptasi terhadap institusi-institusi demokrasi.

Seorang negarawan lebih berpikir kohesifitas masyarakat dan politik dan tidak mencoba menjadikan institusi demokrasi yang dikuasainya sebagai senjata politik untuk mengendalikan demokrasi menurut seleranya.

Ketiga, dalam suasana riuh polarisasi politik pasca-Pemilu 2019, para politisi dan pejabat negara di legislatif dan pemerintahan diharapkan dapat memosisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai penguasa. Republik ini perjalanannya masih panjang, karena itu dibutuhkan keteladanan politik. Politik tauladan adalah politik negarawan, yang menurut Jusuf Kalla disebut politik yang memikirkan bangsa dan negara di atas kepentingan politik dan golongan serta pemimpin yang bekerja di atas landasan demokrasi yang sudah kita sepakatai sebagai mekanisme bersama dalam berbangsa dan bernegara.

(Moch Nurhasim ; Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI)

·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar