Minggu, 17 November 2019

”Recharge”

”Recharge”

Oleh :  SAMUEL MULIA

KOMPAS, 17 November 2019


Rasa takut meliputi saya saat membuat tulisan ini. Entah mengapa sesubuh itu perasaan saya sudah seperti itu. Saya takut menghadapi masa depan. Perasaan itu tiba-tiba saja datangnya. Saya berasumsi mungkin perasaan takut itu timbul karena perjalanan selama hampir satu tahun ini memang sulitnya bukan kepalang.

Sebetulnya perasaan ini sudah ada sejak satu hari sebelumnya. Saya sedang duduk di dalam taksi yang mengantar saya pulang dari sebuah mal. Di dalam kendaraan itu tiba-tiba terlintas bagaimana kalau malam itu saya mengalami kecelakaan lalu lintas dan mati seketika. Saya tak tahu dari mana datangnya pemikiran itu, tetapi itulah yang terjadi.

Saya berusaha menepis pemikiran itu dengan tenggelam membaca akun media sosial beberapa teman saya. Perasaan itu sempat hilang dan kembali muncul saat tiba di rumah. Saya menjadi takut apakah saya akan mati malam ini. Bagaimana kalau ada yang orang yang sengaja menjerumuskan saya. Bagaimana masa tua akan saya jalani, apakah saya masih bisa sehat tanpa menjadi pikun.

Seperti ponsel

Perasaan dan ketakutan ini tak pernah terjadi sebelumnya. Kalaupun saya pernah khawatir akan masa depan, itu tak membuat saya ketakutan seperti saat saya sedang menyelesaikan tulisan ini. Saya berpikir apakah perasaan ini timbul karena tahun 2019 satu bulan lagi akan berakhir, dan kalau melihat kembali perjalanan selama hampir satu tahun ini, bisa dikatakan hasilnya benar-benar membuat putus asa.

Apalagi ketika klien saya mengatakan bahwa tahun depan, situasi ekonomi juga tak akan lebih baik dari sekarang ini. Tentu satu-satunya cara untuk meringankan perasaan takut ini, saya langsung berdoa. Hidup kalau lajang dan yatim piatu seperti saya, tak ada yang dapat diajak bicara, apalagi ketika terbangun di subuh hari. Jadi, satu-satunya cara adalah curhat pada Yang Maha Kuasa.

Di tengah ketakutan itu, ritual saya untuk kepo dengan akun teman-teman saya dan selebritas dunia tetap saya jalankan. Seperti saya katakan di atas, itu cukup membantu mengurangi perasaan gelisah. Nah, saat menjalankan ritual pagi, saya membaca unggahan dari akun media sosial Iman Abdulmajid, model kondang dan istrinya David Bowie.

Begini unggahannya. ”What if we recharged ourselves as often as we did our phones?”

Setelah selesai membaca itu, saya menganggukkan kepala. Mungkin ada benarnya bahwa hidup saya harus diisi kembali dengan yang positif. Perasaan takut itu harus diakui seperti baterai yang sudah minim kekuatannya dan membuat saya tak berdaya dan sangat memerlukan pengisian kembali agar bisa tokcer lagi.

Mungkin

Bagaimana cara saya melalukan pengisian ulang itu? Yang jelas pengisian ulang bukan seperti pengisian ulang telepon genggam atau mobil listrik. Saya curhat pada Yang Maha Kuasa. Semuanya saya tumpahkan dalam obrolan melalui doa itu. Saya curhat tanpa ada yang perlu disembunyikan. Saya tak hanya curhat, beberapa kekesalan pun saya beberkan.

Anda tak bisa membayangkan betapa banyaknya curhatan itu. Begitu selesai curhat, meski perasaan takutnya masih ada, saya mencoba menghadapi yang saya takutkan itu. Pertama, saya melihat ke dalam diri saya. Saya ini orangnya mudah positif dan mudah menjadi negatif. Kalau lagi positif, saya begitu inspiratif dan mampu membuat orang terkagum-kagum.

Kalau datang negatifnya seperti saat saya membuat tulisan ini, saya bisa seperti orang yang berbeda. Saya tak mampu menginspirasi diri saya sendiri. Ketakutan saya itu dapat menekan saya sehingga saya tak dapat berpikir jernih.

Beberapa kali saya mencoba untuk positif di sebuah situasi negatif, tetapi hasilnya malah lebih buruk dari negatif. Maka, saya lebih senang berdiri dalam sisi negatif sehingga kalau itu terjadi saya sudah siap.

Mengisi diri kembali dengan berpikir positif ternyata tak membantu. Saya bingung, jalan apa lagi yang akan saya pakai agar baterai kehidupan saya menyala lagi. Maka saya memberanikan diri dengan menerima saja bahwa saya ketakutan sebagai aksi mengisi kembali baterai kehidupan itu.

Mungkin pengisian ulang baterai hidup saya adalah dengan tak perlu memositifkan yang negatif. Mungkin saya juga tak perlu melawan ketakutan akan ketuaan. Mungkin ketakutan saya tak akan menjadi-jadi kalau saya tak melawan, tetapi menerima bahwa saya akan tua.

Mungkin saya harus menerima saja saya takut mati, takut akan masa depan yang tak menentu, daripada saya melawan untuk tidak takut, seolah-olah saya ini tak mau bertemu dengan kematian dan masa depan yang suram.

Mungkin kalau saya tidak bisa menerima ketakutan itu, lama-lama saya menjadi semakin takut. Karena melawan itu seperti orang yang tak mau menerima kenyataan. Mungkin kalau saya mau menerima dan tak melawan, lama-lama saya akan mengenal diri saya sesungguhnya.

Mungkin dengan menerima, saya bisa memeluk ketakutan seperti saat saya memeluk kebahagiaan yang datang. Jadi, menjadi positif itu adalah berani memeluk yang negatif. Dengan memeluknya, saya dapat melihat ketakutan secara proporsional. Karena semakin saya menghindarkan diri dari memeluk ketakutan, semakin saya tak mengenal ketakutan itu.


Mengenal ketakutan itu penting, karena kalau saya mengenal, mungkin saya dapat mengetahui bagaimana saya harus bersikap dan melihat bahwa ketakutan itu ternyata tak sebesar yang saya pikirkan. Mungkin. Sungguh saya benar-benar tak tahu. Mungkin juga, kalimat penutup ini saya buat hanya untuk membuat saya tak terlalu resah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar