Kamis, 14 November 2019

Kabinet Tanda Tanya

REFLEKSI KEBUDAYAAN
Kabinet Tanda Tanya

Oleh :  RADHAR PANCA DAHANA

KOMPAS, 14 November 2019


Tak dapat dipungkiri, kabinet baru yang diumumkan oleh Presiden-Wakil Presiden terpilih pagi (23 Oktober) lalu, menimbulkan banyak komentar, banyak opini, pro-kontra, mungkin tepatnya: banyak tanda tanya.

Saya akan coba mengartikulasi tanda tanya tersebut, baik dalam pengertian atau masalah umum, hingga masalah-masalah yang memang sering saya bahas dalam tulisan-tulisan, ceramah, mengajar atau diskusi tertutup. Tanda tanya pertama, mengingatkan saya pada ilmuwan nyentrik yang dianggap jenius terbesar abad ke-20, Albert Einstein. Suatu kali di tahun 40-an, penggemar kucing itu, didatangi beberapa tamu, tepatnya tiga orang tokoh. Tiga pendiri negara Israel, di antaranya Ben Gurion dan Golda Meir.

Para tamu itu dengan rendah hati mengajukan permohonan yang katanya atas nama semua “rakyat negara Israel”, agar sang fisikawan cum filsuf berkenan menjadi presiden Israel pertama. Apa kemudian jawab sang Einstein? Tersenyum. Menolak dengan halus, dan tegas ketika dimohon paksa.

Namun sang utusan tidak menyerah. Mereka kemudian kembali lagi, bahkan juga ditemani tokoh kontroversial bermata satu, Moshe Dayan, mengajukan permohonan dengan argumentasi lebih kuat. Apa jawab sang Einstein? Tersenyum. Seraya ringan berkata, “Kalau diberi masalah dalam Matematika, mungkin, saya bisa menyelesaikannya. Tapi diminta jadi presiden atau kepala negara? Duh, saya tak mampu.”

Begitulah akhirnya. Tokoh-tokoh besar negara Israel itu gagal dalam misi politik/diplomatik terpentingnya. Apa yang didapat, juga kita yang pernah dengar kisah itu, adalah satu kesadaran: alangkah bijak dan penuh integritas jika seseorang mendalami dengan tekun, istiqomah, keahlian utama yang miliki dan sukai. Jangan mengira dengan prestasi besar di keahlian itu, ia bisa pindah ke kamar-kamar keahlian dengan bebas, dan mencapai sukses sama besarnya. Sastrawan besar, tidak bisa mentransfer kebesarannya jika ia ingin jadi pelukis, aktor, atau penulis lagu. Seorang profesor universitas tidak serta merta juga “profesor” dalam agama, dalam seni lawak, atau sebagai pejabat politik.

Apakah Jack Ma, juga bagus jika jadi sekjen partai komunis atau perdana menteri? Betapa hebat kekayaan dan kemampuan bisnis Bill Gates, apalagi Jeff Bezos, apa kemudian juga becus jadi presiden atau menteri urusan teknologi atau ekonomi kreatif? Seorang Donald Trump rasanya cukup jadi pelajaran. Bahwa seorang pengacara superkaya plus selebritas belum tentu hebat dan sukses bila jadi Menko Polhukham, apalagi presiden.

Inilah alasan panjang dari pertanyaan pada kabinet yang diisi oleh tokoh-tokoh tertentu yang sukses di satu bidang, sekonyong diberi portofolio atau kewajiban baru dan berat (mengurus negara dan negeri, lho) di puncak pemerintahan. Sebuah trend yang kini seakan menjadi hal biasa di negeri ini. Kehebatan dan posisi tingginya sebagai seniman, dianggap jadi ukuran kualitas dan kapabilitas juga untuk jadi walikota, gubernur atau lainnya.

Apakah seorang sineas, aktor atau musisi hebat itu kurang derajat dan martabatnya, kurang besar maslahat dan kontribusinya pada masyarakat dan negara, ketimbang seorang menteri, anggota parlemen atau bupati? Bahkan dalam ukuran kemanusiaan, ukuran kebudayaan, seorang petani, pedagang K-5 atau pengamen jalanan bisa lebih luhur dan mulia sebagai manusia ketimbang, katakanlah, pejabat politik/negara yang korup dan manipulatif.

Penafian Kebudayaan

Pertanyaan kedua tentang kabinet (yang) baru diumumkan, berkisar pada masalah hitungan politik, baik dalam perkara jasa atau dukungan dari seseorang atau kelompok tertentu. Bagaimana sebuah jabatan yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang, lengkap dengan muatan masa lalu hingga masa depannya, diberikan kepada orang/pihak hanya karena pertimbangan ia telah memberi jasa atau akan memberi dukungan (politis) pada kepentingan personal sang pemimpin (dalam usaha merebut/mempertahankan  kekuasaannya)?

Sehingga karenanya kemudian jabatan atau kekuasaan (tepatnya amanah rakyat) itu bisa dibarter. Kadang dengan satu pihak yang notabene melulu karena ia Ketum atau petinggi sebuah partai, saudara atau kerabat Ketum, pandai dalam membuat perhelatan, bahkan figur yang hampir tak memiliki rekam jejak dalam kehidupan publik seantero negeri. Betapa murah harga sebuah jabatan atau begitu ringannya amanah yang telah diberikan oleh rakyat, lengkap dengan tugas, tanggungjawab, dan harapan-harapannya. Mengapa demokrasi dan politik kita membiarkan hal ini, bahkan menganggapnya sebagai kelumrahan? Kita terima sebagai kewajaran (politis) alih-alih kesesatan?

Pertanyaan ketiga, berkait dengan kebudayaan. Dunia –juga persoalan—dimana di dalamnya bukan hanya terdapat ludruk, nasi kapau, artis cantik atau dangdut koplo; bukan hanya kunci bagi munculnya manusia unggul, bukan hanya festival, fiesta atau apresiasi/penghargaan yang justru merendahkan produk dan produsen (budaya)nya, bukan. Tapi juga mengenai budaya dalam berbisnis, budaya dalam beragama, budaya berilmu hingga budaya dalam berpolitik atau menjadi pejabat (politik/negara). Dan seterusnya.

Kebudayaan adalah dimensi hidup yang sejak mula manusia ada menjadi pondasi dari terbentuknya bidang-bidang atau kegiatan hidup secara umum ini.  Frasa “pembangunan manusia” sebenarnya adalah pemadatan makna dari tujuan utama dari adanya kebudayaan: membangun kemuliaan dan keluhuran manusia, sebagai makhluk paling cerdas, sebagai insan ilahiah. Frasa itu bisa bersifat imperatif, menjadi obligasi natural, nurtural hingga spiritual siapa saja, yang mengaku memiliki budaya dan adab.

Dalam tujuan hebat itulah, pendidikan –dalam pelbagai bentuk, filosofi dan ideologinya—hanya berperan sebagai salah satu alat dalam proses transmisi produk-produk abstrak dan utama kebudayaan dari generasi sebelum hingga sesudahnya. Pendidikan hanya salah satu –dari begitu banyak—anak kandung kebudayaan yang walau penting, bukanlah segalanya, apalagi jika ia pendidikan formal, pendidikannya pemerintah.

Jalur formal pendidikan sebenarnya juga hanya salah satu dari sekian banyak bentuk pendidikan atau pengajaran yang sudah ada, diciptakan, dan dikembangkan oleh bangsa kita sejak dulu kala, sejak ribuan tahun lalu. Karenanya tidak dapat ia, pendidikan formal, menganggap dirinya begitu istimewa hingga mengambil hampir seluruh perhatian atau anggaran yang disediakan negara.

Maka bisa dibayangkan, ketika pemerintah menetapkan anggaran pendidikan (plus kebudayaan) lebih dari Rp 500 triliun untuk tahun 2020, kebudayaan ternyata hanya mendapat bagian Rp, 1,3 triliun atau kurang dari 2 permil alias 0,2% saja. Angka anggaran semacam ini tentu saja mustahil untuk mengurus apalagi mengembangkan berbagai macam produk kebudayaan saja, dari semua matra seni, pergelaran, kerjasama antar negara, ribuan komunitas, ratusan taman budaya dan fasilitas kesenian, hingga museum-museum dan situs purbakala.

Anggaran yang bukan saja menjadi bukti penafian atau peminggiran secara sengaja dan sistemik dari kerja kebudayaan, dalam hemat saya, telah menjadi semacam penghinaan yang tiada habisnya. Semakin akut dibanding pemerintahan sebelumnya. Angka 1,3 triliun itu jauh di bawah tahun-tahun di masa presiden sebelum presiden incumbent. Angka itu diputuskan di saat anggaran pendidikan membengkak, begitu gendutnya hingga syahwat dan nafsu destruktifnya merambat ke para aparatusnya.

Para pelaku seni, budaya, dan lainnya pun jika tidak mengemis maka dia mengais remah-remah anggaran, entah dari pos mana, kalau perlu dari pos pengelolaan taman, sampah, lalu lintas, dinas kebakaran dan bidang-bidang teknis lain yang anggarannya bisa berlipat lebih besar dari kebudayaan.

Komprehensi Masalah

Semua penjelasan di atas memunculkan pertanyaan pada mereka yang dipercaya menangani kebudayaan di seantero negeri ini? Bagaimana mereka akan mengurus masalah besar dan berat kebudayaan dengan kondisi keuangan dan, terutama, kesadaran atau pemahaman kebudayaan seperti itu?  Apakah pimpinan bangsa ini, juga para pejabatnya di bidang ini, paham mengenai kompleksitas, posisi hingga fungsi kebudayaan?

Apakah cukup kebudayaan hanya berisi selebrasi dan apresiasi yang bermanfaat untuk dijadikan manekin cantik bagi etalase politik sukses mereka? Bagaimana mereka mengurus proses, dinamika, hingga progres kebudayaan yang nantinya menghasilkan produk-produk akhirnya? Ataukah pahamkah mereka bila kebudayaan justru ada di wilayah itu, yang kini rusak, diracun polusi gaya hidup, cara berpikir hingga perilaku negatif, sehingga produk-produknya menunjukan bukan hanya kemunduran bahkan nadirnya kebudayaan kita saat ini? Di semua dimensi: hubungan antar manusia, keluarga, cara berdagang, beragama, hingga cara mengemban tugas dan amanah.

Bagaimana kebudayaan (sebagai proses abstrak begitupun produk-produk dasar/utamanya) dapat dibayangkan melahirkan kemuliaan atau keunggulan manusia? Apakah tidak pendidikan, sebagai anak kandung, justru mengalami pula situasi buruk yang sama walau mungkin dimanipulasi dengan bermacam argumentasi atau teori?

Kita menjadi saksi, manusia-manusia masa kini yang dihasilkan dari kebudayaan itu, pendidikan itu terutama, termasuk diri kita sendiri tentu saja, mengisi kolom-kolom media utama hingga media sosial dengan produk-produk yang negatif, kriminal, bahkan kejahatan yang luar biasa, yang tidak ada presedennya dalam sejarah kemanusiaan dan kebudayaan kita, bahkan dunia. Apakah masalah ini dapat diurus oleh pedagang, atau lulusan sekolah bisnis, yang mungkin unggul melahirkan sebuah usaha bisnis, walau ternyata keunggulan itu sudah digadaikan pada banyak pihak, terutama asing?

Apakah juga, seluruh menteri pengisi kabinet, memiliki komprehensi yang lapang dan dalam tentang lapisan-lapisan (inti) masalah dari setiap bidang yang menjadi tanggungjawabnya, sebagaimana begitu banyaknya lapisan itu di dalam kerja kebudayaan? Tidakkah mereka paham bila komprehensi itu akan menyadarkan mereka bahwa tak satu pun kerja dari mereka yang tidak berkait dengan (semua) kerja lainnya? Dan kelindan, kohesi dan koherensi dari semua bidang kerja itu berujung pada kemuliaan manusia, the pursuit of happiness.

Karenanya, aneh, mengapa ada nomenklatur kementerian “Pembangunan Manusia dan Kebudayaan”? Bukankah dua terma itu sebenarnya sama, atau terintegritasi dalam makna, yang satu alat dan satu lainnya tujuan? Bagaimana tujuan mulia dan superhebat dari pemerintahan ini, “7 triliun dolar AS PDB Indonesia di 2045” dapat tercapai dengan modalitas dasar seperti ini? Apa tidak tujuan itu hanya ilusi, mimpi, atau harapan kosong yang paling rajin diproduksi rakyat dan dijanjikan para pemimpinnya?

Anda yang harus menjawab.

Radhar Panca Dahana, budayawan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar