Pidato pertama Nadiem Makarim menjelaskan keterpilihannya sebagai Mendikbud karena ia dinilai lebih mengerti tentang masa depan.
Kini publik sedang bertanya dan berpikir keras, benarkah klaim itu?
Nadiem adalah menteri milenial yang berposisi paling dekat dengan bidang permainan masa depan. Bahkan, sebelum dilantik, ia salah seorang pemain yang memenangi  pertandingan. Di dalam konteks permainan itu, sebagian besar dari kita adalah penonton yang hanya bisa meneriakkan masa depan dari pinggir lapangan. Tak termungkiri bahwa jiwa apalagi raga ini tetap terbelenggu mantra-mantra masa lalu.
Lebih lanjut pidato itu menjelaskan konsep tentang masa depan menurut cara pandang pemilik zaman (cucu) sebagai subyek.  Ia menyentak kesadaran generasi sekarang, jangan-jangan saat ini kita sedang berasumsi dan berkhayal bahwa konsep tentang kemakmuran dan kebahagiaan para cucu nanti akan sama dengan yang kita definisikan hari ini.
Pelantangan frasa ”masa depan” oleh sang pemilik zaman pada hakikatnya menyerukan ajakan kepada kita semua untuk segera berganti sistem koordinat. Kerangka acuan lama belum tentu salah; yang pasti ia tak mampu menyelesaikan persoalan baru sebagaimana dulu mekanika newtonian harus digantikan mekanika kuantum karena gagal menjelaskan fenomena subatomis.
Di dalam konteks makro sejarah perkembangan manusia, teorema pergantian kerangka acuan  dilukiskan Harari (2011) sebagai revolusi kognisi, pertanian dan keilmuan yang dialami oleh manusia Sapiens.  Mengungguli manusia spesies lainnya, spesies ini melejit menguasai dunia karena kesanggupannya melakukan sejumlah revolusi dalam merespons perubahan zaman. Hanya tersedia dua pilihan bagi manusia yang tak sanggup menyesuaikan diri dengan perubahan: punah atau menjadi spesies lain.
Perubahan perilaku manusia menciptakan variabel baru kehidupan sehingga perlu cara pandang berbeda dari sebelumnya. Cucu kita nanti mungkin tak akan terlalu terobsesi memiliki mobil mewah  dan rumah megah, tetapi tergila-gila dengan remote control dan kacamata kuda canggih berbasis teknologi 6G dengan kecepatan pemindahan data puluhan hingga ratusan Gbps. Peralatan itu akan memandu aktivitas mereka sehari-hari.
Cara belajar murid akan berubah radikal ketika mereka bisa menghadirkan gajah maya (virtual reality) ke ruang kelas atau rumah. Fungsi guru masa depan bukan lagi menyampaikan sejumlah materi pembelajaran karena materi itu sudah tersedia di mana-mana, tetapi membantu peserta didik belajar membangun integritas dan keterampilan sebagai warga global yang tetap menjunjung tinggi budaya bangsa. Cara pandang kita tentang pendidikan harus berubah karena variabel yang juga berubah.
Di bidang keuangan, berkembang teknologi finansial yang memungkinkan transaksi keuangan digital secara langsung antarpengguna tanpa campur tangan otoritas pusat pengendali atau pihak ketiga. Terjadi pergeseran dari variabel lama yang bisa dikendalikan ketat melalui regulasi  seperti kurs dan bunga bank ke variabel baru yang sulit dikendalikan seperti dompet digital dan block chain di dalam sistem cryptocurrencies.
Persoalan mendasar kita sebagai sebuah bangsa adalah mempersatukan nusantara menjadi NKRI yang utuh, damai sejahtera karena berkeadilan. Tiga parameter kunci untuk pendidikan yang berkeadilan adalah perluasan akses, peningkatan dan pemerataan mutu. Angka capaian untuk ketiga parameter ini dari tahun ke tahun cenderung stagnan di  berbagai jenis dan jenjang. Banyaknya guru, dosen, dan profesor hebat serta dukungan alokasi anggaran 20 persen dari APBN hingga kini belum kunjung sanggup membuat kejutan bidang pendidikan.
Representasi acuan baru
Sebagian para pengkritiknya menilai ia tak paham pendidikan. Saya berpendapat ia representasi dari kerangka acuan baru yang dibutuhkan saat ini untuk bertransformasi menuju pendidikan masa depan. Dengan tugas pendidikan di tangan kanan dan kompetensi teknologi informasi di tangan kiri, ia sosok tepat menyelesaikan persoalan teknis futuristik dalam menyediakan platform pendidikan untuk anak cucu. Selain menyelesaikan persoalan masa depan, cara pandang baru harus mampu menyelesaikan persoalan masa lalu. Sejak dulu problem terbesar pendidikan kita bukan hanya soal kuantitas atau kualitas, tetapi lebih mendasar lagi: integritas.
Disintegritas di bidang pendidikan terjadi karena sektor ini terlalu lama terkooptasi oleh kepentingan politik. Setelah terpasung kekuasaan Orde Baru, sejak era Reformasi, sektor pendidikan seperti arena pertarungan antarkekuatan organisasi kemasyarakatan. Siapa pun yang akhirnya berkuasa, dominasi politik terhadap bidang pendidikan  telah menyuburkan perilaku intrik dan mematikan budaya akademik.
Disintegritas jadi semakin absurd dan menjijikkan manakala cara pandang lama dipaksakan menyelesaikan fenomena baru. Sungguh benar pernah terjadi, seorang menteri menyembunyikan (cara pandang lama) informasi yang sudah terbuka di dunia maya (fenomena baru).  Bagaimana kita memprediksi pemimpin kementerian akan sanggup menyelesaikan persoalan klasik mendasar tentang gumpalan disintegritas yang menggerogoti pendidikan kita selama ini?
Siapa pun yang jadi CEO dan kemudian menteri dalam usia sangat muda, ia sosok pemuda pelompat. Parameter menonjol seorang pelompat bukan pada kualitas yang memang sudah inheren, tetapi nyali sebagai unsur utama integritas. Inilah modal utama penyelesai persoalan masa lalu dan masa depan: kejujuran, keberanian, dan keahlian melakukan determinasi visi. Saya sangat gembira karena hingga kini belum bisa membayangkan ada yang sanggup membeli integritas seorang Nadiem yang berlatar profesional dan kaya raya.
Suara akar rumput kementerian menerangkan kehadiran Nadiem telah mampu mengusir roh-roh jahat yang selama ini bergentayangan di setiap lantai gedung kementerian. Para pemburu proyek dan keuntungan, atas nama dinasti politik maupun golongan, kabarnya kini telah menghilang.
Sebelumnya mafia ini sulit diberantas karena sangat lincah berpindah-pindah dengan orang dan peran yang berganti dan berbeda. Pemecatan beberapa pejabat karena berbagai pelanggaran pada periode lalu tak pernah membuat mereka surut.
Dengan teknologi pemindahan data supercepat, integrasi data akan berkembang semakin luas, tak hanya antarinstitusi serta antara pengguna dan institusi, tetapi juga antarkomunitas, bahkan antarpengguna itu sendiri.
Selain akan memudahkan urusan manusia, integrasi data ini akan menghasilkan dampak berupa lahirnya perilaku baru yang lebih berintegritas. Inilah peran strategis Nadiem.
(Supriadi Rustad ; Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Semarang)