Selasa, 12 November 2019

Paradigma Badan Riset dan Inovasi Nasional ke Depan

RISET DAN TEKNOLOGI
Paradigma Badan Riset dan Inovasi Nasional ke Depan

Oleh :  LUKMAN HAKIM

KOMPAS, 12 November 2019


Presiden Jokowi akhirnya menunjuk Bambang Brodjonegoro sebagai menteri riset dan teknologi sekaligus kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejauh mana BRIN sebagai lembaga baru yang kedudukannya setara kementerian mampu meningkatkan kontribusi riset dan inovasi menuju Indonesia maju? Format BRIN seperti apa yang bisa menjawabnya?

Pengumuman Presiden sekaligus penunjukan Bambang Brodjonegoro memberi harapan besar bagi komunitas peneliti di Indonesia. Ada dua alasan. Pertama, Presiden Jokowi akhirnya mengembalikan portofolio riset dan teknologi (ristek) menjadi kementerian sendiri sesuai bentuk awal portofolio ristek semenjak pendiriannya. Kementerian Ristek dibentuk pada 1973, setelah pada periode sebelumnya berganti-ganti penyebutan, mulai dari Kementerian Urusan Research Nasional (1962-1966), Kementerian Negara Riset (1973-1978), dan akhirnya Kementerian Negara Ristek di bawah BJ Habibie yang dipercaya Presiden Soeharto setelah putra kelahiran Pare-pare ini kembali dari Jerman.

Komunitas peneliti patut bersyukur portofolio “ristek” dipulihkan setelah lima tahun (2014-2019) disatukan dengan pendidikan tinggi,  sehingga kian terbuka peluang bagi Kemenristek/BRIN benar-benar fokus pada agenda riset dan inovasi.

Kedua, seiring diterbitkannya UU baru, yakni UU No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), pilihan atas Bambang Brodjonegoro memberi harapan, mengingat pengalaman yang bersangkutan sebagai menteri keuangan (2014-2016) dan menteri Perencanaan Pembangunan Nasional /Kepala Bappenas (2016-2019). Pengalaman itu diperlukan guna memperkuat kompetensi menristek/kepala BRIN dalam portofolio baru yang  ditanganinya.

Universitas riset

Semenjak ditinggal Habibie, posisi menristek hampir selalu dijabat figur baru yang perlu waktu penyesuaian untuk menangani kerumitan persoalan iptek dan inovasi, sehingga banyak waktu dan energi terbuang untuk sekadar proses adaptasi.

Ada tiga hal pokok yang perlu dipertimbangkan menristek/kepala BRIN berkaitan dengan kekhasan ilmu pengetahuan dalam mengimplementasikan UU Sisnas Iptek yang diamanahkan kepadanya, yakni: kelembagaan, pendanaan, dan SDM.

Pertama, dalam konteks kelembagaan penting sekali pemahaman mengenai ruang lingkup dan perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi yang jauh ke depan, sehingga memerlukan dukungan luas dari berbagai sektor dalam perumusan kebijakan strategis yang melampaui siklus pemerintahan lima tahunan. Seperti pernah dikemukakan Presiden Jokowi, problem kelembagaan iptek itu berkisar pada tak adanya sinergi antarlitbang kementerian/lembaga, sehingga tidak fokus dan terjadi tumpah tindih kelembagaan yang akhirnya berdampak pada inefisiensi anggaran.

Dalam kaitan ini kita berharap, kemampuan lobi, kewenangan yang dimiliki, dan pengalaman dalam jabatan yang pernah dipegang Bambang bisa jadi modal yang membantu menristek/kepala BRIN menuntaskan problem kelembagaan iptek, riset, dan inovasi selama ini.

Kedua, problem pendanaan iptek yang selama ini tak termasuk prioritas pemerintah, bagaimana pun perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme pemberian insentif kepada swasta dan/atau industri, sehingga pengembangan iptek dalam rangka riset dan inovasi tak harus tergantung kucuran dana APBN. Adanya kebijakan super deduction tax, atau insentif potongan pajak yang diberikan ke industri yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan, diharapkan dapat secara berangsur mengubah porsi dominan pendanaan iptek dari pemerintah (APBN) ke swasta.

Di sisi lain, kebijakan insentif potongan pajak yang dituangkan melalui PP No 45 Tahun 2019 itu bisa menjadi solusi bagi keluhan kalangan swasta dan dunia industri mengenai berbagai hambatan regulasi dan birokrasi yang kurang memfasilitasi riset dan pengembangan.

Ketiga, masalah pembinaan tenaga peneliti yang selama ini hanya diserahkan pada mekanisme pasar berdampak pada kian merosotnya ketertarikan para sarjana baru memilih profesi peneliti dan menggeluti dunia riset. Salah satu tantangan menristek/kepala BRIN adalah membangun kultur riset yang kondusif bagi pengembangan iptek, sehingga seperti diharapkan Presiden Jokowi, riset bisa berujung pada inovasi.

Persyaratan yang menetapkan peneliti baru harus serendah-rendahnya berpendidikan S2 dan S3, misalnya, tentu saja baik, namun semestinya berbasis pada pola rekrutmen dan pembinaan peneliti yang bersifat khusus, termasuk pemberian insentif yang menarik sehingga bisa mengundang kaum muda memasuki dunia riset, iptek, dan inovasi. Di Korea Selatan, peneliti tak hanya memperoleh gaji layak, tetapi juga dikategorikan pahlawan bangsa, sehingga dibebaskan dari keharusan mengikuti wajib militer.

Di sisi lain, dalam rangka menghasilkan SDM peneliti yang andal, sudah harus ada pemikiran untuk membangun universitas riset di Indonesia seperti halnya Korea Advanced Intitute of Science and Technology (KAIST) di Korsel dan Chinese Academy of Science (CAS) di China. Melalui universitas riset bisa dihasilkan SDM peneliti yang tak hanya andal, melainkan juga punya keahlian dan kompetensi sesuai kebutuhan dan program strategis yang direncanakan negara/pemerintah.

Kebijakan hampir serupa juga diambil pemerintah Jepang, Singapura, dan Taiwan, sehingga mereka memiliki sumber daya peneliti yang tak hanya berkualitas, melainkan juga secara kuantitatif mencukupi kebutuhan.

Dalam konteks bangsa kita, Presiden Jokowi berulang kali menyatakan pentingnya prioritas pembangunan SDM. Namun tak banyak yang menyadari, jumlah peneliti—mereka yang menjadikan peneliti profesi utama—kita per sejuta penduduk justru kian berkurang dari waktu ke waktu.

Pada akhir era Orde Baru, jumlah peneliti pernah mencapai sekitar 210 orang per sejuta penduduk, tetapi beberapa tahun terakhir terus menyusut hingga kurang dari 100 orang per sejuta penduduk.

Sebagai perbandingan, rasio itu di China hampir 1.000 orang, Malaysia sekitar 1.500 orang, Jepang sekitar 5.000 orang, dan Korsel lebih dari 5.500 orang. Indonesia maju yang berdaya saing tinggi tak mungkin diwujudkan tanpa dukungan riset, iptek, dan inovasi yang dilakukan SDM peneliti.

Ironisnya, merosotnya jumlah peneliti berlangsung bersamaan merosotnya mutu peneliti, bukan hanya karena harus berkiprah di lingkungan riset dan inovasi yang tak kondusif, tapi juga akibat penyeragaman aturan peneliti sebagai Aparatur Sipil Negara dan berlangsungnya birokratisasi dunia ilmu pengetahuan.

Format BRIN

Satu tanggung jawab baru yang dipikul menristek/kepala BRIN lima tahun ke depan adalah menyinergikan sumber daya riset, iptek, dan inovasi yang selama ini tersebar, terpecah, dan cenderung tumpang-tindih satu sama lain.

Meski demikian, wacana merger atau penggabungan lembaga riset dan litbang kementerian/lembaga (K/L) ke dalam BRIN bukanlah gagasan dan pilihan yang tepat.

Penggabungan lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN tak hanya akan menyita energi, dana, dan kerumitan administratif yang besar, tetapi juga belum tentu selesai dalam 4-5 tahun. Ada beragam masalah menyertai, mulai dari pengalihan dan penyatuan aset, rasionalisasi SDM, hingga prosedur tata kelola kelembagaan yang pasti jauh lebih rumit. Karena

itu dalam mendesain BRIN ke depan langkah yang diambil menristek/kepala BRIN hendaknya berorientasi pada pemecahan masalah sekaligus menghindari penghancuran fondasi keilmuan kita yang sudah melekat di lembaga riset yang sudah ada.

Pembentukan badan/organisasi baru dengan meniadakan yang lama bukanlah keputusan bijaksana. Apalagi bagi misalnya LIPI yang sejak awal kemerdekaan telah dipikirkan oleh pendiri bangsa sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pilihan terbaik bagi keberadaan BRIN adalah menjadikannya holding research institute bagi semua lembaga riset K/L yang tugasnya merumuskan kebijakan iptek agar lebih fokus dan terarah, terbangun kerja sama sinergis, tak tumpang tindih, dan berorientasi solusi inovatif atas berbagai isu strategis bangsa. Tanggung jawab lain BRIN, mengatur alokasi dan distribusi sumber daya iptek agar tepat sasaran. Artinya, keberadaan lembaga riset atau litbang K/L tak harus berubah namun secara kebijakan berada di bawah koordinasi menristek/kepala BRIN.

Gagasan BRIN sebagai holding bagi semua lembaga riset dan/atau litbang K/L ini pernah disampaikan Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) saat diundang memberikan masukan ke Pansus RUU Sisnas Iptek di DPR, 30 Januari 2018. Ide yang sama telah disampaikan pula ke sebagian besar pimpinan fraksi/parpol pada 16 Maret 2018, serta juga kepada Bambang Brodjonegoro sendiri ketika masih menjabat sebagai kepala Bappenas pada 30 April 2018.

Indonesia maju yang berdaya saing tinggi tak akan pernah terwujud tanpa penguatan peran iptek dan inovasi. Karena itu tantangan terbesar menristek/kepala BRIN bukanlah melebur atau menggabungkan berbagai lembaga riset yang sudah ada, melainkan menyinergikan segenap  potensi sumber daya iptek itu agar memberi kontribusi yang signifikan bagi Indonesia yang lebih baik.


Lukman Hakim, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2010-2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar