Jumat, 22 November 2019

Reformasi Birokrasi Pemda

Reformasi Birokrasi Pemda

Oleh :  DJOHERMANSYAH DJOHAN

KOMPAS, 22 November 2019


Keberadaan pemerintahan daerah (pemda) sebenarnya tidak lain dari membantu pemerintah pusat memberikan pelayanan publik.
Untuk menjamin pelayanan publik yang baik di daerah, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) memasukkan pengaturan terkait pelayanan publik. Pemda diberikan kewenangan untuk menyederhanakan jenis dan prosedur pelayanan dalam rangka mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

Pemda harus pula memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan menuangkan informasi pelayanan publik ke dalam bentuk maklumat pelayanan publik (citizen charter). Untuk menjalankannya, mereka dipimpin kepala daerah dibantu birokrasi, yaitu perangkat daerah, seperti dinas, badan, dan sekretariat daerah.

Birokrasi sebagai alat negara dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan cara memberikan pelayanan publik yang baik kepada warga negara. Peran birokrasi sangatlah penting. Mereka bekerja mengurus dan melayani masyarakat, bukan sebagai ”priayi” yang melayani penguasa serupa di zaman Orde Baru. Pada era Reformasi, birokrasi harus profesional, netral, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagaimana ditegaskan dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sangat memprihatinkan

Bill Harris dan Many Morgan (2004) dalam studinya telah mendiagnosis kondisi birokrasi pemda di Indonesia yang dinilai sangat memprihatinkan. Menurut mereka, terjadi tumpang tindih tugas dan fungsi pada beberapa level organisasi, penggunaan anggaran belum sepenuhnya berorientasi pada hasil, standar kinerja serta monitoring dan evaluasi kurang diperhatikan, dan proses perekrutan dan pola pengembangan SDM belum menggambarkan kebutuhan. Di sisi lain, reward dan punishment belum berjalan baik, masih rendahnya tingkat akuntabilitas dan transparansi, belum adanya standar pelayanan publik, serta sebagian besar pegawai tak memahami visi dan misi organisasi pemda.

Dari diagnostik di atas, sejak 2004 hingga sekarang ini capaian birokrasi pemda berjalan lamban, disebabkan faktor komitmen aktor dan kepemimpinan untuk mereformasi birokrasi masih setengah hati. Budaya ”priayi”, ”asal bapak senang”, pungli, setoran, beli jabatan, cari selamat, dan lain-lain melekat kuat di tubuh birokrasi. Karena itu, perlu kebijakan dan kepemimpinan yang kuat dan tegas untuk melakukan reformasi birokrasi struktural seperti dinyatakan Presiden Jokowi di Sentul, 14 Juli 2019.

Sebetulnya pemerintah telah melaksanakan reformasi birokrasi baik di pusat maupun daerah lebih dari satu dasawarsa. Namun, di institusi pemda tampak kurang optimal karena tidak adanya peta jalan yang jelas, terukur, dan terpadu. Banyak daerah bahkan belum melaksanakan reformasi birokrasi karena menganggap bukan kewenangan atau urusan pemerintahan yang dilimpahkan dari pusat, tak tersedia biaya untuk melakukan reformasi birokrasi, dan tak jelas siapa yang melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (korbinwas), apakah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB).

Di pusat sendiri, leading sector untuk memimpin reformasi birokrasi masih ”abu-abu”. Regulasi dibuat Kementerian PAN dan RB, tetapi daerah provinsi/kabupaten/kota dikendalikan Kemendagri. Akibatnya, reformasi birokrasi bukan merupakan prioritas, pemda lebih direpotkan dengan urusan pemerintahan sehari-hari (day to day government).

Meski demikian, reformasi birokrasi di institusi pemda sangatlah penting. Pertama, jumlah aparatur sipil negara (ASN/PNS) sangat banyak di daerah. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN, 2017) jumlah pegawai ASN 4.374.341 juta, di pusat 918.436 orang (20,99 persen) terdistribusi di sepuluh instansi besar, seperti Kementerian Agama 233.910 (5,38 persen), Kemristek dan Dikti 113.087 (2,60 persen), Kementerian Keuangan 69.332 (1,59 persen), Kementerian Pertahanan 58.848 (1,35 persen), Kementerian Kesehatan 50.897 (1,17 persen), Kementerian Hukum dan HAM 43.121 (0,99 persen), Mahkamah Agung 30.608 (0,70 persen), Kementerian Perhubungan 29.195 (0,67 persen), dan Polri 24.489 (0,56 persen). Belum lagi ditambah pegawai honorer/pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK).

Sementara di daerah 3.455.905 orang (79 persen), tersebar di 542 daerah otonom, dengan DKI Jakarta menyumbang 150.000 pegawai (70.000 PNS, sisanya supporting). Bahkan, dari 15.000 pejabat eselon I dan II, 12.000 terdapat di daerah, hanya 3.000 saja jabatan di pusat.

Kedua, jumlah dana yang dikelola pemda sangat besar. Dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemda-pemda di Indonesia pada 2019 mencapai Rp 524 triliun, terdiri atas dana alokasi umum (DAU) Rp 417,9 triliun dan dana bagi hasil (DBH) Rp 106,4 triliun. Selain itu, masih ada lagi dana insentif daerah (DID) Rp 10 triliun, dana otsus Rp 21 triliun, dan dana istimewa Rp 1,2 triliun. Belum lagi uang dari pendapatan asli daerah (PAD) mereka sendiri.

Ketiga, kewenangan/urusan pemerintahan yang dipegang daerah juga luas berikut kelembagaannya yang juga membengkak. Meski perangkat daerah ditentukan dari beban kerja urusan, dalam artian struktur berbasis urusan, kelembagaan di daerah masih terlampau gemuk. Ada 32 jenis urusan pemerintahan yang harus dikerjakan daerah, yaitu enam urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar, 18 urusan pemerintahan wajib non-pelayanan dasar, dan delapan urusan pilihan yang sering kali tumpang tindih.

Akibatnya, ”gerbong kereta” pemda jadi lambat bergerak maju. Sebetulnya masalah kelembagaan di daerah juga berlaku di pusat, dengan kementerian masih terlalu besar dan lembaga-lembaga nonstruktural juga banyak. Ketika urusan pemerintahan telah didesentralisasikan ke daerah, harusnya kewenangan pusat logikanya menjadi berkurang.

Keempat, kualitas sumber daya aparatur daerah masih bermasalah, seperti soal netralitas, budaya red tape, dan kurang inovatif. Akibatnya, kualitas pelayanan publik belum membaik signifikan. Di sisi lain, masih terjadi praktik KKN dan maraknya pungli, hingga akhirnya Presiden Jokowi membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar melalui Perpres No 87/2016.

Capaian reformasi birokrasi pemda

Untuk membangun daerah perlu perbaikan serius birokrasi pemda. Kemajuan daerah tak akan terwujud tanpa peningkatan kualitas birokrasi. Karena itu, SDM birokrasi pemda harus dibenahi untuk mewujudkan ASN unggul yang profesional, kompeten, dan berintegritas.

Capaian reformasi birokrasi pemda dewasa ini ditandai sebagai berikut, pertama, reformasi birokrasi diidentikkan dengan remunerasi, yakni diberikannya kompensasi kepada pegawai atas imbalan jasa yang telah dikerjakan. Biasanya diberikan dalam bentuk tunjangan kinerja. Namun, reformasi birokrasi dalam bentuk remunerasi kurang berpengaruh signifikan terhadap outcomes pemda. Seharusnya pemberian remunerasi tidak didasarkan penilaian administrasi semata, tetapi pada penilaian publik. Pada saat bersamaan, jika pegawai ASN itu terlibat penyimpangan dan penyelewengan, publik tak pernah tahu seperti apa penerapan sanksinya.

Kedua, meritokrasi dalam birokrasi pemda belum berjalan dengan baik. Merit system yang dilakukan atas dasar kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang tinggi belum sepenuhnya jadi realitas. Malahan masih terjadi spoil system dalam promosi jabatan. Tak hanya itu, terjadi pula pencopotan pejabat setiap saat karena dianggap tak loyal kepada kepala daerah gara-gara pilkada dan pemilu. Bahkan, terjadi praktik jual beli jabatan yang kerap dilakukan kepala daerah sendiri dibantu staf khususnya. Di samping itu, pembentukan panitia seleksi (pansel) kerap direkayasa sesuai selera user sehingga hasil akhirnya telah dikantongi sebelumnya.

Ketiga, penerapan digitalisation government system (DGS) belum meluas di banyak daerah. Hanya beberapa daerah yang memiliki mal pelayanan publik, seperti DKI Jakarta, Kabupaten Banyuwangi, dan Kota Batam. Pemda umumnya kurang kreatif dan inovatif dalam melakukan pelayanan publik. Padahal, untuk memudahkan masyarakat berurusan dengan pemda, dan guna menangkap globalisasi dan regionalisasi, perlu penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE).

Penggunaan teknologi informasi oleh pemda untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, pelaku bisnis, serta hal lain yang berkenaan dengan efisiensi pemerintahan bisa berupa government to customers (G2C), government to business (G2B), dan government to government (G2G). Tujuannya memberikan kenyamanan, efisiensi, dan transparansi dalam pengelolaan pemda. Namun, kebanyakan pemda (provinsi/kabupaten/kota) belum dapat melakukannya karena terkendala anggaran dan kurangnya SDM teknologi informasi (TI). Pembinaan dari pemerintah pusat juga lemah. Akhirnya, setiap pemda membangun dan mengembangkan sendiri sistem teknologi informasi dan komunikasi (TIK)-nya sehingga mahal ongkosnya.

Perbaikan kebijakan

Untuk mewujudkan Indonesia maju perlu reformasi birokrasi pemda yang lebih progresif dengan beberapa perbaikan kebijakan. Pertama, untuk mewujudkan manajemen ASN berbasis merit system perlu dibuat talent pool di setiap pemda dengan menilai potensi dan kompetensi jabatan pimpinan tinggi (JPT) dan administrator untuk kebutuhan manajemen karier seperti promosi dan mutasi, tanpa lewat pansel seperti sekarang. Kedua, JPT Pratama dan Madya di pemda hendaknya dijadikan jabatan ASN nasional sehingga tak mudah dicopot kepala daerah, dan bisa pindah ke daerah lain bahkan ke pusat. Ketiga, pejabat pembina kepegawaian (PPK) sebaiknya dipegang pejabat karier tertinggi di daerah, yakni sekretaris daerah, bukan lagi kepala daerah, tentu dengan pengawasan ketat pusat.

Keempat, untuk membebaskan birokrasi pemda dari politisasi, sebaiknya dilakukan perbaikan sistem pilkada dari berbiaya mahal dan ”menyeret” pemda menjadi berbiaya murah tanpa keterlibatan birokrasi pemda. Kelima, untuk mewujudkan pemda digital perlu komitmen kepemimpinan kepala daerah didukung organisasi perangkat daerah lengkap dengan penyediaan ahli TI, sistem perencanaan e-govt yang berkelanjutan (RPJPD, RPJMD, RKPD) dengan alokasi anggaran dalam APBD yang memadai. Selain itu, perlu dukungan infrastruktur TI, seperti ketersediaan perangkat mikrocell, internet, dan wi-fi, untuk memudahkan pelayanan publik.

Keenam, untuk menjamin agenda reformasi birokrasi pemda berjalan dengan baik, Kementerian PAN dan RB seyogianya hanya menangani reformasi birokrasi di pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian/lembaga, sementara Kemendagri mengurus reformasi birokrasi di provinsi/kabupaten/kota.


Djohermansyah Djohan ;  Guru Besar IPDN; Anggota TIRBN Kemenpan dan RB (2015-2019); Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar