Senin, 11 November 2019

Merawat Ingatan

Merawat Ingatan

Oleh  :  BONI HARGENS

KOMPAS, 11 November 2019


Mencuatnya gagasan ”negara khilafah” di ujung dekade kedua abad ke-21, berbarengan dengan mengerasnya benturan politik di Papua atau kembali menguaknya wacana merdeka di Aceh beberapa waktu lalu, memunculkan kembali diskusi soal historia keberbangsaan kita sebagai ”Indonesia”.

Apakah nasionalisme itu konsep yang tetap ataukah cair? Apa ukuran mengindentifikasi rasa kebangsaan sehingga terbangun memori bersama yang mengikat tiap warga dalam sebuah ruang konsepsi bernama ”negara-bangsa”? Hal apa saja yang berpotensi mendestruksi postulat kebangsaan? Siapa yang bertanggung jawab merawat ingatan bersama yang memungkinkan tiap individu mampu membayangkan diri sebagai bagian integral dari komunitas bangsa? Nasionalisme adalah konsep tetap dan cair.

Tetap karena ada monumen dan simbol historik dari masa lalu yang tak dapat diubah dan merupakan sumur inspirasi untuk mempertahankan ”ingatan bersama” sebagai bangsa. Cair dalam pengertian narasi nasionalisme itu fleksibel dan membuka diri terhadap perubahan sosial-politik yang melingkungi perjalanan negara-bangsa yang dinamis.

Prasyarat terbentuknya sebuah bangsa adalah adanya keinginan bersatu, yang diikat oleh kesamaan nasib dan cita-cita (Bauer, 1881-1938; Renan, 1823-1892).

Ernest Renan dengan keras menentang konsepsi kebangsaan etnografis. Bangsa yang dibangun atas dasar keserupaan etnik, agama, dan ras, kata Renan, adalah khayalan belaka. Baginya, sentimen kebangsaan adalah ikatan solidaritas—mirip gagasan yang muncul belakangan dari Hans Kohn (1891-1971) tentang kondisi pikiran dan tindak kesadaran  dalam konteks ”kesetiaan tertinggi” pada negara.

Pendiri bangsa, Bung Karno, mengadopsi gagasan Renan dan Bauer, lalu melengkapinya dengan frase geopolitik ”dari Sabang sampai Merauke” untuk menyempurnakan definisi ”bangsa” Indonesia. Implikasi politiknya, Aceh dan Papua adalah bagian integral yang tak terlepaskan. Tugas yang penting kini dan nanti adalah bagaimana mengisi ruang geopolitik itu dengan proyek nation-building yang meletakkan manusia sebagai sentrum dan teleologi dari seluruh kerja politik. Narasi ”membangun dari pinggiran” sebagai filosofi pembangunan Jokowi bermaksud memuliakan warga di wilayah pinggiran dan yang terpinggirkan supaya keadilan dan kesetaraan bukan sekadar refleksi melainkan praksis. Tantangannya besar karena masih banyak politisi kotor yang mengaduk-aduk Papua atau menggoyang Aceh demi status quo.

Dalam imagined communities, Ben Anderson (1991) menggarisbawahi proses membangsa dalam faktum kemajemukan sebagai dinamika kesadaran yang mengandaikan adanya kerelaan dari tiap bagian di dalamnya untuk membayangkan diri sebagai satu entitas bernama ”bangsa”. Tanpa kesadaran kebersatuan itu, sebuah bangsa sulit mempertahankan eksistensi dan masa depannya.

Ahli sejarah kontemporer, Michael Laffan (2003), dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, memakai pendekatan Andersonian untuk memahami inherensi Islam dalam sejarah pembentukan kebangsaan kita. Laffan tak sekadar melihat kesadaran pembayangan di kalangan kaum intelektual dan pejuang Muslim dalam sejarah pembentukan kebangsaan Indonesia, tetapi juga menyadari bagaimana peran sentral Islam dalam membangun identitas kebangsaan sejak masa kolonial. Sederhananya, ia ingin menegaskan, tanpa Islam, Indonesia tak pernah ada.

Tesis Laffan tak terbantahkan. Masalahnya belakangan, ideologi transnasional berkembang mengusung agenda radikal untuk mendirikan ”negara agama”. Radikal karena menghalalkan jalan kekerasan— atau ”teologi maut” dalam bahasa Buya Syafii Maarif—di balik tampilan ”lembut”. Kelompok ini merasa diri paling saleh dan mengklaim Indonesia berdasarkan doktrin tunggal—yang artinya menafikan hakikat Indonesia sebagai bangsa majemuk. Politik identitas yang sejatinya mempromosi pengakuan terhadap martabat manusia (Fukuyama, 2018), di tangan kelompok radikal justru jadi senjata yang menghancurkan martabat dan peradaban manusia an sich. Nasionalisme memang postulat yang fleksibel, tetapi fleksibilitas tak bermaksud mendekonstruksi hakikat historik dan ontologis dari sebuah bangsa.

Perasaan dinamis

Disadari atau tidak, makna nasionalisme memudar. Mereka yang mau mendirikan khilafah pun mengaku nasionalis. Lantas apa ukuran nasionalisme? Apabila memahami nasionalisme sebatas perasaan, maka ukurannya mesti mengacu pada aspek yang tetap seperti rekaman sejarah, konstitusi, sistem politik, dan simbol-simbol nasional lain yang mendasari lahirnya dan membatasi makna sebuah negara-bangsa.

Namun, saya lebih condong ingin memahami nasionalisme sebagai konsepsi yang melampaui emosi ataupun pikiran dan harus menyentuh aspek mutu hidup sebuah bangsa karena nasionalisme hanya memperoleh makna esensialnya ketika ia mampu menggerakkan perubahan nyata bagi perbaikan kualitas kemanusiaan individual maupun kolektif sebagai komunitas. Ini diskusi krusial karena kaum radikal pun, termasuk grup separatis, memakai narasi yang sama untuk memperjuangkan sistem khilafah atau memerdekakan diri!

Ingatan tentang kejayaan masa lalu, atau ”persamaan nasib” dalam bahasa Bauer (1907), adalah energi yang menghidupkan sentimen kebangsaan. Tinggal dalam ruang berpikir ini, maka membangun kejayaan masa kini tentunya conditio per quam, syarat mutlak, dalam merawat masa depan. Implikasinya, berbagi kesejahteraan, distribusi keadilan, termasuk perlakuan sama dari negara terhadap warganya dan penghormatan terhadap hak asasi mereka merupakan upaya membangun ”ingatan bersama” yang berdampak pada survival sebuah negara-bangsa dalam jangka panjang.

Destruksi dan liabilitas

Akan tiba masanya—bahkan telah tiba—ingatan sejarah melemah karena tenaga orang terkuras hadapi rumitnya masa kini dan membayangkan suramnya hari esok. Bangsa yang tidur dalam masa lalu akan punah dengan mudah karena evolusi sosial tak lagi beri ruang besar di kepala manusia untuk mengenang sejarah ketika realitas kekinian kian rumit. Lagi pula, dalam masyarakat pasca-fakta (post-truth society), kebenaran bukan lagi narasi tunggal yang dimonopoli kekuasaan karena pengetahuan tak selalu mengalir vertikal dari atas ke bawah seperti dibayangkan Michel Foucault (1926-1984). Hari ini, pengetahuan bergerak acak dan kebenaran jadi postulat yang super relatif. Negara perlu bekerja keras merawat roh kebangsaan dengan jalan meletakkan warga sebagai pusat dari seluruh gravitasi kekuasaan.

Pembangunan infrastruktur yang masif di periode pertama administrasi Jokowi (2014-2019) menuai kritik oposisi, tetapi itulah kondisi dasar untuk memungkinkan keberlangsungan pembangunan manusia. Kalau saja 32 tahun Soeharto terjadi pembangunan yang sama, kerja Jokowi hari ini niscaya lebih ringan—dengan asumsi lingkaran dalam pemerintahan selalu solid karena tanpa sinergi, Jokowi akan berlari sendirian!

Di zaman milenial, kesamaan sejarah tak lagi efektif merawat solidaritas kebangsaan. Orang melihat realitas hidup. Korupsi dan borjuasi yang pongah berpotensi mendestruksi rasa kebangsaan. Jarak yang lebar antara elite dan rakyat tak hanya menjadikan nasionalisme sebagai narasi kosong yang terancam punah, tetapi juga membuka gerbang masuk dan berkembangnya radikalisme keagamaan. Meski radikalisme (dan terorisme) tak selalu berkorelasi dengan postulat ketidakadilan, kenyataan yang tak terhindarkan bahwa meluasnya propaganda ketidakadilan berbanding lurus dengan eskalasi jumlah warga yang terpapar paham radikal. Artinya, ada yang betul korban ketidakadilan dan ada korban (a) doktrinasi teologis yang keliru dan (b) hasutan politik yang pragmatis oleh pecundang yang memanipulasi keadaan masyarakat untuk kepentingan elektoral. Buktinya, banyak kelas menengah ikut terpapar.

Menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme, termasuk gejolak separatis, butuh skenario komprehensif. Dalam jangka pendek, negara tak punya pilihan selain mengandalkan security approach, pendekatan keamanan—meski konsekuensinya cukup kompleks karena negara mudah dituduh lalim. Maka, solusi jangka panjang adalah pilihan ideal. Negara dan masyarakat sipil mesti berkolaborasi. Negara hadir melalui pranata kekuasaan, administrasi, dan kebijakan publik untuk mewujudkan kemaslahatan umum, sedangkan masyarakat sipil bertindak sebagai agensi yang menjembatani negara dan masyarakat. Jembatan yang menjamin mutu interaksi mutual negara-masyarakat dalam kerangka pembangunan untuk merawat ingatan bersama sebagai bangsa.

Untuk itu, sebagai catatan, organisasi masyarakat sipil mesti bersemangatkan Pancasila sebagai dasar filosofis—organisasi sipil yang menganut ideologi lain atau berafiliasi dengan kelompok radikal mesti dibubarkan. Berikut, menjaga kesucian masyarakat sipil adalah keharusan. Ketika oligarkisasi dan kartelisasi politik mencaplok partai-partai politik—makin jelas kalau oposisi parlemen lemah, sehingga banyak partai tercerabut dari akar sosialnya—maka masyarakat sipil adalah harapan final. Harapan bahwa deliberasi publik dan komunikasi antara warga dan negara dapat berlangsung efektif. Liabilitas tak hanya di tangan negara. Masyarakat sipil turut bertanggung jawab merawat memori bahwa kita ”satu bangsa” bukan karena satu suku, agama, dan ras, melainkan karena kita berbagi perasaan, kenyataan, dan tujuan yang sama.

Negara dan masyarakat sipil mesti berkolaborasi. Negara hadir melalui pranata kekuasaan, administrasi, dan kebijakan publik untuk mewujudkan kemaslahatan umum, sedangkan masyarakat sipil bertindak sebagai agensi yang menjembatani negara dan masyarakat.


Boni Hargens, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

1 komentar:

  1. numpang promote ya min ^^
    Hayyy guys...
    sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
    dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
    di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^

    BalasHapus