Sabtu, 16 November 2019

Sopan dan Otentik

PSIKOLOGI
Sopan dan Otentik
 
Oleh :  SAWITRI SUPARDI SADARJOEN

KOMPAS, 16 November 2019


Dalam membangun percakapan yang sopan dan terhormat, kita bukan sekadar menjadi diri sendiri. Kita juga memilih ”diri” sebagaimana yang kita inginkan. Apa yang kita maksudkan dengan ”diri” tidak pernah bersifat statis, tetapi suatu proses yang berlanjut.

Oleh karena itu, kita tidak akan menjumpainya saat berdiam diri dan sendiri duduk di puncak gunung, bermeditasi atau dengan cara melakukan introspeksi diri secara mendalam sesuai pemaknaan diri kita sendiri. Untuk memperolehnya, kita harus menjalin inter-relasi dengan orang lain serta menjalin percakapan secara aktif.

Ungkapan di atas pada dasarnya menjadi suatu yang paradoksal. Semakin penting dan semakin mendalam inter-relasi yang kita bina, misalnya dengan pasangan dan anggota keluarga dekat, partisipasi kita akan semakin sempit perspektifnya. Ini membuat pengalaman ”diri” menjadi lebih statis dan mengerucut.

Artikel ini menantang kita semua agar memiliki gaya percakapan baru dengan perspektif lebih luas. Percakapan yang memanfaatkan kekuatan wawasan kita tentang siapa diri kita dan apa yang sebenarnya dimungkinkan demi penguatan posisi ”diri” dalam kebersamaan di lingkungan tempat kita berada.

Kita tidak akan menggali kemampuan untuk mengungkap suara otentik dengan asumsi percakapan yang kita jalin bertujuan merendahkan orang yang kita ajak berelasi. Kita seyogianya mendapat kesempatan untuk menemukan cara berkomunikasi yang mampu mengembangkan suara otentik kita, tanpa mengancam ”diri” orang yang kita ajak berelasi.

Makna paradoks dari otentisitas

Mengungkap isi pikiran dan perasaan kita merupakan hak kemanusiaan yang paling mendasar. Kemampuan kita untuk berbicara sesuai dengan kebenaran yang kita yakini akan membentuk inti dari pemaknaan keintiman dan upaya menghargai diri kita sendiri. Dalam hal ini, seorang penyair terkemuka bernama Adrane Rich mengungkapnya dengan cara yang indah.

Apa yang Rich maksudkan dengan suatu relasi terhormat adalah sesuatu yang bermakna: ”Sepanjang waktu kita mencoba untuk memperluas segala kemungkinan kebenaran antara kita dan kehidupan di antara kita”.

Selanjutnya Rich mengatakan, ”Bila kita tidak mampu berbicara secara otentik, relasi yang kita bina akan menjadi spiral menurun yang juga menyertakan penurunan penghayatan integritas pribadi dan rasa hormat kita terhadap diri kita sendiri.”

Kita seyogianya memiliki relasi yang rileks dan intim sehingga kita dapat berbagi setiap masalah. Timbul pertanyaan: siapakah di antara kita yang berkeinginan untuk menyembunyikan masalah yang kita hadapi dalam suatu inter-relasi tanpa kita membiarkan diri untuk dipahami?

Berbicara melalui suara kita sendiri, dan bukan melalui suara orang lain, merupakan ide terbaik yang tidak boleh kita ke sampingkan. Saya menemukan orang yang menjadi tidak ”nyata” (invisible) dalam gaya inter-relasinya yang paling dekat sekalipun.

Padahal, ”menjadi diri sendiri” adalah suatu idiom yang berlaku di setiap budaya. Namun, tidak satu pun orang yang mampu menyertakan esensi ”menjadi diri sendiri” dalam inter-relasi yang manusiawi dengan tetap berada dalam koridor tata kesopanan berelasi.

Jadi, dalam ungkapan di atas, bertengger pemahaman paradoks dalam otentisitas berelasi antarmanusia. Dalam artian, bahwa berbicara dengan cara sesuai dengan kenyataan yang ada tidak selalu merupakan sikap yang bijak. Sering kali menyuarakan pemikiran dan perasaan yang sesungguhnya justru dapat merusak alur komunikasi, bahkan bisa saja mempermalukan orang lain.

Bahkan tidak setiap percakapan selalu merupakan cara untuk mendapat solusi dari masalah yang dihadapi. Dari pengalaman nyata, kita akhirnya mengetahui bahwa untuk membicarakan dan mendiskusikan isu yang sulit dapat mengubah suasana relasi yang sudah buruk menjadi semakin buruk.

Bisa saja, jika kita membicarakan isu-isu yang tidak baik akan membuat tingkat ketidakbaikan itu menjadi semakin dalam dan akhirnya secara otomatis merusak iklim relasi yang kita bina. Bahkan, mungkin saja akan terjadi permusuhan yang tidak termaafkan bagi dua orang yang berelasi dengan cara tersebut di atas.

Jadi, sejujurnya dapat dipahami bahwa dalam banyak situasi, kebijakan dalam berelasi membutuhkan strategi yang bijak sehingga terkadang ungkapan yang kurang spontan justru dibutuhkan jika kita berbicara dengan orang yang ”sulit” dalam menerima isu-isu panas atau isu yang menegangkan perasaan lawan bicara.

Untuk itu, terdapat pertimbangan-pertimbangan di bawah ini yang membuat peluang bagi kita untuk lebih bijak saat mengungkap otentisitas diri, tanpa mengakibatkan perasaan lawan kita dalam berelasi terganggu:

• Berusaha menciptakan gambaran diri dan gambaran orang yang kita ajak berelasi dengan seakurat mungkin, dalam koridor kompleksitas pribadi kita dan lawan bicara kita.

• Bicaralah dengan sopan dan penuh penghargaan terhadap lawan berelasi kita dengan berdasarkan integritas fungsi kepribadian kita.

• Perkuatlah kapasitas diri kita untuk bersikap kreatif, bijak, walaupun tetap ceria dan penuh semangat.

• Tingkatkan kemampuan kita dalam memberi dan menerima kasih.

Semoga kita dapat memanfaatkan suara yang menyertakan hati dan penghayatan tentang siapa diri kita di dunia ini dengan kemampuan berbicara yang juga menciptakan keintiman, di samping penghargaan pada diri kita sendiri secara optimal.

Semoga. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar