KOALISI PEMERINTAHAN
Lalatnya Sancho Panza
Oleh : LIEK WILARDJO
KOMPAS, 22 November 2019
Artikel M
Nurhasim (LIPI) di rubrik opini (Kompas, 13/11/2019) bagus. Ilustrasinya,
berupa karikatur, juga ”pas”. Nurhasim kritis dan tajam, tetapi kecamannya
membangun.
Ia juga
membedakan antara kabinet kerja dan kabinet kompromi. Koalisi partai-partai
pendukung pemerintah, yang di parlemen hanya menyisakan tiga partai di luar
pemerintah, disebutnya ”koalisis turah” yang , menurut saya, setali tiga uang
dengan koalisi eksesif.
Peneliti
LIPI itu terkesan menyayangkan tiadanya ”cermat periksa dan imbang neraca”
(check and balance) serta khawatir, jangan-jangan kita sedang menghadapi resesi
demokrasi.
Hebat, tetapi kualat
Di jagat
pewayangan ada ”narendra gung binatara” (raja agung bagaikan dewa). Itulah
Prabu Pandu Dewanata, raja Astinapura yang sakti mandraguna. Sayang, Sri
Baginda Prabu Pandu termakan hoaksnya Patih (-dalam), Sengkuni, yang melaporkan
bahwa Patih(-luar) Gandamana menyerang delegasi muhibah dari Kerajaan
Pringgadani dan gugur dalam peperangan.
Prabu Pandu,
yang sebelumnya telah mewanti-wanti Gandamana agar menerima delegasi
Pringgadani itu dengan baik-baik selaku duta negara sahabat, marah besar.
Gandamana (yang dikiranya sudah almarhum) dipersalahkan dan Sengkuni
diangkatnya menjadi satu-satunya mahapatih, baik untuk urusan pemerintahan
dalam negeri, maupun untuk urusan luar negeri dan pertahanan negara.
Sebenarnya
Gandamana tidak tewas. Dia dijebak sehingga tercemplung ke dalam luweng (lubang
perangkap), lalu ditimbun dengan batu-batu besar dan urukan tanah. Namun,
kemudian dia ditolong oleh Raden Yamawidura, adinda Prabu Pandu, yang menyuruh
putra Prabu Pandu, Bratasena, untuk membongkar tumpukan batu yang menutupi
lubang jebakan itu.
Gandamana
marah besar. Ia kembali ke Astina. Kemarahannya kian meluap ketika didapatninya
Sengkuni sedang berusaha memerkosa istri Gandamana. Sengkuni dihajar hingga
babak bundas. Wajahnya yang tampan dan perawakannya yang tegap-kuat menjadi
cacat dan jelek.
Melihat
semuanya itu, Prabu Pandu Dewanata tetap menyalahkan Gandamana. Sang Raja kukuh
berpegang pada prinsip ”Sabda Pandita Ratu”; sabda dan titah raja tak boleh
diubah dan Gandamana tetap dinyatakan bersalah.
Tindakan
Gandamana menghajar Sengkuni juga salah sebab Sengkuni adalah seorang mahapatih
dan di Astina yang berwenang menjatuhkan pidana hanya Sri Baginda Prabu Pandu
Dewanata. Gandamana diusir, lalu ia kembali ke negeri asalnya, Cempala Radya,
yang diperintah kakanda iparnya sendiri, Prabu Drupada.
Sebagai
akibat insiden di tapal-batas dalam lakon ”Gandamana Luweng” itu terjadilah
perang tanding antara Prabu Pandu Dewanata dan raja Pringgadani, Prabu
Tremboko. Itulah Lakon ”Perang Pamoksa”. Prabu Tremboko, yang sudah tak
berdaya, kalah dan rebah di tanah, dan diinjak-injak tanpa belas kasihan oleh
Prabu Pandu, meskipun sudah tewas ternyata masih memegang keris pusakanya,
Kanjeng Kiai Kalanadah.
Terkena
kualat karena ulahnya yang awamanusiawi (dehumanizing) itu, injakan kaki Prabu
Pandu menancapkan keris Kalanadah di telapak kakinya; ujungnya masuk sampai ke
dalam betisnya. Prabu Pandu pingsan dan harus dipapah kembali ke keraton
Astina. Raja Astina itu gering (sakit) dan akhirnya mangkat.
Karena keras
kepalanya, mau sok sabda brahmana raja dan bèr-budi bawalaksana, Prabu Pandu
Dewanata, raja yang sakti mandraguna tetapi kelewat angkuh itu, dibanjut dewa,
dicabut nyawanya oleh Sang Hyang Yamadipati atas perintah Sang Hyang Jagad
Girinata, lalu dilemparkan ke dalam kawah Candradimuka untuk menjalani hukuman
siksaannya.
Lakon
”Gandamana Luweng” dan ”Perang Pamoksa” itu mengandung ajaran agar kita jangan
mentang-mentang sangat kuat dan berkuasa luar biasa, lalu bersikap serta
bertindak “sepaling” (ekstrem), main copot seperti yang dilakukan Prabu Pandu
terhadap Gandamana.
Doa selamat
Kembali ke
”Negarawan dan Demokrasi”-nya Nurhasim, kita bisa mengikuti contoh Nurhasim dan
berani bersikap kritis, atau memilih mencari aman saja. Di kalangan orang Jawa
mencari aman itu dilakukan dengan berdoa; ”sluman, slumun, slamet”.
Sesuai
dengan ujaran Sancho Panza pengikut setia Don Quixote dalam novel Miguel de
Cervantes (1547–1616), Don Quixote de La Mancha (1605/1615) sebagai wong cilik
(rakyat kecil) lebih baik kita diam saja, tidak usah lantang meneriakkan
kritikan. Jadi, ”Seluman, selumun, selamat. Mulut yang tertutup rapat tidak
kemasukan lalat” (a closed mouth catches no flies). Tetapi, ini bukan sikap
cendekiawan-cum-nasionalis.
(Liek Wilardjo, Guru Besar Fisika dan
Dosen di Program Doktor Ilmu Hukum, Undip)
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar