Rabu, 13 November 2019

Mencermati Arah Kebijakan BI

PERLAMBATAN EKONOMI
Mencermati Arah Kebijakan BI

Oleh :  JUNANTO HERDIAWAN

KOMPAS, 13 November 2019


Pertengahan Oktober lalu, Bank Indonesia (BI), untuk keempat kalinya dalam tahun ini, menurunkan bunga acuan menjadi 5 persen. BI juga melakukan relaksasi makroprudensial untuk meningkatkan kapasitas penyaluran kredit perbankan dengan mendorong permintaan kredit pelaku usaha, melalui pengaturan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). BI juga melonggarkan kebijakan uang muka (loan to value) untuk kredit properti dan kendaraan bermotor.

Gubernur BI dalam berbagai kesempatan menyampaikan, langkah itu bagian dari bauran kebijakan (policy mix) BI yang menggunakan kombinasi instrumen, baik moneter, maupun makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, termasuk ekonomi syariah dan internasional, untuk menambah gairah di tengah kondisi ekonomi yang kita hadapi.

Respons kebijakan BI itu tentu memunculkan beberapa pertanyaan, apakah BI kini lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi ketimbang stabilitas, apa dampak dari kebijakan BI itu pada ekonomi, serta kebijakan lanjutan apa yang diperlukan agar Indonesia dapat terlepas dari gejolak global?

Ekonomi dunia sejak beberapa waktu bergerak melambat. Awan mendung masih menggantung dan ancaman resesi menyelimuti pelaku ekonomi. Sejumlah lembaga internasional telah beberapa kali merevisi pertumbuhan global. Indonesia ikut terkena dampaknya.

Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi pertumbuhan Indonesia pada 2019 dari 5,2 persen menjadi 5 persen, dan untuk 2020 dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen. Bank Dunia juga merevisi pertumbuhan Indonesia 2019 dari 5,1 persen menjadi 5 persen, sedangkan 2020 dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.

Resesi juga mulai menyeret satu per satu negara di dunia. Hongkong beberapa waktu lalu secara resmi memasuki jurang resesi, setelah ekonominya terkontraksi 3,2 persen pada kuartal III-2019, kontraksi selama dua triwulan berturut-turut. Sebelumnya Turki juga telah terseret ke jurang resesi.

Kekhawatiran akan resesi lanjutan terjadi di AS sudah mulai terlihat tanda-tandanya, yaitu terjadinya inverted yield curve, atau kondisi saat imbal hasil obligasi jangka panjang lebih rendah dari obligasi jangka pendek. Pasar obligasi AS menunjukkan abnormalitas, karena imbal hasil obligasi tiga bulan lebih tinggi dari tenor sepuluh tahun, lima tahun, dan dua tahun. Apabila AS mengalami resesi, dikhawatirkan rambatan selanjutnya menyeret Eropa dan Jepang, yang pada gilirannya membawa dunia pada resesi global.

Dengan kondisi itu, upaya menjaga keyakinan pelaku ekonomi menjadi penting. Respons pengambil kebijakan di seluruh dunia hampir seragam: menjalankan kebijakan fiskal yang kontra siklus (menambah tenaga ekonomi lewat defisit fiskal) dan pelonggaran moneter.

Bank sentral di berbagai negara telah melonggarkan kebijakan moneter atau bersikap dovish, sejak akhir September 2019. Bank sentral Korea, India, Australia, Meksiko dan Brasil, telah menurunkan bunga kebijakan dari 25 hingga 135 basis poin (0,25 hingga 1,35 persen).

Dorong ekonomi dan tetap prioritaskan stabilitas

Di sisi kebijakan moneter dalam negeri, BI memberikan respons lebih awal (ahead the curve) dengan menurunkan suku bunga sejak Juli 2019, diikuti relaksasi makroprudensial.

Ada tiga alasan utama penurunan suku bunga kebijakan ini, yang dapat dilihat berdasarkan prioritas mandat BI. Pertama, keyakinan BI akan perkiraan inflasi yang terkendali, berada pada tingkat yang rendah dan stabil untuk 2019 dan 2020. BI tak akan mengorbankan stabilitas sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi. Inflasi 2019 diperkirakan di bawah kisaran tengah proyeksi, antara 2,5-4,5 persen, atau di bawah 3,5 persen. Untuk 2020, inflasi diyakini terjaga di kisaran 2-4 persen. Stabilnya harga pangan dan inflasi inti menjadikan prospek inflasi tetap terkendali.

Kedua, penting bagi kita tetap menjaga daya saing aset dan surat berharga di dalam negeri. Hal ini untuk menjamin agar dana asing atau investasi portofolio masih masuk ke Indonesia di tengah defisit transaksi berjalan yang terjadi. Saat ini, pendapatan suku bunga Indonesia masih lebih baik dibanding negara kawasan.

Dengan dua alasan itu, BI memanfaatkan ruang yang ada untuk melakukan penurunan suku bunga kebijakan. Alasan ketiga inilah yang terkait dengan dukungan pada perekonomian. BI mencermati momentum pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini perlu didukung. Terbentuknya kabinet baru, program kerja yang akan difokuskan pada upaya mendorong pertumbuhan menuju Indonesia maju, optimisme dari masyarakat, tentu perlu diperkuat dengan landasan yang cukup di sektor moneter dan sistem keuangan.

Kebijakan lanjutan

Dampak langsung dari bauran kebijakan BI itu tentu membutuhkan waktu karena akan sangat tergantung pada respons pelaku pasar. Namun dalam beberapa bulan terakhir transmisi pelonggaran kebijakan moneter mulai bekerja didukung oleh kecukupan likuiditas perbankan. Rerata harian volume Pasar Uang Antar Bank (PUAB) selama September 2019 berada pada Rp 17,95 triliun, atau cukup tinggi dan memadai. Kita juga melihat terjadinya penurunan suku bunga  PUAB di semua tenor, diikuti oleh mulai turunnya suku bunga deposito, dan suku bunga kredit.

Suku bunga kredit investasi dan kredit modal kerja masing-masing tercatat 10,11 persen dan 10,33 persen. Hal ini diharapkan dapat terus berlanjut seiring tumbuhnya optimisme terhadap ekonomi. Sinergi kebijakan tentu menjadi kunci dalam upaya menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Langkah BI, pemerintah, OJK, dunia usaha, dan keuangan, perlu terus ditujukan dalam aras yang sama untuk menjaga keyakinan pasar terhadap ekonomi. Dengan telah ditempuhnya kebijakan penurunan bunga, langkah selanjutnya kita perlu bersama memfokuskan diri mencari sumber pertumbuhan baru, seperti pengembangan kawasan untuk manufaktur, mendorong pariwisata, penguatan UMKM, perluasan pemanfaatan ekonomi digital, termasuk potensi maritim.

Selain itu, upaya transformasi ekonomi dengan pemangkasan izin investasi dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong pengembangan kawasan ekonomi dan pariwisata, perlu terus dilakukan. Jika ini dapat kita lakukan bersama, Indonesia maju yang lebih baik lagi akan dapat diwujudkan.


(Junanto Herdiawan ;  Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar