Belum genap sebulan usia Kabinet Indonesia Maju, fenomena pragmatisme politik makin terang benderang. Koalisi tanpa gagasan mulai menunjukkan jati dirinya sebagai persekutuan elite politik meraih kekuasaan semata. Jurus kilat Partai Nasdem ”memeluk” partai politik di luar koalisi, meskipun dengan alasan demi checks and balances agar praktik demokrasi Indonesia lebih sehat, hampir dapat dipastikan berkaitan dengan antisipasi, strategi, serta taktik menghadapi Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.
Pergeseran bagan politik makin jelas setelah Nasdem bersafari politik bertemu parpol di luar koalisi, seperti Partai Keadilan Sejahtera , serta berencana pula menemui pimpinan Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat.
Manuver mungkin akan muncul dari parpol anggota koalisi pendukung Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin yang tak kebagian kursi kabinet, yaitu Partai Bulan Bintang, Partai Hati Nurani Rakyat, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Pemerintahan Jokowi-Amin merangkul Prabowo Subianto, rival politiknya di Pilpres 2019. Pragmatisme menghanyutkan nilai-nilai kenegarawanan elite politik. Benak mereka hanya sarat siasat dan taktik menang dari pemilu ke pemilu. Akibatnya, esensi pemilu sebagai sarana memilih pejabat publik yang mengabdi rakyat sekadar menjadi instrumen menyalurkan hasrat kuasa. Ibaratnya, elite politik mengidap rabun jauh kolektif sehingga wawasan mereka hanya sejauh jangkauan hidungnya.
Perilaku elite politik yang makin tunduk pada kepentingan politik kekuasaan semata tidak memadamkan harapan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Amin. Ekspektasi tecermin dalam jajak pendapat Kompas. Lebih dari 70 persen responden yakin Presiden Jokowi mampu menciptakan birokrasi yang efektif serta mewujudkan visi dan misinya, lebih dari 60 persen responden yakin Presiden Jokowi mampu menyelesaikan beragam persoalan.
Hasil lain, lebih dari 60 persen responden meyakini Menteri Agama, meski berlatar belakang militer, mampu menangani radikalisme, intoleransi, dan meningkatkan layanan haji (Kompas, 4/11/2019). Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi juga cukup tinggi, 71,8 persen, menurut Lembaga Survei Indonesia (Kompas.com, 4/11/2019).
Harus diakui, tantangan pemerintahan Jokowi-Amin tidak ringan. Pada tataran global, gelombang populisme, kematian kebenaran atau the death of truth (Michiko Kakutani, 2018), perang dagang Amerika Serikat dan China, dan kecenderungan ekonomi dunia yang makin proteksionis sangat berpengaruh terhadap agenda lima tahun pemerintahan Jokowi-Amin.
Tantangan politik domestik juga kompleks karena landasan tata kelola kekuasaan negara yang amburadul, utamanya praktik demokrasi tanpa pakem yang mengakibatkan elite politik seperti kesetanan berebut kekuasaan. Selain itu, politik uang juga semakin merajalela, politisasi birokrasi semakin akut, kredibilitas lembaga politik dan negara semakin merosot, dan masalah lainnya yang merupakan produk reformasi politik tanpa paradigma jelas.
Tantangan itu semakin berat karena kerusakan negara juga dinikmati berbagai kalangan. Tragisnya, sebagian dari mereka seharusnya secara konstitusional berkewajiban menata dan memperbaiki tata kelola kehidupan bernegara. Mereka mengerti tugas dan kewajiban, tetapi tidak berniat memperbaikinya.
Menghadapi berbagai tantangan berat itu, Presiden Jokowi punya modal utama yang ampuh: hasrat dan niat baik serta sungguh-sungguh, dengan segala keterbatasannya, mewujudkan kesejahteraan berkeadilan. Selama lima tahun pertama pemerintahannya, ia membuktikan dirinya nyaris bebas dari isu-isu kolusi, korupsi dan nepotisme.
Hasrat dan tekad Presiden Jokowi melawan perusak negara dalam kosmologi pewayangan disebut tiwikrama. Artinya, ia mengerahkan segenap kekuatan, kemauan, tenaga, dan pikiran untuk menegakkan keadilan serta mewujudkan kesejahteraan. Dalam jagat pakeliran, sosok yang dianggap suci berubah mirip raksasa yang melambangkan kemarahan luar biasa dan kekuatan yang dahsyat untuk melibas kejahatan.
Beberapa manifestasi tekadnya antara lain sebagai berikut. Pertama, ia memilih anggota kabinet dengan tidak tunduk secara absolut pada keinginan oligarki parpol pendukungnya. Kedua, ia menegaskan salah satu fokus agenda pemerintah ialah menertibkan kelompok-kelompok manipulator agama, misalnya dengan mengangkat menteri agama ”menyimpang” dari pakem yang selama ini dianggap sebagai tradisi. Ketiga, ia memberikan ”hak veto” kepada para menteri koordinator jika dalam ruang lingkup otoritasnya terdapat regulasi para menteri yang bertentangan dan tumpang tindih satu sama lain.
Keempat, ia berencana menerbitkan Undang-Undang ”Sapu Jagat” (Omnibus Law). Regulasi yang menjadi payung beberapa aturan yang berbeda substansinya dan menghapuskan peraturan perundangan yang tumpang tindih atau saling bertentangan agar memperlancar investasi.
Terakhir, dengan bahasa lugas, Presiden Jokowi melarang para menterinya untuk korupsi, serta akan dipecat jika tidak berprestasi. Juga tidak ada visi menteri. Selain itu, harus kerja cepat, keras, kreatif produktif (tidak hanya sent, tetapi juga delivered!), serta selalu cek masalah di lapangan dan menemukan solusinya.
Tantangan lima tahun ke depan cukup berat. Dengan kepemimpinan nasional yang konsisten berkehendak luhur, diharapkan realitas politik hasil Pemilu 2019 dapat meletakkan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan yang lebih berkualitas.***