PEMBANGUNAN NASIONAL
Tantangan Pertanian 2019-2024
Selamat kepada Syahrul Yasin Limpo yang dipercaya menakhodai pembangunan pertanian dan pangan pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Sungguh tugas yang teramat berat dengan tantangan yang tidak ringan meskipun juga menyajikan harapan besar apabila kebijakan pertanian dikemas dengan tepat dan pembangunan pertanian dijalankan dengan baik.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, berbagai program dijalankan, baik perbaikan prasarana pertanian maupun subsidi benih, pupuk, berbagai kredit, serta program khusus untuk swasembada beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula.
Pada periode 2004-2013, anggaran pertanian dan pangan meningkat tajam sebesar 611 persen. Peningkatan anggaran sebagian besar digunakan untuk upaya peningkatan produksi pangan. Namun, apa yang terjadi? Apakah peningkatan anggaran yang begitu tajam setajam peningkatkan produksi menurunkan impor dan memperbaiki kesejahteraan petani?
Pada periode tersebut, produksi padi memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 48,9 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 58,7 juta ton GKG atau 20 persen (data dari berbagai sumber dan hasil citra satelit, DA Santosa, 2019). Akan tetapi, apabila dikaji lebih detail, faktor alam jauh lebih berperan dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan anggaran dan program.
Pada 2008 hingga 2010 berlangsung kemarau basah sehingga produksi padi terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Pada 2011, produksi padi tiba-tiba turun tajam dari 60,1 juta ton GKG menjadi 53,8 juta ton GKG akibat serangan hama wereng yang hebat karena penanaman padi terus-menerus pada tahun-tahun sebelumnya. Produksi padi kemudian membaik lagi hingga 2013.
Peningkatan anggaran yang besar tidak berkorelasi sama sekali dengan penurunan impor. Impor pangan justru melonjak tajam sebesar 346 persen. Kesejahteraan petani juga tidak membaik. Pada periode tersebut, lima juta rumah tangga petani terpaksa keluar dari lahannya (Sensus Pertanian 2013).
Perbaikan justru terjadi di subsektor di mana peran dan intervensi pemerintah, baik dalam bentuk anggaran maupun program, sangat kecil. Riset dan pengembangan, teknologi budidaya, perluasan area, serta pembukaan pasar, baik nasional maupun internasional, hampir semuanya didominasi dan dilakukan sektor swasta.
Di subsektor itu, nilai ekspor komoditas, terutama sawit, melonjak tajam dari hanya 9,888 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 43,365 miliar dollar AS pada 2011. Neraca perdagangan juga naik drastis dari surplus 4,859 miliar dollar AS menjadi 22,766 miliar dollar AS pada 2011. Meskipun kemudian mengalami penurunan menjadi 17,938 miliar dollar AS pada 2013, subsektor tersebut tetap menorehkan prestasi yang mengagumkan.
Peningkatan anggaran dan impor pangan
Era Presiden Yudhoyono kemudian digantikan era Presiden Jokowi. Bagaimana sektor pertanian dan pangan pada periode pertama pemerintahan saat ini?
Pembangunan infrastruktur pertanian berupa bendungan, dam, dan perbaikan jaringan irigasi dijalankan secara masif. Berbagai program digulirkan, di antaranya program swasembada enam komoditas hingga tahun 2019, program Upsus PAJALE, pembagian alat dan mesin pertanian yang melonjak drastis dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, serta pendirian ribuan toko tani yang kesemuanya didukung dengan peningkatan anggaran yang tajam.
Pembangunan pertanian masa pemerintahan saat ini diawali dengan lonjakan tajam anggaran pertanian dan pangan dari Rp 71,243 triliun pada 2014 menjadi Rp 127,569 triliun pada 2015 atau kenaikan 79 persen. Lonjakan anggaran tertinggi terjadi di Kementerian Pertanian, yaitu sebesar 141 persen pada 2015 dibandingkan pada 2014. Total anggaran 2015-2018 mencapai Rp 409 triliun atau rata-rata lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Hal yang wajar apabila kemudian masyarakat mempertanyakan hasilnya.
Peningkatan produksi tanaman pangan terutama padi yang menerima anggaran terbesar justru tidak mengalami perbaikan berarti. Peningkatan produksi padi selama 17 tahun terakhir ini (2001-2018) sudah lebih rendah dari pertumbuhan penduduk, yaitu hanya 1,00 persen tiap tahunnya.
Produksi padi pada pemerintahan saat ini tidak mengalami perbaikan, bahkan justru mengalami penurunan yang mengkhawatirkan. Produksi padi hanya meningkat 0,28 persen per tahunnya (2015-2018) jauh lebih rendah dari rata-rata 17 tahun terakhir.
Di tengah peningkatan anggaran yang tinggi, total impor pertanian juga meningkat drastis dari 19,4 juta ton (2014) menjadi 28,6 juta ton (2018) atau lebih dari 9 juta ton hanya dalam tempo empat tahun terakhir yang didominasi subsektor tanaman pangan 22,0 juta ton. Nilai impor pertanian meningkat dari 10,436 miliar dollar AS menjadi 13,193 miliar dollar AS di periode sama.
Bagaimana apabila membandingkan impor-ekspor subsektor tanaman pangan pemerintahan Yudhoyono (2005-2014) dengan pemerintah saat ini (2015-2018)? Rata-rata impor tahunan pada pemerintah sebelumnya sebesar 11,7 juta ton bahan pangan, sedangkan saat ini justru meningkat menjadi 20,6 juta ton.
Adapun ekspor subsektor tanaman pangan justru mengalami penurunan dari 0,762 juta ton rata-rata tahunan menjadi 0,371 juta ton pada pemerintah saat ini. Peningkatan impor dan penurunan ekspor subsektor tanaman pangan meningkatkan defisit neraca perdagangan dari rata-rata 4,090 miliar dollar AS per tahun pada pemerintah sebelumnya menjadi 6,753 miliar dollar AS pada pemerintahan saat ini.
Kesejahteraan petani pada periode pemerintahan saat ini justru memburuk. Nilai tukar petani (NTP) menurun dari rata-rata 104,45 pada pemerintahan Yudhoyono menjadi 101,75 pada pemerintahan saat ini. Kesejahteraan petani tanaman pangan juga praktis tidak mengalami perbaikan dengan NTP 100,14 pada pemerintahan sebelumnya menjadi 100,32 pada pemerintahan saat ini.
Sekali lagi neraca perdagangan pertanian Indonesia diselamatkan oleh swasta, terutama perkebunan kelapa sawit. Rata-rata tahunan surplus neraca perdagangan pertanian sedikit menurun dari 8,863 miliar dollar AS (2005-2014) menjadi 8,395 miliar dollar AS (2015-2018).
Mengurai masalah
Jika berkaca dari data yang ada, sungguh ironis. Anggaran yang begitu besar dan terus mengalami peningkatan dari satu periode ke periode pemerintahan selanjutnya praktis tidak berdampak pada peningkatan produksi. Sebaliknya, yang terjadi justru impor pangan semakin meningkat tajam dan kesejahteraan petani menurun. Apabila menilik lebih jauh ke kebijakan dan program yang ada, praktis tak ada beda antara satu pemerintahan dan pemerintahan selanjutnya.
Pembeda utama hanya masalah anggaran yang selalu meningkat drastis ketika pemerintahan berganti. Dengan kebijakan dan program yang sama, hasil akhirnya sudah bisa diduga. Sering dinyatakan Indonesia memiliki potensi besar di bidang pangan sehingga gagasan seperti ”lumbung pangan dunia” atau pada pemerintah sebelumnya ”feed the world” menjadi visi pembangunan pertanian utama hingga saat ini. Kenyataan yang ada sesungguhnya tidak demikian.
Lahan pangan terbaik hanya ada di Pulau Jawa yang harus bersaing keras untuk kepentingan permukiman, infrastruktur, industri, dan jasa. Beberapa lahan pangan terbaik di luar Jawa juga menghadapi permasalahan yang sama dengan di Jawa, bahkan ancamannya bertambah satu, yaitu konversi ke perkebunan, terutama kelapa sawit.
Semua jargon dan retorika yang disampaikan selama ini terbentur pada kenyataan bahwa periode kedua pemerintahan ini diwarisi dengan impor komoditas pertanian sebesar 28,6 juta ton, dengan 22,0 juta ton di antaranya adalah impor pangan. Impor tersebut sangat mungkin akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Lalu, apakah masih ada secercah harapan untuk pengembangan sektor pertanian? Harapan selalu ada. Subsektor perkebunan yang hingga saat ini didominasi swasta dan intervensi pemerintah sangat kecil memang sebaiknya berjalan sebagaimana yang ada selama ini. Intervensi terlalu dalam ke sektor ini bisa menyebabkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Tugas pemerintah terpenting hanya melindungi dan mengamankan subsektor ini dalam diplomasi di tingkat internasional. Saat ini, posisi Indonesia berada di peringkat satu dunia untuk kelapa sawit, ”masih” di peringkat satu untuk kelapa dan cengkeh, peringkat dua untuk karet dan lada, serta peringkat tiga untuk kakao dan pala. Semoga peringkat tersebut masih bisa bertahan dan bahkan ditingkatkan.
Persoalan terbesar berada di subsektor tanaman pangan yang merupakan kelompok terbesar, terpenting, dan dominan petani kecil. Semua intervensi, kebijakan, program, dan anggaran selama ini praktis tidak berdampak terhadap subsektor tersebut, bahkan yang terjadi impor pangan terus mengalami peningkatan.
Meskipun demikian, subsektor ini memiliki potensi besar, bahkan bisa menjadi penghela pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan (DA Santosa, ”Menuju Indonesia 7.0”, Kompas, 29/7/2019). Kebijakan dan program berjenis ”melanjutkan apa yang sudah dilakukan menteri sebelumnya” dipastikan akan menuai kegagalan sebagaimana diulas di awal tulisan ini.
Semoga konseptor dan pelaksana kebijakan pertanian dan pangan benar-benar memahami apa yang sebenarnya harus dilakukan sehingga pembangunan pertanian tidak berjalan ke arah yang salah dari visi dan misi Presiden. Apabila hal ini tidak juga terjadi, sesungguhnya tidak ada harapan untuk masa depan pertanian Indonesia. Semoga tidak.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan Associate Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar