ANALISIS POLITIK
Menanggulangi
Terorisme
Oleh : AZYUMARDI AZRA
KOMPAS, 21 November 2019
Aksi
terorisme masih merajalela di sekitar kita. Rabu (13/11/2019), aksi bom bunuh
diri dilakukan RMN (24) di Markas Polrestabes Medan. Bom yang agaknya meledak
sebelum mencapai sasarannya lebih fatal di kantor Markas Polrestabes ini
menewaskan pembawa bom. Enam orang yang berada di dekat lokasi ledakan
menderita luka.
Pelajaran
pertama yang bisa diambil aparat Polri dan publik anti-terorisme adalah bahwa
aksi bom bunuh diri yang dilakukan RMN tak berdiri sendiri. Pelaku boleh saja
disebut sebagai lone wolf, serigala buas yang naik motor sendirian melakukan
aksi bom bunuh diri. Namun, jelas jaringannya cukup luas, menjadi gerombolan
serigala buas (flock of wolves). Setelah aksi bom di Medan, tidak kurang dari
46 tersangka teroris ditangkap di sejumlah tempat di Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan, di antaranya tewas saat baku tembak dengan aparat polisi di Deli
Serdang.
Jaringan RMN
jelas tidak hanya melibatkan gerombolan perkawanan yang sama-sama mengikuti
ideologi dan praksis atas nama agama, tetapi juga ikatan perkawinan dan
persaudaraan. Menurut catatan Kompas (15/11/2019), sejak Mei 2018 sampai dengan
13 November 2019, ada lima kasus aksi terorisme yang melibatkan ikatan keluarga
dan persaudaraan. Melalui ikatan ini, jaringan atau kelompok terorisme menjadi
lebih solid dalam melakukan tindakannya.
Menyangkut
jaringan radikalisme-terorisme lewat tali perkawinan, perlu dicermati
kecenderungan meningkatnya keterlibatan istri atau perempuan. Keterlibatan
perempuan dalam jaringan terorisme berawal dari tertangkapnya Dian Yulian
Novita dalam operasi polisi di Bekasi pada Desember 2016.
Setelah itu,
perempuan kian sering terlibat dalam jaringan dan aksi terorisme. Kelihatannya
para perempuan cukup tangguh dan militan, tak kalah dengan laki-laki. Akan
tetapi, belum jelas apakah para perempuan itu terlibat ideologi dan praksis
terorisme karena tekanan laki-laki atau karena kesadaran sendiri.
Dua peneliti
dan aktivis perdamaian, Lies Marcoes (Kompas, 16/5/2018) dan Musdah Mulia,
sambil mendaftar nama-nama perempuan yang terlibat jaringan radikalisme dan
terorisme dalam beberapa tahun terakhir, menyebut gejala ini sebagai feminisasi
radikalisme, atau feminisasi gerakan radikal, atau bahkan feminisasi terorisme.
Semua terminologi ini contradictio-in-terminis karena kata feminis mengacu pada
kesetaraan perempuan (dengan lelaki) yang juga terasosiasi dengan kelembutan,
bukan kekerasan.
Pada konteks
itu, menurut polisi, dalam melakukan aksi terornya, RMN diduga banyak didorong
oleh istrinya, DA, yang aktif berkomunikasi lewat media sosial dan juga dengan
mengunjungi langsung Dw, perempuan terpidana terorisme di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II Wanita Medan.
Kian
banyaknya perempuan terlibat aktif dalam ideologi dan praksis
radikalisme-terorisme terlihat bersamaan dengan meningkatnya jumlah tersangka
teroris yang ditangkap polisi. Gejala ini menunjukkan masih atau bahkan kian
meruyaknya sel dan jaringan terorisme.
Antara
Januari dan Mei 2019, sekitar 68 teroris ditangkap. Penangkapan itu terus
berlanjut di banyak tempat di Tanah Air, yang berpuncak setelah penusukan Menko
Polhukam Wiranto pada 10 Oktober. Saat itu, tidak kurang dari 40 tersangka
teroris ditangkap. Gelombang penangkapan terjadi lagi pasca-bom bunuh diri RMN
di Markas Polrestabes Medan.
Dengan
demikian jelas, kekalahan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Da’Is
(Dawlah Islamiyah) di wilayah Suriah dan Irak terlihat seolah tak berdampak
pada perkembangan dan dinamika terorisme di Indonesia.
Meski
Pemimpin NIIS Abu Bakar al-Baghdadi dilaporkan telah tewas pada akhir Oktober
lalu, penggantinya sudah dimaklumkan, yaitu Abu Ibrahimi al-Hashimi al-Quraisi.
Tampak para pengikutnya menerima dia. Tidak ada penolakan dari kalangan
pengikut NIIS terhadap Abu Ibrahimi yang kehidupannya penuh rahasia.
Walhasil,
NIIS bakal terus bertahan. Lagi pula sumpah setia (baiat) mereka yang terekrut
belakangan ini tak lagi harus lewat pertemuan langsung dengan lingkaran
kepemimpinan NIIS, tetapi bisa secara daring (online). Menurut polisi, sekitar
90 persen tersangka teroris anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) melakukan
baiat kepada NIIS secara daring.
Oleh karena
itu, upaya penanggulangan terorisme di Tanah Air masih jauh dari selesai.
Sebaliknya, justru perlu akselerasi, khususnya secara internal dengan penguatan
badan/lembaga penanggulangan terorisme, khususnya Densus 88 Antiteror dan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.
Peningkatan
sangat mendesak dilakukan mengantisipasi kembalinya ”veteran NIIS”. Kini, ada
sekitar 700 veteran NIIS asal Indonesia yang ingin kembali. Mereka ada dalam
tahanan di Turki, Suriah, Irak, atau Jordania. Mereka dapat kapan saja
dideportasi pemerintah negara-negara itu ke Indonesia.
Bagaimana
sikap Pemerintah Indonesia mengantisipasi gelombang veteran NIIS? Tampaknya
belum jelas, apakah menerima mereka semua yang ingin kembali atau menerima
secara selektif setelah melalui cleareance.
Tito
Karnavian ketika masih menjabat Kapolri pernah menyatakan, ada sekitar 500
veteran NIIS yang sudah kembali ke Indonesia. Jika ini benar, berarti cukup banyak,
hingga muncul pertanyaan bagaimana Polri mampu mengendalikan mereka.
Mengingat
aksi terorisme dan gelombang penangkapan tersangka teroris yang terus
berlangsung, bukan tak mungkin veteran NIIS ikut berperan dalam peningkatan
jumlah pelaku terorisme dan jaringannya. Terorisme jadinya masih seperti puncak
gunung es.
Semua
pihak—pemerintah, aparat kepolisian, warga, dan kelompok masyarakat sipil,
serta ormas—harus bahu-membahu menanggulangi ideologi dan praksis
radikalisme-terorisme. Sikap defensif dan apologetik, bahwa tidak ada
radikalisme-terorisme di negeri ini, jelas tidak menolong upaya penanggulangan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar