Minggu, 17 November 2019

Menentang Patriarki

Menentang Patriarki

Oleh :  JEAN COUTEAU

KOMPAS, 17 November 2019


Biasanya, ketika diajak menghadiri acara seni kontemporer bernada konseptual, saya kecewa: kehebohan sering lebih besar ketimbang hasil yang dicapai. Pesannya kerap tidak sampai atau justru terlalu gamblang. Inilah gambaran umum yang sering saya saksikan.

Namun, beberapa hari lalu, ketika mengunjungi Museum Neka, di Ubud, Bali, saya menghadiri pameran seni konseptual bertajuk ”Maladjustment” yang mencengangkan. Pameran ini berlangsung sampai 24 November 2019, menyandingkan tiga karya kreasi, tiga seniwati yang berbeda.

Pemrakarsa pameran ini adalah Arahmaiani, seorang seniwati ’performance’ Indonesia terkemuka. Karya I GAK Murniasih (almarhumah) dan Mary Lou Pavlovic, perupa Australia, turut dipamerkan dalam acara ini.

Karya ketiganya dirangkai sedemikian rupa agar seluruh pajangan mengungkap ’kutukan tubuh’ yang menghinggapi setiap perempuan. Hakikat ’masalah’ perempuan diungkap oleh Murniasih. Lukisannya menampilkan alat kelamin perempuan dari belakang: jadi kita dengan gamblang diberi tahu bahwa masalah pokok perempuan terletak pada tubuhnya dan cara tubuh itu ditanggapi.

Karya Pavlovic menggambarkan foto seorang perempuan yang wajahnya memar, jelas karena dipukul. Namun, dituliskan di atasnya kata ’liar’ yang menggandung dua arti. ’Liar’ di dalam bahasa Inggris berarti ’pembohong’. Perempuan yang dipukul ataupun diperkosa cenderung ditolak pengaduannya: dia dianggap bertanggung jawab, kalau tidak ’liar’, di dalam artian bahasa Indonesia.

Adapun karya Arahmaiani terdiri dari foto tampak depan dari dirinya sendiri, bertopi dokter dengan tanda palang merah. Ia memegang IUD di satu tangan dan gunting operasi di tangan lain.

Tersirat di sini bahwa kaum perempuan pun mempunyai andil di dalam segala tindakan yang mengintervensi dan merusak tubuhnya, dan secara tidak langsung, kaumnya.

Apa fungsi pameran seperti ini? Mengungkap secara gamblang problematik pokok kaum perempuan: perempuan terjebak oleh tubuhnya; baik pria maupun perempuan pertama-tama melihat perempuan sebagai tubuh.

Mengapa?

Tubuh adalah tanda kehadiran kita utama sebagai insan manusia. Tubuh bersifat rangkap. Ada tubuh biologis–sarana untuk memenuhi kebutuhan fisik agar bertahan hidup dan bereproduksi. Ada juga tubuh kultural, yaitu tubuh biologis sebagaimana ditempa oleh budaya dalam cara kita bergerak, berekspresi muka dan mata, menyapa, dan bahkan berpakaian.

Semuanya ini semula diinternalisasi tanpa disadari (Marcel Mauss). Proses ini tidak netral. Sedari kecil, tubuh kultural kita diadabkan sedemikian rupa agar mencerminkan ’hubungan kekuasaan’ (Foucault), lebih-lebih di dalam hal jender.

Lalu, ketika kita tumbuh dewasa, hubungan kekuasaan ini, yaitu patriarki, diimbuhi wacana moralis-religius yang menampilkannya sebagai kebenaran sosial tunggal. Patriarki itulah yang kemudian menentukan syarat akses pada tubuh biologis perempuan—menuju seks dan reproduksi—sembari mengonstruksi seluruh hierarki sosial.

Jadi, begitu perempuan lahir, budaya sudah menjeratnya dalam patriarki, mengesahkan modus dominasi atas tubuh biologisnya oleh kaum pria, dan menempa perilakunya.

Kalau perempuan menolak kondisi ’tradisionalnya’ dan menuntut otonomi atau kebebasan, nasibnya memburuk. Dia tidak lagi ’dilindungi’ oleh adab budaya patriarki, tetapi dikucilkan, termasuk oleh kaumnya sendiri, dan sering dikerasi pria: tubuhnya hanya dilihat sebagai tubuh yang tinggal diambil begitu saja. Singkatnya, perempuan terperangkap, baik secara alamiah maupun secara kultural.

Lingkaran setan patriarki di atas ini menjadi kenyataan sosial selama berabad-abad lamanya dengan aneka varian kultural. Hanya dapat dilampaui dalam situasi modernitas kapitalistis kontemporer. Dalam alam modern ini, kendati perempuan tak ayal tercerabut dari lingkungan ’protektif’ tradisionalnya, dia bisa mendapat otonomi ekonomi melalui pekerjaan dan otonomi pemikiran melalui pendidikan.

Mempertanyakan kondisinya, perempuan mampu melahirkan konsep emansipasi dan kemudian meminta agar hal ihwal tubuh dibersihkan dari segala bias patriarkis. Namun, perjuangan itu sulit dan kemajuan yang dicapai lamban.

Termasuk di Indonesia. Bisa jadi sistem hukum kian netral dan diskriminasi ekonomi kian kecil dalam kaitan jender. Akan tetapi, patriarki tetap bercokol di dalam hukum agama dan lebih-lebih dalam kuasa atas tubuh perempuan sebagaimana dijelaskan di atas.


Melihat situasi ini, amat diharapkan bahwa para politikus kian menyadari betapa patriarki meresapi perilaku kultural kita, dan tidak menggunakan RUU untuk menjebloskan kaum perempuan dalam kondisi yang dikutuk secara mengharukan oleh ketiga seniwati dalam pameran ini.  Semoga. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar