Pemilihan dan pengangkatan  Nadiem Makarim  sebagai  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sempat menuai kontroversi meski Presiden Joko Widodo punya alasan tersendiri.
Mengapa Nadiem ditunjuk sebagai Mendikbud yang bertugas mengelola pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi? Menurut Presiden, mengelola sekolah dan pelajar di Indonesia bukan pekerjaan ringan. Ada sekitar 300.000 sekolah, dari taman kanak-kanak sampai kampus dengan sekitar 50 juta pelajar yang tersebar di sekitar 17.000 pulau dan 514 kabupaten/kota di Indonesia, lihat Kompas online, 24 Oktober 2019, dalam ”Mengapa Nadiem Makarim Jadi Mendikbud?”
Pendidikan via teknologi
Presiden menambahkan bahwa hanya lewat teknologi, kualitas pendidikan yang sama dari satu wilayah ke wilayah lain dapat dicapai. Penggunaan internet,  artificial intelligence big data, dan lain-lain ke depan sangat diperlukan dalam pengelolaan pendidikan.  Nadiem, meski tak berlatar pedagogi, merupakan sosok yang tepat membereskan karut-marut di dunia pendidikan kita.
Apa yang bisa kita cermati dari pernyataan Presiden di atas? Pertama, Presiden ingin agar kualitas pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di seluruh Nusantara, berstandar sama. Kedua, untuk mendukung keinginan tersebut, Presiden ingin agar pendidikan di Indonesia memanfaatkan semua teknologi yang ada, khususnya yang berbasis teknologi informasi (TI).
Apa tujuan orangtua bekerja? Bagi kebanyakan warga masyarakat, secara sederhana, ada dua tujuan utama orangtua bekerja: memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan memperbaiki nasib anak-anaknya agar lebih baik daripada nasib orangtuanya saat ini.  Agar perbaikan nasib anak-anaknya terjadi, jalan yang paling masuk akal yang ditempuh para orangtua adalah dengan menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang paling tinggi. Harapan mereka: semakin tinggi pendidikan anak mereka, akan semakin tinggi pula peluang anak mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.
Jaminan kompetensi
Meski demikian, sampai sekarang ini harus kita akui bahwa belum ada jaminan apabila anak kita lulus SD, anak tersebut akan mempunyai kompetensi sesuai dengan lulusan SD. Kalau dia lulus SMP atau SMA, juga tidak ada jaminan bahwa dia mempunyai kompetensi sesuai dengan lulusan SMP dan SMA.
Di samping itu, yang menjadi masalah besar bagi bangsa kita adalah semua SD, SMP, dan SMA di seluruh Tanah Air sangat berbeda sekali kualitasnya satu sama lain. Akibatnya, persaingan anak-anak kita menjadi tidak adil. Anak-anak yang bersekolah di sekolah yang tak bermutu (biasanya terletak di daerah pinggiran) tidak sanggup bersaing dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah yang bermutu tinggi (biasanya terletak di perkotaan).
Itu tentu saja tidak boleh kita biarkan terus-menerus terjadi karena semua anak-anak ini adalah anak kandung negara kita yang harus dilindungi hak- hak mereka. Ke depan, anak- anak kita harus mempunyai kesempatan yang sama untuk maju. Semua anak-anak bangsa harus kita jamin mampu berprestasi dan ikut bersama-sama seluruh anak-anak Indonesia lainnya berjuang membela NKRI mati-matian.
Tanpa prestasi, maka tidak mungkin anak-anak tersebut diajak berjuang di zaman yang sangat ketat persaingannya ini. Kalau dulu orangtua kita berjuang dengan modal bambu runcing, keberanian, keikhlasan, dan kekompakan yang luar biasa, sekarang kita harus mempersiapkan anak-anak kita dengan kekuatan prestasi yang hebat dan merata untuk melakukan hal yang sama dalam membela bangsa dan negara.
Kalau komponen keadilan tidak menjadi perhatian kita, pada dasarnya kita sudah menzalimi anak kandung dari bangsa kita sendiri. Mengapa demikian? Karena setiap perlombaan, misalnya untuk masuk ke level sekolah yang lebih tinggi, masuk perguruan tinggi, menjadi calon pegawai negeri sipil, melamar kerja, dan seterusnya, menjadi perlombaan yang tidak adil.
Tanggung jawab bersama
Kita semua harus ingat bahwa pendidikan untuk anak bangsa ini adalah tanggung jawab negara dan kita semua. UUD 1945 menjamin semua warganya mereguk pendidikan yang bermutu secara adil. Semua sekolah milik negara harus dipastikan mempunyai mutu yang tinggi dan merata di seluruh Indonesia. Kalau ini belum bisa dipastikan, ujian apa pun atau perlombaan apa pun yang dibuat oleh negara akan berlangsung secara tidak fair.
Harus kita akui bahwa mencari pekerjaan semakin sulit saja bagi anak-anak kita karena pertumbuhan ekonomi yang kurang menggembirakan. Untuk meningkatkan peluang kerja bagi anak-anak bangsa kita, kita harus mengerjakan dua hal.
Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akan menambah lapangan kerja di dalam negeri.  Kedua, mendesain kurikulum yang mempersiapkan anak-anak kita menyerbu pasar luar negeri. Menurut saya, kita telah salah melangkah ketika Kurikulum 2013 telah memarjinalkan bahasa Inggris. Kita bisa bayangkan apa jadinya kalau Menteri Nadiem, misalnya, tidak paham bahasa Inggris. Apakah dia bisa sesukses sekarang ini? Saya yakin Nadiem hanya jadi ordinary person atau orang biasa saja. Kemampuannya di bidang teknologi informasi (TI) menjadi kurang bermanfaat karena dia tidak dapat berkolaborasi secara internasional. Juga kita yang, tanpa bahasa Inggris hebat, kemampuannya dalam belajar TI juga menjadi terhambat.
Kita semua berharap dan berdoa semoga Nadiem mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Tugasnya: melaksanakan pendidikan yang adil dan bermutu, serta mengantarkan anak bangsa memperoleh pekerjaan yang layak.
Syamsul Rizal ;  Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh