Selasa, 12 November 2019

30 Tahun Runtuhnya Tembok Berlin

30 Tahun Runtuhnya Tembok Berlin

Oleh :  PETER SCHOOF

KOMPAS, 12 November 2019


Tanggal 9 November lalu adalah hari istimewa untuk rakyat Jerman. Hari itu, 30 tahun lalu, Tembok Berlin yang terkenal diruntuh- kan oleh kekuatan rakyat (people power), membuka jalan untuk penyatuan Jerman.

Setelah pemisahan pahit selama 40 tahun, masyarakat Jerman dari kedua sisi Tirai Besi disatukan kembali, dan mereka yang kebebasan dan demokrasinya dibatasi di bawah pemerintahan komunis akhirnya terbebaskan.

Hari itu sungguh luar biasa dan penuh kebahagiaan. Kami yang menyaksikan langsung peristiwa ini tak akan pernah melupakan momen ajaib ini, ketika saudara sebangsa kami dari Berlin Timur dengan leluasa dan bahagia melintasi perbatasan keji yang telah sekian lama dibentengi dan, selama rentang waktu puluhan tahun, telah menjadi saksi kematian tragis banyak orang yang berupaya melintasinya dengan sia-sia.

Kami semua menyaksikan detik ketika kehendak rakyat akhirnya mampu melampaui tirani ini tanpa penembakan satu pun peluru dan tanpa hilangnya satu pun nyawa. Yang kami alami, sebuah revolusi damai dalam arti sepenuhnya, sudah sepatutnya dan selayaknya dianggap sebuah mukjizat sejarah. Penghargaan untuk revolusi damai ini tentunya, paling pertama dan utama, harus diberikan kepada saudara sebangsa kami dari Jerman Timur.

Dahaganya untuk kebebasan, keberanian dan kegigihannya, serta demonstrasinya yang bebas kekerasanlah yang meruntuhkan Tembok Berlin. Kemudian, penghargaan juga harus diberikan untuk tetangga di Eropa Tengah dan Timur, dari Hongaria, Polandia, Ceko, dan Slowakia. Hasrat menggebunya untuk meraih kebebasan telah mengubah total blok kediktatoran yang sebelumnya dikuasai Soviet.

Tanpa keberadaan Lech Walesa dan Paus Yohanes Paulus II, Vaclav Havel, serta pengusung kebebasan yang penuh keberanian lainnya, kami tak akan pernah menyaksikan gejolak kekuatan rakyat di Jerman. Mereka hanya sebagian dari sekian banyak nama lain yang tidak hanya merasakan tiupan ”angin perubahan”, tetapi juga turut membawa perubahan tersebut.

Meski demikian, tanpa dukungan kunci sejumlah pemimpin politik, belum tentu Tirai Besi dapat diturunkan dengan damai sebagaimana terjadi pada 9 November 1989. Hanya dua tahun sebelumnya, pada Juni 1987, Presiden AS Ronald Reagan memberikan pidato bersejarahnya di Berlin, menantang pemimpin Soviet: ”Tuan Gorbachev, runtuhkan tembok ini!” Yang dimaksud adalah Michail Gorbachev, yang memberikan peringatan kepada rezim Jerman Timur agar tidak melawan pergeseran paradigma yang bersejarah ini; tetapi mereka tidak mendengarkannya.

Presiden AS George HW Bush pun mendukung sejak dini sebuah visi akan Jerman yang bersatu kembali, berlandasan Uni Eropa dan Persekutuan Trans-Atlantik.

Memang benar, selepas turunnya Tirai Besi, penyatuan Jerman secara internal yang sesungguhnya merupakan tugas yang lebih berat dibandingkan perkiraan. Walaupun masalah politik, administrasi, dan organisasi bisa ditangani secara cepat dan presisi, tantangan ekonomi, dan lebih dari itu, rintangan psikologis terhadap penyatuan internal yang sejati butuh waktu dan usaha yang lebih besar daripada yang diduga.

Dan benar, kesalahan dan penilaian keliru ditemukan dalam upaya masif dan rumit ini. Yang jelas, terbawa oleh semangat revolusi, kami menyepelekan dampak dari sebuah pergeseran paradigma sosioekonomi yang cepat dan disruptif terhadap persepsi diri banyak orang dari Jerman Timur. Mereka yang berusia lebih lanjut dengan karier profesional yang matang mengalami kesulitan beradaptasi dengan ekonomi pasar yang terbuka sekaligus kompetitif.

Hingga saat ini, saudara sebangsa kami dari Jerman Timur menyesalkan bahwa kesulitan hidup mereka di bawah kediktatoran komunis—yang penuh kesukaran dan tantangan—adakalanya tak terlalu dihargai. Walau masih terdapat pandangan kritis dari kompatriot kami terhadap tugas yang tersisa ke depannya, tak dapat disangkal 9 November 1989 adalah salah satu—kalau bukan satu-satunya—hari terbahagia dalam sejarah Jerman, dan reunifikasi telah mampu merekonsiliasi Jerman setelah pemisahan menyakitkan yang berlangsung puluhan tahun.

Pelajaran penting

Beberapa orang mungkin mempertanyakan, mengapa 9 November tidak ditetapkan sebagai Hari Nasional Jerman? Mengapa kami justru memilih 3 Oktober, tanggal reunifikasi resmi kami pada 1990? Penyebabnya, 9 November bukan hanya hari peringatan turunnya Tirai Besi. Pada hari yang sama, tahun 1938, rezim Nazi yang biadab melangsungkan pembunuhan terencana berskala besar yang pertama terhadap populasi Yahudi di Jerman—ratusan Yahudi Jerman dibunuh, puluhan ribu dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi, ribuan toko orang Yahudi dijarah, dan banyak rumah ibadah Yahudi dibakar.

Seluruh tindakan ini bagian dari strategi keji pembunuhan massal yang mengakibatkan tragedi Holocaust, yang bertanggung jawab atas kematian enam juta orang Yahudi. Oleh karena itu, 9 November juga hari untuk mengingat kejahatan di luar akal sehat yang ditimbulkan Holocaust dan anti-semitisme.

Bagi kami rakyat Jerman, 9 November telah menjadi hari yang memiliki makna sejarah dan moral luar biasa, tanggal yang mengajari kami sejumlah pelajaran penting. Hari itu mengingatkan kami bahwa, bersama dengan kegembiraan dari kebebasan dan penyatuan, terdapat tanggung jawab untuk tetap memiliki kesadaran dan tak pernah melupakan. Hari itu mengingatkan rakyat Jerman atas kewajiban politik untuk selalu membela martabat dan kebebasan umat manusia, di mana pun mereka diancam atau dipersekusi, dan untuk melawan intoleransi, chauvinisme, xenofobia, anti-semitisme, dan segala bentuk diskriminasi etnis atau agama lainnya.

Akan tetapi, mukjizat sejarah 1989 juga memberi kami pelajaran tentang optimisme dan kerendahan hati. Sejarah umat manusia tak mengikuti aturan dan hukum yang ditetapkan para ideolog. Sekokoh apa pun berdirinya sebuah kediktatoran, dan sekuat apa pun pemerintahannya terlihat, kebebasan dan HAM tak dapat dikekang dan ditelantarkan selamanya, dan perubahan historis dapat hadir di saat dan tempat tak terduga. Pada akhirnya, manusialah yang menciptakan sejarah, bukan teori abstrak. Mengingat kembali tirani yang telah dilampaui, kami bersatu dalam merayakan kebebasan dan mempersiapkan diri membela pencapaian revolusi damai, kebebasan, demokrasi sejati, dan supremasi hukum. ***


Peter Schoof,  Duta Besar Republik Federal Jerman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar