Sabtu, 16 November 2019

Keseimbangan Negara-Masyarakat

PEMIKIRAN POLITIK
Keseimbangan Negara-Masyarakat

Oleh :  KOMARUDDIN HIDAYAT

KOMPAS, 16 November 2019


Setelah berhasil menerbitkan Why Nations Failed (2013), Daron Acemoglu & James A Robinson menerbitkan buku terbarunya The Narrow Corridor (2019).

Pemikirannya menarik disimak untuk membaca perkembangan politik kenegaraan Indonesia yang begitu dinamis, sebuah pergulatan sejarah untuk meraih  keseimbangan antara: negara, masyarakat, dan kebebasan warganya. Sejarah bangsa selalu menghadapi turbulensi politik, akibat ayunan pendulum yang kontradiktif, antara tuntutan kebebasan warganya dan kebutuhan institusi negara yang kuat. Keduanya sering tak mudah disinkronkan.

Sebelum muncul institusi ”negara” (state), masyarakat tetap memerlukan keteraturan hidup dan rasa aman. Maka bermunculan tatanan sosial yang bersifat hierarkis, yang dikendalikan orang kuat dan karismatik, diperkuat baik oleh sentimen etnis maupun agama. Struktur sosial seperti ini oleh Acemoglu disebut cage of norms.

Problem yang dihadapi Pemerintah Afghanistan hari-hari ini salah satunya adalah kekuatan komunalisme eksklusif seperti Pashtuns dan kelompok lain yang eksistensinya bagaikan negara dalam negara sehingga sulit menciptakan perdamaian nasional. Komunitas Pashtuns sangat setia memegang aturan oleh hukum dan tradisi lokal yang sangat ketat, yang sebagian diambil dari agama yang mereka pahami.

Posisi perempuan sangat terbelakang, seakan sekadar pelengkap kaum laki-laki. Menurut Acemoglu, komunitas yang terkurung dalam cage of norms ini masih kuat di sejumlah negara Afrika.

Kemunculan ”Leviathan”

Adalah Thomas Hobbes (1588-1679) seorang pemikir Inggris yang mewariskan salah satu karyanya yang monumental berjudul Leviathan. Dia lahir dan tumbuh dalam suasana perang sehingga merasa hidupnya  dibayangi oleh rasa takut yang mencekam akibat perang di Eropa waktu itu. Melihat suasana kacau dan saling terkam, dia sampai pada sebuah kesimpulan manusia itu pada dasarnya serigala bagi yang lain.

Homo homini lopus. Siapa yang kuat akan menerkam yang lemah. Perang adalah kondisi permanen manusia, sedangkan damai hanyalah situasi interval ketika setiap pihak memiliki kekuatan yang seimbang untuk menghancurkan yang lain sehingga pertimbangan rasionalnya mereka memilih damai, tepatnya gencatan senjata, ketimbang sama-sama hancur.

Menyadari kecenderungan dasar manusia bagaikan serigala bagi yang lain, menurut Hobbes, rakyat memerlukan negara kuat untuk menjamin keamanan mereka sekalipun dengan imbalan menyerahkan kebebasannya pada negara agar terhindar dari ancaman dan perang yang mengerikan.

Karena Leviathan sangat menekankan keamanan yang merampas kebebasan warganya, sesungguhnya Leviathan tak ubahnya sebuah monster. Celakanya, pengendali kekuasaan negara menikmati self-glory di atas ketakutan rakyat yang sengaja dipelihara. Pemerintahan Korea Utara mungkin mendekati model ini.

Sejak revolusi Perancis (1789-1799) yang memperjuangkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) pemerintahan monarki absolut di Eropa bertumbangan diterjang gerakan demokratisasi. Rakyat merayakan kebebasan dari berbagai gagasan dan kekuatan yang membelenggu. Kekuasaan gereja yang semula mengatasnamakan suara dan kehendak Tuhan mendapat perlawanan.

”Jika orang masih mengakui kekuasaan di luar manusia, yaitu Tuhan, berarti mereka belum menjadi orang yang terbebaskan,” kata Sartre. Oleh karena itu, dalam mengendalikan sebuah pemerintahan dan negara, Tuhan dan agama  jangan disertakan karena akan mengajak pada sikap absolutistik yang menindas kebebasan manusia.

Jika negara terlalu kuat dan serba mengancam kebebasan warganya, ia menggali kuburannya sendiri. Rakyat yang semula apatis dan merasa tertekan pada urutannya akan terkonsolidasi dan mengeras menjadi gelombang perlawanan. Namun, sebaliknya, rakyat yang terlalu bebas dan tak mematuhi rambu-rambu etika dan hukum juga akan membuat negara, pemerintahan dan masyarakat lemah, tak akan mampu melaksanakan agenda pembangunan.

Kita punya pengalaman pahit semasa Orde Baru yang gagal menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dan kebebasan masyarakat. Demokrasi terpimpin sesungguhnya gagasan genius dan realistis bagi masyarakat Indonesia yang sangat besar dan majemuk.

Ada ruang bersama antara negara dan masyarakat untuk membicarakan agenda bangsa. Akan tetapi, pemerintah Orde Baru tak memberi ruang cukup bagi masyarakat serta  gagal mempertahankan prestasinya menjaga birokrasi yang wibawa, bersih dan melayani sehingga ibarat kereta api, deru pembangunan yang tengah melaju cepat tiba-tiba berhenti mendadak.

Berbagai gerbong dan komponennya pada kendur dan lepas berantakan. Bagasinya tumpah ke mana-mana. Kita mengalami turbulensi dan disrupsi politik yang menjungkirbalikkan kehidupan bernegara yang memerlukan waktu minimal satu generasi untuk menemukan kembali keseimbangan baru.

Ormas dan godaan kekuasaan

Kemunculan reformasi dan kebijakan baru yang ditempuh ditandai dengan semangat kritik dan antitesis terhadap kebijakan dan budaya politik Orde Baru. Undang-undang desentralisasi kekuasaan, pembatasan masa jabatan presiden, multipartai dan kebebasan pers, kesemuanya itu merupakan pendulum antitesis dari  budaya politik Orde Baru. Dari semua itu yang paling sukses adalah terciptanya kebebasan pers dan pembatasan masa jabatan presiden.

Kebebasan tidak datang secara alami melainkan mesti diperjuangkan. Dalam bahasa pesantren: alhurriyyah tuthlab, la tu’tha. Kemerdekaan itu dicari, bukannya diberikan. Yang alami justru kekuasaan itu cenderung menindas dan korup. Makanya, jalan kebebasan atau kemerdekaan itu kalau tidak diperjuangkan dan dikawal oleh masyarakat akan menyempit, seperti tersirat dalam judul buku: The Narrow Corridor.

Di Indonesia peran ormas itu sangat instrumental untuk mengimbangi kekuatan negara. Dua ormas besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mesti menyadari peran sejarah dan politiknya untuk menjinakkan Leviathan agar kekuatan sipil tidak lumpuh di hadapan negara yang cenderung hegemonik.

Terlebih saat ini ketika partai politik juga tersedot ke dalam jejaring kekuasaan negara, maka dua ormas di atas bersama ormas lain dan jajaran intelektual independen mesti tampil sebagai penyeimbang secara tegas dan kritis untuk menjaga keseimbangan antara negara dan masyarakat. Bagi ormas memang ini sebuah godaan terlebih lagi ketika mereka memiliki saham suara yang banyak dalam memenangkan pertarungan pilpres.

Menurut Acemoglu dan Robinson, pengalaman panjang negara Amerika Serikat (AS) memberikan contoh kisah sukses (success story) bagaimana keseimbangan antara negara dan masyarakat itu dibangun dan dijaga.

Pilar-pilar bernegara kuat, sedangkan warganya yang secara etnis dan agama sangat plural memiliki kebebasan untuk mengkritisi pemerintahannya dengan tetap menghargai etika dan kaidah hukum serta loyal pada cita-cita besar AS. Bahkan, partai oposisi telah menjadi bagian integral dari kehidupan politik di AS yang dilestarikan. Mereka bisa bertengkar sengit, tetapi keduanya tetap setia memperjuangkan kepentingan negara dan warganya di atas kepentingan partai.

Acemoglu juga membahas eksperimentasi Nabi Muhammad dalam mendamaikan konflik di Madinah  dengan tawaran kontrak sosial untuk mengakomodasi pluralitas suku dan agama, yang dikenal dengan Piagam Madinah.

Nabi Muhammad melakukan politik detribalisasi, digantikan konsensus sosial, sebuah gagasan yang jauh mendahului  Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) tentang general will dan social contract. Namun, sayang, eksperimentasi Nabi Muhammad yang sangat modern mendahului zamannya ini terkubur oleh kebangkitan kekuatan sukuisme di dunia Arab tak lama setelah beliau wafat.

Piagam Madinah ini mirip ideologi Pancasila, sebuah kalimatun sawa, atau common denominator yang menjadi titik temu dari beragam suku, agama, dan budaya, juga mencakup formula keseimbangan negara-masyarakat dalam rumah tunggal Indonesia.


(Komaruddin Hidayat, Pembina Yayasan Pendidikan Madania Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar