PERINGKAT UNIVERSITAS
Membangun Reputasi Universitas
Pemeringkatan universitas sedunia dilakukan sejak Shanghai Jiatong World University Ranking memulainya berdasar data kinerja akademis universitas, sejak tahun 2005.
Setelah itu, muncul QS/THE yang kemudian berubah menjadi dua perusahaan yang bersaing di bidang pemeringkatan, yang jadi model dan rujukan dunia tentang peringkat universitas.
Sama seperti peringkat siswa di kelas, kata-kata “ranking” selalu jadi kontroversi. UNESCO mengadakan konferensi dunia tentang kegunaan dan penyalahgunaan kata peringkat universitas di Paris tahun 2012. Di sana hadir Jamil Salmi, ahli UNESCO yang membuat definisi bahwa Universitas Berkelas Dunia harus memiliki tiga hal: sumber daya berkelimpahan, konsentrasi orang-orang berbakat, dan administrasi yang baik (good governance).
Selain itu juga hadir Jan Sadlak, pensiunan pejabat UNESCO yang mendirikan Pengamat Group Tim Ahli Pemeringkatan Universitas Internasional pada 2006 yang berkantor di Warsawa, Polandia.
Saat itu, UI GreenMetric —sebuah program Universitas Indonesia yang sudah berlangsung 10 tahun, yang memeringkat universitas berdasar kondisi infrastruktur dan keberlanjutan (sustainability)— juga mulai disebut wartawan New York Times yang mewawancarai saat itu, yang menyatakan pemeringkatan universitas dapat dipakai untuk menjadikan universitas lebih baik.
Kata-kata pemeringkatan ternyata kemudian jadi penggerak arah pengembangan universitas di berbagai negara. Indikator yang didefinisikan, perlahan jadi sasaran pencapaian yang dimonitor dari waktu ke waktu.
Misalnya, karena jadi indikator peringkat QS maka jumlah publikasi yang terindeks di Scopus, jumlah makalah yang disitasi, jumlah dosen S3, mobilitas dosen dan mahasiswa ke dalam dan keluar negeri, serta data reputasi yang merupakan hasil voting, jadi acuan yang diupayakan ditingkatkan.
THE juga menambahkan data-data pendapatan yang didapat dari industri sebagai indikatornya. Semua pihak berupaya meningkatkan posisi universitasnya. Pemerintah Indonesia melalui Kemenristekdikti juga telah melakukan berbagai upaya untuk menjadikan lima universitas di Indonesia masuk Top 500 besar universitas sedunia.
Peringkat versi QS diambil sebagai acuan, karena saat ini sudah tiga besar universitas yang masuk: UI, ITB, UGM. Selain itu klasterisasi atau klasifikasi universitas menjadi klaster 1-4, dilakukan berdasarkan berbagai kriteria utama dan input, proses serta output yang diraih.
Di sinilah kata-kata “REPUTASI” muncul. Dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi seluruh pencapaian tahunan harus masuk dalam catatan statistik yang dapat diperbandingkan. Kriteria dan cara pengukuran semakin disosialisasikan.
Secara internasional, semakin banyak anak bangsa dengan karya-karya terbaiknya muncul di dunia internasional, semakin banyak anak bangsa yang bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan peneliti lainnya di seluruh dunia, maka makin baik reputasi Indonesia.
Reputasi dapat dibangun dengan kerja keras seluruh komponen universitas setiap hari, dalam memikirkan bagaimana ilmu pengetahuan dapat dikembangkan, menuliskannya dalam wacana ilmiah sehingga setiap kondisi dapat direplikasi dan produk atau data yang dicapai dapat menjadi pijakan bagi peneliti berikutnya yang akan melakukan kegiatan lain.
Semuanya harus terdokumentasi dengan rapi dan dapat masukan perbaikan oleh teman sejawat untuk kemudian dipublikasikan di konferensi internasional atau jurnal internasional. Dari sana akan terlihat kontribusi yang telah dilakukan, kepemimpinan dalam suatu topik penelitian, dan pendapat yang diberikan peneliti lain tentang peneliti/dosen di suatu negara. Ini semua tanpa tapal batas.
Dunia kita yang kini disebut berbasis teknologi 4.0 ini dibangun oleh banyak pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa. Di dunia pemeringkatan terdapat Webometric dari CSIC Spanyol yang memberikan peringkat berdasar eksistensi suatu universitas di internet. Secara konsisten dari 2007 secara terus-menerus Isidro Aguillo dan timnya memeringkat universitas berdasar jumlah file yang disediakannya di internet, hasil penelitian, presensi dan kemudahan akses informasi. Semuanya bermuara pada demokratisasi ilmu pengetahuan dan sumber terbuka.
Dunia baru berdasar analisa data
Pada saat yang sama dunia diguncangkan oleh berita perlunya hak atas data (Data Right) sebagai hak asasi manusia (Human Right). Telah terbuka cerita bahwa Facebook dan Cambridge Analytics telah melakukan berbagai upaya untuk menambang informasi.
Di sisi lain dunia yang demokratis dengan kebebasan berpendapat telah digunakan sebagian orang untuk dapat kekuasaan dan mengatur masa depan dunia.
Film The Great Hack (September 2019) telah memperlihatkan bagaimana pemilu di AS, Brexit di Inggris, dan pemilu di berbagai negara telah diatur dari data preferensi yang dimiliki dari ribuan titik data dan catatan transaksi tiap orang di seluruh dunia. Data ini memperlihatkan bahwa terdapat jurang yang dalam antara pemikiran akademis yang berdasar fakta dan analisa, dengan pemikiran yang dapat diarahkan karena berbagai kepentingan.
Di luar semua itu, 4.000 lebih perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Nusantara terus melakukan berbagai upaya agar lulusan yang dihasilkannya dapat menjadi motor pembangunan.
Sebagai tulang punggung pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan, kadang perguruan tinggi ini dapat berkaca pada data statistik yang diumumkan Kemenristekdikti untuk klasterisasi universitas se-Indonesia. Kemajuan dapat tercermin dari data rapi yang dikumpulkan komponen universitas. Perbaikan terus-menerus untuk naik kelas, tingkatan dan kluster perlu untuk dimengerti seluruh civitas akademika.
Pemerintah Indonesia, melalui Kemenristekdikti telah berupaya meningkatkan reputasi universitas di Indonesia, agar terdengar di dunia internasional. Dengan program World Class University, berbagai upaya telah dilakukan. Tri Dharma perguruan tinggi berdasar pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat perlu dibuat berdasar kondisi bangsa dan standar dunia.
Keterlibatan di masyarakat
Di dunia, universitas selalu diupayakan untuk tak berjarak dengan masyarakat melalui program community engagement-nya. Namun sejak mulainya kenaikan uang kuliah, misalnya di Inggris sejak 2009, telah terjadi polarisasi di masyarakat, bahwa pendidikan tinggi itu mahal. Di Indonesia juga sejak 2010 muncul program Bidik Misi, yang merupakan program beasiswa untuk meningkatkan akses warga kurang mampu ke universitas.
Sebagai reaksi atas munculnya jarak universitas dengan masyarakat, muncullah gerakan menulis populer dalam tajuk global, “THE Conversation” dibanyak negara, mulai dari Australia, Inggris hingga Indonesia. Profesor Sir Paul Curran, rektor City University of London adalah salah satu pendiri THE Conversation Inggris yang setiap hari memunculkan lebih dari 15 tulisan terpercaya dari kalangan ilmuwan dan pengamat.
Tulisan ini jadi contoh tanggung jawab sosial universitas di masyarakat. Tulisan yang ditampilkan itu kemudian menjadi bahan acuan media arus utama besok harinya. Sementara itu, THE Conversation Indonesia mulai diluncurkan tahun 2018.
Sir Paul Curran dalam konferensi “Membangun Reputasi Universitas” di Piura, Peru, awal Oktober 2019, mengomentari bahwa GreenMetric Ranking dari UI adalah upaya membangun reputasi universitas dan membangun citra sebagai pemimpin gerakan kampus hijau universitas dunia. Jaringan UI GreenMetric World University Ranking yang dipelopori UI sejak 10 tahun lalu adalah contoh yang baik dari upaya membangun reputasi universitas dengan anggota 719 universitas dari 81 negara.
Saat ini tak banyak ilmuwan Indonesia yang terdengar kiprahnya. Suasananya senyap. Tak banyak media yang mengangkat pencapaian yang telah diraih dalam kondisi dengan kesulitan tinggi yang harus dilalui hampir seperti akrobat bagi para ilmuwan kampus Indonesia.
Sederhananya, beberapa teman profesor Indonesia yang muncul di Wikipedia, disebut jelas dengan titel “Guru”. Tak ada yang pernah protes. Karena guru kini menjadi kata yang mulia “Sumber Ilmu Pengetahuan”. Bahkan di Laos, kata “Guru” menjadi sebutan bagi internet, yang tak pernah kering memberi ilmu pengetahuan.
Peringkat UI GreenMetric
Masalah dunia sekarang begitu kompleksnya dengan perubahan iklim, kekurangan energi, kekurangan air, kekurangan makanan, dan berbagai masalah rumit lainnya, yang perlu ditinjau dari hubungan manusia dan planet Bumi. UI GreenMetric adalah satu-satunya pemeringkatan dunia yang menjadikan hal ini penting.
Rekognisi datang dari berbagai pihak bagi UI GreenMetric. Di situs pemantauan perubahan iklim Universitas ESPOCH, 1 Oktober 2019, di titik pendakian sebelum pendaki gunung memanjat Gunung bersalju Chimborazo (titik terjauh jaraknya dari pusat Bumi, karena berada di Khatulistiwa), tim peneliti Universitas ESPOCH yang diminta rektornya untuk mengantar tim UI GreenMetric, dengan semangat ingin memperlihatkan pencapaiannya pada indikator nomor 6 UI GreenMetric yaitu penelitian untuk mengatasi perubahan iklim dunia.
Perubahan iklim adalah salah satu hal yang menjadi tantangan bersama warga dunia, terlihat jelas di Gunung Chimborazo yang esnya kian menipis. Di Peru, fenomena El Nino memberikan dampak pada kota Piura yang sudah dekat ke daerah gurun.
UI GreenMetric di tahun kesepuluh keberadaannya telah menjadi model kerangka kerja sama untuk meningkatkan kualitas infrastruktur kampus dan menjadikannya tempat terindah bagi suasana kondusif pertemuan antara pemikir terbaik bangsa dan generasi penerusnya. Puluhan negara mengundang tim ahli UI GreenMetric untuk berbicara di forum rektor dan wakil rektor negaranya untuk memahami standar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan GreenMetric.
Tahun 2019 ini saja, tim ahli UI GreenMetric telah diundang untuk menjadi pembicara utama acara UI di Irlandia, Taiwan, Kolombia, Brasil, Rusia, Kazakhstan, Lebanon, Turki, Siprus, Tunisia, Ekuador, Peru. Rekognisi yang tak diterima pemeringkat universitas sedunia seperti QS, THE, atau Shanghai Jiatong ARWU, yang lebih kurang menggunakan model prinsip komersial.
Hal ini berbeda dengan UI GreenMetric yang berdasar prinsip berbagi pembiayaan untuk kegiatan belajar bersama antar universitas, demi kemajuan bersama menjadi universitas yang lebih hijau.
Tak hanya di Amerika Latin; di Malaysia, Kantor Berita Bernama mengumumkan rektor baru Universitas Sains Malaysia. Dengan bangga wartawan Malaysia melaporkan panjang lebar pencapaian rektor baru mereka. Di antaranya membawa Universitas Malaya menjadi nomor satu di bidang penanganan sampah dan air, menurut versi GreenMetric UI.
Beberapa hal tadi membuktikan, gerakan inisiasi internasional yang datang dari Indonesia, bisa menjadi standar dunia. Wacana mencari rektor impor dari luar negeri adalah wacana yang terbuka, karena prinsip kesetaraan dengan harapan mereka dapat menjadi kawan tanding.
Di lain pihak, banyak masyarakat akademik Indonesia yang sudah pernah dapat pendidikan di universitas-universitas terbaik di luar negeri. Mereka kini tersebar di berbagai universitas di Nusantara, dan siap meneruskan tongkat estafet pelaksanaan pendidikan berkualitas di Indonesia.
Negara dan bangsa kita layak untuk mendapat tempat terhormat di antara bangsa-bangsa dunia jika pencapaian yang diraih seluruh komponen bangsa menjadi catatan dan contoh dari anak bangsa yang akan mengayuh biduk berbangsa dan bernegara selanjutnya.
(Riri Fitri Sari ; Guru Besar Teknik Komputer di FTUI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar