Istilah ”jebakan kelas menengah” kembali muncul dalam paragraf pertama pidato pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024.
Presiden Jokowi telah mencanangkan visi kemakmuran dengan target bersama nilai produk domestik bruto (PDB) per kapita mencapai Rp 320 juta per tahun ketika perayaan 100 tahun kemerdekaan RI. Angka PDB per kapita ini melonjak dari kisaran Rp 56 juta saat ini. Pada saat itu PDB nasional diharapkan melonjak menjadi 7 triliun dollar AS, dari 1 triliun dollar AS saat ini dan angka kemiskinan mendekati nol persen sehingga menjadikan Indonesia masuk lima besar ekonomi dunia.
Ketika memperkenalkan Kabinet Indonesia Maju, Presiden menyampaikan kepada masyarakat misi utama yang harus diemban setiap anggota kabinet agar visi dan target itu tercapai. Bahkan, untuk menjamin pencapaiannya, pada bagian akhir perkenalan Presiden menegaskan tujuh perintah dalam bekerja untuk ditaati anggota kabinet.
Tantangan berat pasca-”booming” komoditas
Berdasarkan rumus bunga berganda (compounded interest rate), untuk memacu PDB membesar tujuh kali lipat selama periode 25 tahun mendatang, butuh laju pertumbuhan 8,1 persen per tahun. Angka laju pertumbuhan dalam mata uang dollar AS ini tentunya sangat menantang di tengah perlambatan ekonomi dunia yang melandasi berakhirnya super-booming komoditas. Padahal, kenaikan harga komoditas primer inilah yang banyak membantu Indonesia keluar dari krisis moneter 1998.
Berakhirnya era booming komoditas merupakan dampak proses pengurangan utang (deleveraging) yang terjadi ketika penduduk di negara maju menua. Untuk mempermudah proses deleveraging ini, The Fed dan Bank Sentral Eropa (ECB) tampak kembali mengikuti strategi Bank of Japan (BoJ) yang menerapkan kebijakan moneter ultra-longgar dengan membeli surat berharga negara (SBN) dalam proporsi yang sangat besar. Saat ini BoJ menguasai sekitar 45 persen SBN, jauh melebih ECB (22,4 persen) dan The Fed (12,9 persen).
Kelebihan likuiditas yang diciptakan lewat aksi quantitative easing ini bakal menjaga suku bunga rendah lebih lama yang cenderung tak memicu inflasi, tetapi lebih memicu gejolak mata uang (currency war) yang mewarnai kebijakan proteksionisme di samping memacu kenaikan harga aset (reflation) seperti yang saat ini terjadi pada emas, bitcoin, hingga surat berharga di negara berkembang.
Tantangan kita menjadi semakin pelik mengingat sejak 2012 kita mengalami defisit neraca berjalan yang harus dibiayai dengan penerbitan utang. Hal ini terpaksa ditempuh mengingat kini tak banyak lagi aset negara yang dapat diprivatisasi untuk pembiayaan defisit seperti yang kita lakukan saat menghadapi krisis moneter 1998. Defisit neraca berjalan itu sendiri menunjukkan kita tak punya masalah dalam memacu pertumbuhan dalam jangka pendek. Maklum saja penduduk kita terbilang muda dan proses urbanisasi masih berlanjut. Hal yang menjadi tantangan adalah pembiayaan defisit melalui penerbitan utang yang berisiko mengancam keberlanjutan kemakmuran selain menjadi faktor yang secara fundamental melemahkan rupiah.
Karena itu, akan lebih dewasa jika kita jujur menghayati bahwa defisit neraca berjalan yang berkelanjutan sebagai cerminan bangsa kita yang kurang kompetitif dan produktif. Kita jelas membutuhkan mesin pendorong ekonomi baru melalui ekspor penghasil valas nonkomoditas primer, seperti aneka manufaktur, hasil olah tambang, repatriasi tenaga kerja terampil, dan pariwisata.
Jika menyaksikan bukti apa yang Nabi Yusuf lakukan dan sarankan, kisahnya patut menjadi inspirasi paradigma kemakmuran semesta yang tepat diikuti oleh negara, perusahaan, hingga masyarakat. Nabi Yusuf tidak hanya mampu menerjemahkan mimpi (baca: visi) raja terkait sapi kurus yang memakan sapi gemuk sebagai pergiliran masa malang setelah gemilang. Nabi Yusuf juga memberikan saran pamungkas untuk menyikapi siklus kehidupan tersebut.
Pada versi Kejadian 41, raja bermimpi tujuh sapi kurus dan gemuk serta tangkai gandum kopong dan bernas ”keluar” dari Sungai Nil. Sangat bisa jadi Nabi Yusuf menyimpulkan sesungguhnya Sungai Nil inilah yang menyebabkan pergiliran kemakmuran. Sungai Nil yang dibentuk oleh aliran ”blue nile” dari Etiopia dan ”white nile” dari kawasan Tanzania merupakan sungai yang tidak stabil dan sering berbelok arah.
Daerah yang tak dialiri jadi kering sehingga mematikan kehidupan, sementara daerah yang berlebihan dialiri menjadi banjir yang berisiko menghancurkan panen. Itu sebabnya, Nabi Yusuf membangun kanal dan bendungan sebagai sarana pengendalian banjir sekaligus irigasi. Hingga kini infrastruktur kuno penunjang produktivitas dan kemakmuran ini masih terdapat di kota Fayyum di negeri Mesir.
Dalam dunia modern, ihwal negara mengelola aset bangsa untuk kemakmuran dikenal sebagai sovereign wealth fund (SWF). Malaysia punya Khazanah dan Singapura ada Temasek, sementara China punya China Investment Corporation (CIC) yang gencar berinvestasi menuju mancanegara. SWF terbesar dimiliki Arab Saudi yang bersumber pada penerimaan produksi minyak mentah. Dengan potensi sumber daya alam seperti hutan, minyak, batubara, gas, lahan perkebunan, dan samudra, Indonesia semestinya juga memiliki SWF.
Saran Nabi Yusuf memberi inspirasi untuk merancang konstelasi kebijakan makroekonomi terbaik menghadapi siklus bisnis dan sebagai panduan perencanaan kemakmuran melalui investasi sepanjang hayat (life-cycle investment).
Dapat dicermati saran pertama Nabi Yusuf di atas mengacu kepada reformasi struktural yang sangat menekankan pada penguasaan teknologi pertanian dengan tujuan meningkatkan produktivitas. Saran kedua melandasi penguasaan teknologi pascapanen dan penguatan sektor manufaktur yang menjamin limpahan panen tetap awet dengan peningkatan nilai tambah. Cabai akan cepat busuk jika telah dipetik dari tangkainya. Cabai dapat diawetkan menjadi bubuk atau cairan cabai seperti halnya produksi susu bisa diawetkan dan ditingkatkan nilai gizinya menjadi keju, yogurt, dan kefir.
Sementara saran ketiga, dalam kerangka Keynesian Economics, bersesuaian dengan pengendalian konsumsi domestik (demand management). Keberanian kita berhemat memungkinkan limpahan hasil panen dengan kualitas terbaik ditujukan untuk pasar ekspor yang penting untuk mengembalikan neraca berjalan menjadi surplus.
Perencana kemakmuran tak hanya mencerdasi mimpi sapi kurus dan gemuk sebagai fenomena siklus bisnis yang silih bergilir dalam periode lima hingga tujuh tahun seperti umumnya dihayati para ekonom. Sangat boleh jadi angka tujuh menyimbolkan periode yang lebih panjang. Hidup terasa getir apabila memasuki masa pensiun dengan hanya memiliki seekor sapi kurus yang mau mati. Lebih susah lagi jika yang bersangkutan memiliki beban utang (debt embiters your death) dan masalah kesehatan (”sadikin”, sakit dikit miskin).
Kemalangan seperti ini harus kita antisipasi. Apalagi laporan Bank Dunia untuk Indonesia tahun 2014 ”Avoiding The Trap” mengingatkan penduduk Indonesia mulai menua tahun 2030. Ketika pensiun dan menua, penopang belanja tak lagi dari pendapatan, tetapi dari imbal hasil dan peluruhan aset.
Beban demografi menua
Agar menjadi perhatian kita bersama, mari hitung berapa nilai aset yang dibutuhkan Generasi X yang pensiun dalam periode 10 tahun mendatang. Dengan acuan PDB per kapita negara kaya 12.000 dollar AS per tahun, asumsi kurs rupiah Rp 20.000 per dollar AS dan harapan hidup setelah pensiun hingga wafat selama 20 tahun, diperlukan aset senilai Rp 4,8 miliar (12.000 x 20.000 x 20). Untuk kebanyakan anggota masyarakat, terutama yang terbiasa menabung, target nilai aset di atas dianggap mencengangkan (intimidating). Namun, yang jelas risiko ”tuwir sebelum tajir” sesungguhnya sangat besar.
Memiliki target aset untuk kemakmuran ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih gegas, baru semacam kondisi perlu (necessary condition) untuk mencegah jebakan pendapatan menengah. Kondisi memadai (sufficient condition) menuntut penguatan literasi keuangan dalam mengelola berbagai jenis aset. Kita harus jujur belajar atas kekeliruan kita semasa booming komoditas, yakni ketika tambahan pendapatan digunakan dengan boros untuk membeli kendaraan bermotor. Selain memicu kemacetan dan merusak kelestarian lingkungan, lonjakan kepemilikan kendaraan itu telah menjebak neraca minyak jadi defisit. Sejak 2004, kita tak lagi terbilang negara OPEC karena produksi minyak mentah hanya mencukupi separuh kebutuhan konsumsi.
Strategi investasi sepanjang hayat (life-cycle investment) mengacu kepada keputusan alokasi investasi berkala membayar masa depan (pay yourself first) dan aturan lokasi aset bertahap yang meliputi fase growth, protection, and distribution.
Fase growth terutama ditempuh dengan mengalokasikan sebagian pendapatan gaji bulanan untuk secara berkala memperkuat talenta manusiawi dan pemilikan aset properti serta reksadana saham yang dalam jangka panjang lebih menjanjikan pertumbuhan. Individu dapat menerapkan acuan alokasi aset bertumbuh (100-umur). Generasi milenial berusia 26 tahun yang mulai bekerja disarankan memiliki 74 persen dalam aset properti melalui cicilan KPR dan reksadana saham. Beban cicilan pokok dan bunga harus dijaga agar tak melebihi 30 persen pendapatan bulanan.
Seiring mendekati usia pensiun, alokasi aset berisiko di atas dikurangi dengan penempatan lebih banyak pada SBN untuk tujuan proteksi, terutama atas risiko gagal bayar (credit risk), risiko inflasi, dan risiko likuiditas. Tak banyak yang tahu bahwa SBN merupakan pilihan aset investasi yang high return dan low risk. Sepanjang 2019, kinerja aset SBN mencapai 14 persen atau jauh melebihi saham yang hanya berkisar 3 persen.
Tahapan terakhir berupa distribusi didominasi oleh pengelolaan arus kas (cash management) di mana manfaat aset seluruhnya diluruhkan selama pensiun hingga meninggal. Dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan, pemerintah dapat belajar dari pengalaman Singapura dan China yang berhasil melakukan sosialisasi tabungan paksa baik untuk perumahan, kesehatan, maupun jaminan orang tua.
Tantangan politik ekonomi untuk menggapai stabilitas ekonomi dan kesejahteraan antarwaktu (intertemporal welfare) secara bersamaan sangat tak mudah. Buruknya pengelolaan dana haji sebelum diserahkan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) harus menjadi pelajaran berharga sebab kurang mempertimbangkan kesepadanan jatuh tempo aset dan kewajiban, pertumbuhan nilai aset, dan mengantisipasi risiko nilai tukar seperti dengan memiliki aset yang menghasilkan arus kas dalam valuta asing.
Menurut BPKH, biaya riil ongkos naik haji ditaksir Rp 70 juta atau jauh lebih besar dibandingkan Rp 35 juta yang dibayar masyarakat. Selama tujuh tahun terakhir, rupiah melemah 48 persen atau 5,9 persen per tahun. Pemerintah harus menjamin dana masyarakat untuk kemakmuran masa depan itu bertumbuh dan aman, baik terhadap risiko gagal bayar maupun pelemahan kurs rupiah dengan mendorong transparansi dan kompetensi pengelolaan dana publik.
Budi Hikmat,  Praktisi Investasi dan Penggagas Komunitas Nabi Yusuf