Senin, 18 November 2019

Jaksa Agung dan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM

PENEGAKAN HUKUM
Jaksa Agung dan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM

Oleh :  MIMIN DWI HARTONO

KOMPAS, 18 November 2019


Presiden Joko Widodo telah mengangkat ST Burhanuddin sebagai jaksa agung pada Kabinet Indonesia Maju. Ada harapan supaya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat segera dituntaskan. Namun, dalam sebuah kesempatan, Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan bahwa berkas-berkas penyelidikan pelanggaran HAM yang berat ada kendala formil dan meteriil (Kompas, 8/11/2019).

Tugas dan fungsi jaksa agung sangat strategis dan vital dalam proses dan hasil penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pasalnya, jaksa agung berwenang menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM dengan langkah penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM.

Setidaknya ada sepuluh berkas kasus pelanggaran HAM berat telah dilimpahkan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung, di antaranya adalah Tragedi Kemanusiaan 1965/1966; Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985; Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998; Tragedi Trisakti, Semangi I dan II; Kasus Talangsari tahun 1989; Kerusuhan Mei 1998; Kasus Wasior Wamena, Papua Barat, dan tiga kasus semasa Daerah Operasi Militer Aceh.

Namun, sejauh ini, belum ada langkah konkret dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya ke tahap penyidikan dan penuntutan sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 21 jo Pasal 23 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyidikan wajib untuk diselesaikan dalam jangka waktu 90 hari sejak dinyatakan lengkap oleh penyidik (Pasal 22).

Tugas Kejaksaan Agung untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan adalah kewajiban sehingga tidak boleh ada keengganan atas dasar alasan apa pun. Terabaikannya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat akan menjadi beban bangsa dan selalu menjadi luka bersama yang akan mewaris dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo memberikan harapan bagi korban dan publik agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat bisa segera menemukan adanya kejelasan dan penyelesaian. Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang berat masuk di dalam program yang diusung oleh Jokowi, yaitu Program Nawa Cita Nomor 4, tetapi sampai dengan periode kedua pemerintahannya belum ada langkah konkret dan memenuhi harapan korban.

Jaksa agung yang baru harus sejalan dan mampu melaksanakan komitmen Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang berat, yang sejauh ini masih tertunda, dengan menjabarkannya melalui langkah dan tindak penyidikan dan penuntutan secara konkret dan terjadwal, mengingat kasus-kasus tersebut ada yang sudah terbengkalai selama puluhan tahun.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, kita yakin bahwa Presiden Joko Widodo pasti lebih mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan kelompok. Justru dengan adanya pengadilan HAM, kepastian hukum bagi terduga pelaku dan korban akan menjadi lebih jelas sehingga tidak ada tuduhan dan kampanye hitam (black campaign) di luar proses peradilan.

Musim semi pertama bagi Presiden Joko Widodo di saat masyarakat menumpukan harapan dan kepercayaan besar pada pemerintahannya telah berlalu tanpa hasil yang sesuai harapan publik. Semoga jaksa agung baru pilihan Presiden Joko Widodo mempunyai kapabilitas secara hukum dan kemauan politik yang mumpuni supaya harapan masyarakat dan korban atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, yang telah ditunggu sejak beberapa kali pergantian presiden, segera terpenuhi.

Jaksa agung baru harus mampu dan mau menjalin komunikasi dengan mitra kerjanya, seperti Komnas HAM, untuk segera melakukan langkah penyidikan dan penuntutan serta bekerja sama melengkapi berkas perkara jika ada yang masih kurang sempurna atau memerlukan pendalaman.

Proses penegakan hukum yang terpadu atas kasus pelanggaran HAM yang berat harus dimulai dan dikembangkan agar tidak lagi terjadi saling lempar tanggung jawab dan saling lempar berkas yang akan merugikan hak korban dan keluarganya atas kepastian hukum yang berkeadilan.

Jaksa Agung dan Komnas HAM perlu menyusun prosedur operasi standar penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM yang berat agar fungsi dan kewenangan kedua lembaga lebih sinergis dan optimal. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang terpisah pada masing-masing lembaga jangan menjadi hambatan.

Namun, menjadi media agar kedua lembaga saling berkoordinasi dan melakukan kontrol yang sehat agar proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang berat menjadi lebih berbobot, akuntabel, dan mampu memulihkan hak-hak korban atas keadilan.

Dengan demikian, ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang merupakan bentuk pengingkaran negara atas keadilan (justice delayed is justice denied) dapat segera diakhiri. Hal ini demi tegaknya hak dan martabat kemanusiaan di negara yang beradab.


(MIMIN DWI HARTONO, Staf Senior Komnas HAM, pendapat pribadi)

1 komentar: