Para purnawirawan jenderal TNI (dari kiri ke kanan) Fachrul Razi, Moeldoko, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Prabowo Subianto bersiap untuk mengikuti upacara pelantikan menteri oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019).Kekhawatiran pemerintah akan meluasnya radikalisme, intoleransi, dan terorisme di Indonesia, tercermin dari pengangkatan Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama.
Tentu saja, meluasnya radikalisme, intoleransi, dan terorisme itu tidak terlepas dari penyebaran paham/ideologi garis keras dan sokongan dana dari pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, tidak hanya diperlukan efektivitas langkah dan kebijakan dari Kementerian Agama, melainkan juga dari pemerintah secara keseluruhan.
Dana dan terorisme
Dalam  dakwaan kepada terpidana teroris Suryadi Mas’ud yang berafiliasi dengan NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) terungkap, di General Santos, Filipina—500 kilometer menyeberangi laut dari Manado, Sulawesi Utara, pada November 2015—Suryadi mengecek senjata.
Satu per satu senjata yang akan dibelinya dari Marod, anggota  Front Pembebasan Islam Moro  (MILF), Filipina, dicoba. Hasil dilaporkan ke Rois alias Iwan Darmawan, terpidana bom Kuningan, Jakarta, 2004 yang kini mendekam di Lapas Nusakambangan.
Dari pengecekan itu, Rois menyetujui 18 senjata laras panjang dan 5 senjata laras pendek. Total biaya 30.000 dollar AS (kurs sekarang setara Rp 400 juta), dikirim Rois menggunakan Western Union. Beberapa senjata laras pendek digunakan dalam serangan  teror  di Thamrin, Jakarta Pusat, Februari 2016. Serangan itu menewaskan 8 orang, termasuk 4 pelaku teror dan melukai 24 orang lainnya.
Dana 30.000 dollar AS itu belum termasuk 25.000 dollar AS (kurs sekarang setara Rp 350 juta). April 2016 dana itu oleh Suryadi dibelikan mobil, 12 senjata M-16, dan bahan peledak ke Isnilon Hapilon. Senjata terakhir untuk pelatihan di Filipina.
Sisa biaya untuk akomodasi dan transportasi, termasuk Suryadi dan istri di Filipina. Perjalanan pertama menelan biaya Rp 30 juta. Padahal, Suryadi bolak-balik ke Filipina. Ditambah lagi biaya 8 orang Indonesia yang mengikuti pelatihan.
Dapat dibayangkan berapa total biaya. Semua keterangan terkait dana itu muncul dalam dakwaan Suryadi. Ia akhirnya harus membayar petualangannya itu dengan 10 tahun penjara, vonis dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Februari tahun lalu.
Semakin jelaslah bahwa radikalisme dan terorisme tidak akan tumbuh tanpa sokongan dana. Besar kecilnya dana menentukan dampak teror.
Studi Lutfi Awaludin Basori (2017) menyingkapkan, pendanaan radikalisme dan terorisme terbagi atas tiga hal, yaitu sumber dana, perpindahan dana, dan penggunaan dana.
Sumber dana radikalisme dan terorisme terbagi lagi menjadi tiga bagian. Pertama berasal dari sumbangan. Ini persis yang dilakukan Saefullah, yang berhasil dibongkar polisi pertengahan 2019.  Saefulah diketahui polisi  menggunakan dana  untuk membeli senjata dan membiayai Muhammad Aulia dan 11 orang lainnya ke Khorasan, Afghanistan.
Polri juga berhasil mengungkap aliran dana kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia. Otak serangan terorisme di Indonesia hingga Filipina ternyata adalah Saefulah alias Daniel alias Chaniago. Ia mendapat kucuran dana dari luar negeri Rp 413 juta lebih. Aliran dana berasal dari Trinidad-Tobago ada tujuh kali, dari Maladewa satu kali, Venezuela satu kali, Jerman dua kali, dan Malaysia sekali (Humas Polri, 23/7/2019).
Dana dikirim melalui Western Union Maret 2016 sampai September 2017. Uang digunakan melancarkan teror di Sibolga, Sumatera Utara, hingga Gereja Katolik di Filipina.
Kendali pemegang dana
Sebelumnya, Densus 88 Antiteror menangkap Novendri alias Abu Jundi sekitar pukul 21.59, Kamis (18/7/2019), lalu di Jalan Perintis Kemerdekaan, Padang, Sumatera Barat. Hasil pemeriksaan dipastikan Novendri dikendalikan Saefulah yang menjadi pengatur aliran dana sejumlah penyerangan di Indonesia dan luar negeri.
Mereka mengumpulkan dana dan selanjutnya disalurkan ke kelompok teror di Indonesia. Sumber dana terorisme kedua berasal dari kegiatan ilegal. Salah satunya adalah hasil perampokan Bank CIMB Medan, Sumut, pada 2010.
Sumber dana terorisme ketiga adalah dari kegiatan usaha. Contoh kasus ini adalah Jamaah Islamiyah ( JI) pimpinan Para Wijayanto yang ditangkap  awal Juli 2019. Tak tanggung-tanggung kelompok ini memiliki perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatra. Dengan usaha ini Para Wijayanto mampu menggaji anggotanya Rp 10-15 juta per bulan.
Selanjutnya soal perpindahan dana, ada prinsipnya terkait jumlah dana yang dipindahkan, risiko, kemudahan, biaya, dan kecepatan. Semua diperhitungkan matang. Perpindahan dana ini memiliki beberapa metode, antara lain melalui kurir, layanan jasa pengiriman uang seperti Western Union, bank formal, atau invoice palsu.
Sebagian dana yang diterima Suryadi dari Rois dikirim langsung melalui adiknya Adi Jihadi dan Abu Musa. Sebagian lagi diterima Suryadi dengan menggunakan jasa pengiriman uang Western Union.
Terakhir, penggunaan dana. Sejauh ini, penggunaan dana  terorisme dan radikalisme juga tidak hanya berfokus pada pelaksanaan aksi teror tetapi juga untuk hal lain. Di antaranya untuk meluaskan pengaruh mereka, persiapan aksi seperti untuk latihan perang, dan mendapat dukungan dari jaringan kelompok teror lain. Namun yang terpenting dari penggunaan dana ini adalah mempertahankan eksistensi mereka.
Dengan terungkapnya kelompok Saefullah dan lain-lain   yang menerima dana dari luar negeri, aparat harus bisa memotong aliran dana ke jantung kelompok teror. Apalagi dana yang berhasil dikumpulkan Saefullah, misalnya,  tak sedikit. Dana itu terkumpul selama setahun (2016-2017), dari 12 donatur di 5 negara berbeda.
Dengan kondisi seperti ini pemerintah wajib memantau setiap aliran dana yang masuk dan keluar dari Indonesia. Sekaligus mengecek dana-dana di berbagai bentuk usaha, guna menghindari kelompok teror meraup  modal dari kegiatan usaha mereka seperti JI. Jika Pemerintah lengah dan dana kembali mengalir ke kelompok teror, bukan tak mungkin mereka akan kembali meneror sekaligus ‘’berpesta’’ (Lutfi Awaludin Basori, 2017).
Jika Pemerintah lengah dan dana kembali mengalir ke kelompok teror, bukan tak mungkin mereka akan kembali meneror sekaligus ‘’berpesta’’ (Lutfi Awaludin Basori, 2017).
Jaringan aktif
Yang juga perlu digarisbawahi, penangkapan Para Wijayanto pemimpin jaringan teroris Jama’ah Islamiyah (JI) baru awal Juli 2019. Jaringan teroris yang bertanggung jawab atas pemboman Bali tahun 2002 itu ternyata masih ada dan aktif. JI pernah dianggap sudah habis setelah para pemimpinnya seperti Abu Bakar Ba’asyir dan Umar Patek ditangkap, serta pemimpin lain seperti Noordin Top dan Azahari terbunuh. (Sylvia Laksmi, PhD Candidate, Australian National University, 2019)
Penangkapan terbaru tersebut mengungkap bahwa JI menggunakan bisnis perkebunan kelapa sawit untuk mencari dana. Sebelumnya, pendanaan JI sebagian besar berasal dari kegiatan ilegal, seperti perampokan dan cybercrime.
Terkait  dinamika pendanaan organisasi teroris, studi  Sylvia Laksmi menunjukkan jaringan terorisme menggunakan cara-cara legal dan ilegal untuk mendanai aktivitas mereka dari serangan teror, propaganda, hingga rekrutmen dan pelatihan militer.
Menurut undang-undang pendanaan anti-teroris Indonesia, pendanaan teroris mengacu pada aset yang diketahui, atau patut diduga, digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan, organisasi, atau individu yang terkait dengan terorisme dan radikalisme.
Aturan tentang tindak pidana pendanaan terorisme selain ada di UU terorisme, juga secara khusus diatur dalam UU Pendanaan Terorisme Nomor 9 Tahun 2013. Pasal 4 UU itu menyebutkan, jika terlibat pendanaan terorisme dapat diganjar hukuman paling lama 15 tahun. Namun demikian, masih banyak pihak yang  tidak takut dengan aturan ini.
Oleh karena itu, perlu dicermati faktor-faktor yang memengaruhi teroris dalam memilih metode pendanaan mereka termasuk di antaranya keterampilan apa yang mereka miliki dan situasi yang mereka hadapi–misalnya, tatkala ada pemantauan ketat oleh pemerintah terhadap pemindahan dana lintas negara.
Undang-undang pendanaan anti-terorisme dan radikalisme telah meningkatkan kemampuan penegak hukum dalam mengurangi jaringan teroris dan  sindikat radikalis Indonesia yang terhubung dengan jaringan lain di Asia Tenggara. Banyaknya penangkapan teroris  dan jaringan radikalismenya dalam lima tahun terakhir adalah buktinya.
Mana kala penegakan hukum menjadi lebih kuat, teroris harus mengubah taktik, termasuk penggunaan bisnis legal untuk menutupi gerakan dan menghindari pengawasan.
Baru-baru ini, metode lain telah ditemukan: penggunaan layanan keuangan mikro Baitul Maal. Baitul Maal adalah layanan keuangan mikro Islami berbasis masyarakat informal yang menggunakan pendekatan ekonomi dan sosial-keagamaan dengan menawarkan layanan keuangan kepada orang-orang miskin, termasuk mengumpulkan sumbangan dan pinjaman rendah untuk usaha kecil. (Sylvia Laksmi, 2019).
Dalam hal ini, pemerintah harus tetap waspada terhadap perubahan metode pendanaan itu. Tidak hanya metode penggalangan dana yang berubah, penggunaan dana juga telah berganti. Dana digunakan tidak hanya untuk mempersiapkan serangan, tetapi juga untuk menghidupi keluarga tahanan, janda, dan anak-anak terpidana teroris.
Pemindahan bisa samar
Masalah ini menjadi  genting, penting dan berbahaya karena dalam situasi demikian pemindahan dana menjadi semakin samar karena tidak digunakan secara langsung untuk kegiatan teroris. Apalagi studi  Sylvia Laksmi (2019) menyingkapkan tabir bahwa orang-orang yang menyumbang dana ternyata tetap setia terhadap kelompoknya serta menciptakan generasi baru jihadis.
Yang jelas, pendanaan itu ibarat jantungnya aktivitas terorisme dan radikalisme. Sebab dana tak hanya digunakan untuk membiayai operasi teror itu sendiri, tetapi juga untuk memperluas pengaruh, jaringan dan mendukung kehidupan sosial jaringan kelompok teror serta menciptakan generasi baru jihadis itu sendiri.  
Terakhir penting untuk digarisbawahi, sejauh ini, hanya ada sejumlah program pemerintah yang menyediakan insentif sosial dan ekonomi untuk keluarga jihadis yang sudah bertobat atau menjalani program deradikalisasi, namun mungkin kurang jelas hasilnya, serta kurang dipantau dan dikontrol oleh civil society  maupun  parlemen.
Pada hemat saya, sangat diperlukan  program penanggulangan yang komprehensif dan lebih mutakhir untuk mengatasi radikalisme dan terorisme dewasa ini sebelum terlambat dan di luar kendali.
(Herdi Sahrasad ; Pengajar  di Universitas Paramadina & Senior Fellow di Indonesian Centre for Terrorism & Radicalism FISIP Universitas Indonesia)