Kamis, 14 November 2019

Mewarisi Tradisi Spiritualitas Nusantara

KEBUDAYAAN NUSANTARA
Mewarisi Tradisi Spiritualitas Nusantara

Oleh  :   IMAM MUHTAROM

KOMPAS, 14 November 2019


Di zaman serba digital ini semua hal bergerak dengan cepat. Informasi, barang, dan jasa lalu lalang memenuhi kepala kita. Siapa serba cepat, dia dapat. Siapa yang tak beradaptasi dengan kecepatan ini segera akan tergulung.

Era digital ini laksana gelombang besar yang akan meluluhlantakkan segala yang bersifat manual. Seakan kebudayaan lama sudah tidak relevan sebab digital akan menjawab segala persoalan manusia di dunia ini.

Karena itu, segala rencana bisnis, politik, ekonomi, pendidikan, teknologi, harus diintegrasikan dengan digital kalau ingin bertahan di era ini. Mereka menyebut situasi disrupsi sedang terjadi dalam segala bidang. Dampaknya, apa yang lama, manual, sederhana, digantikan secara total dengan yang baru yang berbasis digital.

Padahal  tidak seluruh relung kehidupan tidak bisa dijawab dengan kecepatan yang diintegrasikan oleh digital. Sebaliknya, ada bagian kehidupan kita yang harus dijawab dengan melepaskan unsur waktu dan unsur keruangan. Pertanyaan bagaimana manusia menyadari keberadaannya di bumi ini,  untuk  apa hadir di bumi yang fana ini, dan ke mana kita setelah lepas dari kehidupan ini tidak disediakan oleh perkembangan digital itu sendiri. Pertanyaan ini akan selalu menghantui setiap manusia yang berakal.

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan eksistensial yang sesungguhnya tak terhindarkan dengan kemampuan manusia dengan akal budinya. Sebab ketercukupan material dan teknologi tidak selalu menjadikan pertanyaan laten setiap manusia itu terjawab. Justru, seringkali dalam ketercukupan material pertanyaan akan yang eksistensil tidak terpikirkan. Sudah bawaan manusia untuk mencintai dan melekati kehidupannya dengan kepemilikan benda-benda yang ada di dunia.

Oleh sebab itu, di tengah arus digitalitasi yang mengambil-alih nyaris semua seluk kehidupan ini, sangat relevan menempatkan pertanyaan eksistensial ini dalam konteks kebudayaan Nusantara.

Jauh sebelum masuknya ajaran Budha, jawaban atas pertanyaan eksistensial tersebut muncul dalam wujud menhir, kubur batu, dan peralatan upacara kuburan pada masa megalitik. Benda-benda tersebut merupakan perwujudan manusia dahulu kala untuk menjawab pertanyaan eksistensial tersebut atau yang dalam antropologi disebut dengan totem. Menurut Émile Durkheim totem yang ada dalam masyarakat tribal tersebut adalah jawaban atas kondisi eksistensial terkait keberadaan mereka di bumi ini (Tony Rudyansjah, 2015; 97-98).

Pada budaya megalitik Nusantara wujud totem ini bisa dilihat di Padang Sumatera Barat;  Palu, Sulawesi Tengah; Bondowoso di Jawa Timur. |Tempat beradanya totem-totem dari batu ini merupakan lokasi peninggalan peradaban kuno di Nusantara. Secara filsafat bisa dikatakan proses pencarian dan pembentukan sebuah totem adalah jawaban dari pertanyaan eksistensial di tengah kefanaan dunia ini.

Masuknya ajaran Hindu dan Budha membawa pelbagai cara manusia di Nusantara memaknai dirinya dalam kefanaan itu semakin kompleks. Jika pada masyarakat tribal terkesan sederhana totemnya, maka dalam ajaran Budha dan Hindu perlengkapannya sangat banyak dan rumit untuk mencapai jawaban akan pertanyaan eksistensial tersebut. Apa yang dibawa dalam Budha atas segala ketidakmenentuan yang dialami manusia adalah jalan pembebasan, yaitu melepaskan karma dan meraih cara untuk menuju alam nirwana.

Jalan pembebasan yang dirintis Sidharta Gautama  itu mengajarkan umat manusia bahwa dunia ini fana. Untuk itu, manusia harus meraih kesempurnaan sehingga tidak menjalani karma di dunia ini kembali. Konsep ini mendapat tanggapan yang variatif pada masanya ketika tiba di bumi Nusantara, baik di Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.

Gagasan pembebasan ini antara lain muncul dalam konsep tantrayana dalam tradisi Budha maupaun Hindu, baik di Jawa Timur maupun di Bali. Tradisi tantrik ini merupakan varian dari jalan pembebasan untuk mencapai nirvana dengan pelbagai cara. Ini merupakan jalan pembebasan, sebagaimana disampaikan para peneliti tantra, baik Lydia Kieven, Andrea Acri dan I Ketut Sandika.

Dalam uraian riset tersebut dapat diketahui bahwasanya persoalan mendasar dari kehidupan ini adalah bagaimana menggapai puncak spiritual sehingga terdapat titik tujuan manusia kepada penciptanya.

Kondisi eksistensial ini dalam tradisi Islam melahirkan konsep dan praktik spiritual yang kemudian dikonsepsikan sebagai pantheisme. Berbeda dengan tantrayana, dalam pantheisme disebutkan bahwa Tuhan beremanasi atas segala ciptaan  yang tergelar dalam semesta. Pantheisme yang lahir dalam tradisi Islam memperoleh bentuknya yang khas ketika gagasan dan laku spiritual hadir di Jawa dan Sumatra.

Gagasan pelepasan atas segala hal yang melekati di dunia ini agar bisa mencapai nirwana, dalam cara yang berbeda, dikenal juga dalam Islam. Tujuan akhir dari kehidupan adalah menyatunya mahluk kepada Tuhannya. Apa yang dilakukan Syekh Siti Jenar dalam sejarah Islam di Jawa adalah pandangan dan sikapnya yang mendasar untuk langsung kepada penyatuan mahluk Tuhannya melampaui aspek ritualnya.

Di Jawa, gagasan ini muncul bersama penyebaran Islam yang dilakukan oleh sembilan wali. Di antara yang kemudian populer di Jawa adalah Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Di Jawa Barat  gagasan semacam ini tumbuh di Pamijahan, Tasikmalaya, dari garis keturunan Shaykh Abdul Muhyi. Gagasan ini tidak tumbuh secara mandiri, tetapi mendapat pengaruh dari Timur Tengah (Tommy Christomy, 2019).

Dalam tradisi Islam, ajaran untuk menyatu antara ciptaan dengan sang pencipta menyebar di semua wilayah di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat.

Dalam pergelaran Borobudur Writers and Cultural Festival 2019 yang akan dilaksanakan pada 21-23 November di Yogyakarta dan Candi Borobudur, Magelang, mengangkat tema pembacaan kembali tantrayana dan pantheisme dalam naskah-naskah kuno nusantara. Gelaran tahun ke-8 BWCF ini sekaligus memperingati jasa Romo Zoetmulder yang telah merintis jalan studi Jawa kuno dan topik pantheisme dalam khazanah suluk di Jawa. Dari penelitian Romo Zoet tersebut terpapar ajaran-ajaran luhur orang-orang dulu sungguh-sungguh mencari jawab atas kondisi eksistensialnya.

Naskah-naskah kuno merupakan aset tiada terkira berharganya mengenai pengetahuan, khususnya pengetahuan teologi Budha, Hindu, Islam, dan Kristen di wilayah Indonesia timur. Naskah kuno ini merekam pelbagai hal dari masa yang lampau teristimewa mengenai topik spiritual. Para manusia waskita zaman dulu tidak hanya menyusun sebuah laku spiritual yang mereka amalkan, tetapi juga menuliskannya di atas lontar kemudian dluwang pada masa berikutnya. Di atas lontar atau dluwang inilah generasi masa kini dapat memperoleh sumber primer berkenaan dengan spiritualitas di masa lampau.

Dalam wujud tulisan, generasi sekarang dapat memperoleh akses yang baik untuk meneguk pengetahuan masa lampau itu. Dengan penggabungan melalui pewarisan melalui lisan pula, sebagaimana masih terjadi di Bali, ajaran tantrayana akan terjaga terus dari satu generasi ke generasi berikutnya (lihat I Ketut Sandika, 2019). Adanya pewarisan lisan, orang tidak berjarak dengan ajaran tersebut. Sementara itu, dalam tulisan  menciptakan jarak permaknaan lantaran naskah ditulis pada masa yang berbeda dan sidang pembaca yang berbeda pula. Akibatnya, maksudnya menjadi berbeda pula. Dengan demikian, warisan tulisan dan lisan tentang spiritualitas di Nusantara sangat penting agar kekayaan kebudayaan ini tetap lestari ke generasi berikutnya.

Pemahaman mendalam adanya tradisi spiritualitas di Nusantara, akan menimbulkan dampak yang luas dalam kehidupan sekarang ini. Pertama, spiritualitas pada dasarnya bersifat universal. Setiap manusia akan mengalami momen spiritualnya dalam kapasitas yang berbeda-beda. Karena itu, tidak perlu menyatakan keyakinannya lebih benar atas keyakinan lain, terlebih hal semacam ini dinyatakan di publik.

Kedua, sejak generasi terdahulu di Nusantara menempatkan spiritualitas sentral dalam kehidupan mereka. Sebuah keniscayaan hubungan yang harmonis dengan Tuhannya, haruslah terjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sosialnya. Spiritualitas itu harus mengejawantah dalam laku keseharian dan mengilhami dalam wujud kehidupan nyata.

Lantaran spiritualitas dalam kehidupan manusia merupakan keniscayaan, keberadaaan spiritualitas era digital ini tidak tergantikan. Digital akan mengubah pola material yang ada dalam kehidupan manusia, tetapi digital tidak akan menggeser sedikitpun pertanyaan eksistensial terkait keberadaan manusia di bumi ini. Dan spiritualitas bisa menjadi jawaban pertanyaan eksistensial itu.


Imam Muhtarom,  Kurator BWCF dan dosen di Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang, Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar