Senin, 11 November 2019

Pilihan Strategi Pendidikan untuk Indonesia Emas 2045

PENDIDIKAN SDM UNGGUL
Pilihan Strategi Pendidikan untuk Indonesia Emas 2045
Oleh :  SUYANTO
KOMPAS, 11 November 2019

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah dilantik untuk masa jabatan 2019-2014. Tentu pesan jelas akan lahir terkait dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Mengapa demikian? Karena pembangunan SDM telah dipilih untuk menjadi prioritas pada masa jabatan Presiden Jokowi yang kedua ini.

Apa yang penting dan genting untuk segera dilakukan oleh pemerintah baru dalam membangun sektor pendidikan? Jawab singkatnya adalah membangun dasar-dasar fundamental bagi keunggulan generasi muda saat ini agar sukses menjadi generasi emas 2045.

Tahun 2045 menjadi tonggak waktu penting karena bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka. Selain itu sebelum tahun 2045, kita akan melewati terjadinya bonus demografi atau demographic dividend  pada tahun 2035, di mana struktur kependudukan kita akan didominasi oleh mayoritas penduduk berusia produktif.

Kondisi ini akan sangat menguntungkan bagi perekonomian kita manakala kita mampu mempersiapkan 45 juta siswa saat ini menjadi SDM yang berkualitas, berdaya saing dan berkarakter mulia dan unggul. Jika hal ini bisa kita lakukan, maka tahun 2045 nanti, sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya 20 Oktober lalu, Indonesia akan berada pada lima terbesar kekuatan ekonomi dunia dengan Produk Domestik Bruto 7 triliun dollar AS.

Sebaliknya, jika kita gagal membekali mereka dengan berbagai keunggulan fundamental, harapan kita memiliki generasi emas bisa berbalik menjadi generasi cemas. Bahkan bonus demografi tidak menjadi berkah, tetapi akan berubah menjadi musibah.

Pusat unggulan

Untuk mempersiapkan SDM yang unggul, memiliki daya saing yang tinggi dan berkarakter mulia, ke depan perlu dibangun pusat unggulan pendidikan di berbagai provinsi dan atau kabupaten/kota. Kita perlu memiliki sekolah-sekolah yang unggul dalam bidang akademik, budaya, dan karakter di setiap provinsi dan/atau kabupaten kota. Sekolah ini dibangun agar menjadi penghela bagi gerbong kemajuan pendidikan dalam jangka panjang. Konsekuensinya, program pemerataan kualitas tidak perlu dilakukan untuk jangka waktu 10 sampai 20 tahun mendatang.

Pemerataan kualitas saat ini memang penting tetapi tidak genting untuk segera dilakukan. Mengapa begitu? Karena sebenarnya barang yang diberi label kualitas itu belum ada di sektor pendidikan kita. Parameter kualitas belum terpenuhi secara memadai dalam konteks makro, sehingga tidak bisa diratakan secara nasional.

Pendidikan kita memiliki beban yang sangat masif dilihat dari beberapa parameter kualitas seperti jumlah guru, siswa, dan juga jumlah sekolah itu sendiri.

Bayangkan dengan jumlah guru saat ini kurang lebih 3 juta, siswa 46 juta, dan jumlah sekolah 216.000, bagaimana kita bisa membuat program pemerataan kualitas melalui parameter yang sangat besar unitnya secara kuantitatif?

Guru kita sebagian besar kualitasnya belum baik, juga prestasi siswa kita jika diukur dengan PISA skornya masih rendah. Capaian skor PISA siswa kita masuk kelompok negara dengan nilai di bawah 450 dan berada pada  peringkat 62 dari 70 negara peserta.

Oleh karena itu, pilihan strategi yang tepat ialah membangun pusat unggulan pendidikan di tempat-tempat tertentu yang bisa memberikan imbas paling luas kepada sekolah-sekolah di sekitarnya.

Pilihan ini memiliki justifikasi bahwa sebenarnya tidak semua rakyat kita harus masuk sekolah yang berkualitas baik. Biar saja sebagian besar rakyat memiliki pendidikan pada sekolah-sekolah berstandar nasional. Standar nasional merupakan kriteria minimal dari delapan standar pendidikan yang terdiri dari isi, pendidik dan tenaga kependidikan, proses, pembiayaan, penyelenggaraan, sarana-prasarana, penilaian, dan kompetensi lulusan.

Terhadap delapan standar itupun tak semua sekolah kita bisa memenuhinya.  Dengan kata lain, pemerintah dan pemerintah daerah sebenarnya belum bisa melakukan pemenuhan terhadap kriteria minimal kebutuhan sekolah agar sekolah itu dapat beroperasi layak.

Dengan kata lain, sekolah kita sebagian besar berjalan dengan apa adanya, belum sesuai dengan kriteria minimal standar untuk meraih sebuah kualitas pendidikan. Dalam kondisi seperti ini pilihan strategi yang mengutamakan pemerataan kualitas sungguh tidak masuk akal. Oleh karena itu pilihan strategi yang tepat untuk mengantarkan para generasi muda kita menjadi generasi emas adalah membangun sekolah unggulan di daerah daerah tertentu yang terpilih dan terbatas.

Kita tak perlu mendidik seluruh rakyat menjadi wirausahawan (entrepreneur) semuanya. Kalau semua rakyat dididik menjadi entrepreneur, lalu siapa yang menjadi pekerja, buruh, teknisi, supervisor, manajer dan direktur? Kita tidak perlu mempersiapkan semua rakyat menjadi pemimpin. Kalau semua jadi pemimpin, lalu siapa yang akan dipimpin? Realita kehidupan dalam masyarakat memiliki struktur yang berbentuk piramida. Peran-peran yang semakin penting, semakin ke atas, semakin sedikit diperlukan.

Jadi untuk kurun waktu 10 – 20 tahun belum perlu kita memiliki pilihan strategi yang bertujuan memeratakan kualitas. Pemerataan kualitas kedengarannya memang egaliter dan populis, tetapi tak berdampak pada pembentukan SDM unggul untuk Generasi Emas 2045.

Jadi, pemerataan yang perlu dilakukan adalah pada aspek akses dan sarana-prasarana saja bukan pada aspek kualitas. Membangun kualitas memerlukan man, money, material, structure dan culture yang memadai, dan kenyataannya hal itu tidak bisa ditemui pada semua sekolah dan penyelenggara pendidikan secara nasional.

Kita tak perlu mendidik seluruh rakyat menjadi wirausahawan (entrepreneur) semuanya. Kalau semua rakyat dididik menjadi entrepreneur, lalu siapa yang menjadi pekerja, buruh, teknisi, supervisor, manajer dan direktur?


Suyanto ; Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta; Dirjen Mandikdasmen Kemdiknas 2005 –  2013; Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) 2019 -2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar