Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
Oleh : RAMLAN SURBAKTI
KOMPAS, 23 November 2019 03:07 WIB
Maret lalu,
Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2019
tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Banyak
kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan di Indonesia. Ini kemudian
dilaksanakan tahun ke tahun dengan penambahan anggaran yang semakin besar.
Namun, jarang sekali dievaluasi apakah kebijakan itu telah mencapai tujuan.
Laporan dan
evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat perlu. Ini tidak hanya
karena diperintahkan oleh Pasal 74 UU No 23 Tahun 2014 (karena menyangkut
pelaksanaan urusan wajib dan pilihan yang diserahkan kepada daerah otonom
provinsi dan kabupaten/kota). Laporan dan evaluasi perlu karena ada dana
transfer ke 548 daerah otonom dengan jumlah semakin besar (Rp 756,77 triliun
dalam APBN 2019). Evaluasi penting karena berbagai jenis pajak dan retribusi
diberikan ke provinsi dan kabupaten/kota demi menaikkan pendapatan asli daerah
(PAD). Ini harus dievaluasi.
Tulisan ini
hendak menelaah PP tersebut, khususnya evaluasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah (EPPD) oleh pemerintah pusat berdasarkan Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (LPPD). Dalam LPPD akan terlihat capaian kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan tugas pembantuan selama
satu tahun anggaran.
EPPD terdiri
dari: (a) penilaian atas capaian kinerja makro dan perubahan capaian kerja
masing-masing indikator LPPD, dan (b) penilaian capaian indikator kinerja
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Pertanyaan yang perlu diajukan
adalah apakah evaluasi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat menyangkut
evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah (evaluasi atas pelaksanaan
kebijakan publik) ataukah evaluasi atas hasil penyelenggaraan pemerintahan
daerah (evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kebijakan publik).
Tampaknya
EPPD lebih merupakan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah daripada
evaluasi atas hasil penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bila EPPD merupakan
evaluasi atas hasil penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka tujuan evaluasi
itu adalah meneliti dan menilai apakah hasil penyelenggaraan pemerintahan
daerah mencapai tujuan kebijakan menyerahkan Urusan Konkuren (Wajib dan
Pilihan) kepada provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom yang
ditetapkan sejak awal.
Tujuan penyelenggaraan pemerintah
daerah
Baik dalam
ratusan pasal yang terkandung dalam UU No 23 Tahun 2014 maupun dalam PP No 13
Tahun 2019 tak ditemukan apa yang menjadi tujuan penyerahan Urusan Konkuren
(tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah) itu. Ternyata tujuan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dirumuskan dalam bagian ”Menimbang”
(konsideran) UU No 23 Tahun 2014.
Bila
diringkas terdapat dua tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu (1)
mempercepat kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah; dan
(2) meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua tujuan ini disertai sejumlah rambu yang harus diperhatikan dalam
mencapainya. Dalam mencapai tujuan pertama harus memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam NKRI.
Tujuan kedua
harus dicapai dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat
dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang
dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Kedua tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah itu dapat
diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Pemerintah, khususnya Kementerian
Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian teknis, seharusnya sudah
menjabarkan kedua tujuan itu dalam bentuk indikator capaian.
Kesejahteraan
rakyat akan dapat dicapai dengan cepat melalui peningkatan pelayanan publik
yang berkualitas, merata, dan terjangkau; upaya pemberdayaan warga masyarakat
sesuai dengan karakteristik ekonomi mereka; peningkatan peran serta masyarakat
dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik daerah; dan peningkatan
daya asing daerah.
Karena jarak
antara yang membuat kebijakan dengan masyarakat yang akan menjadi sasaran
kebijakan sangat dekat, maka peran serta masyarakat dalam proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan akan lebih mudah. Karena jarak antara yang melayani
dengan warga masyarakat yang dilayani sangat dekat, maka pelayanan publik akan
dapat diberikan sesuai dengan harapan masyarakat.
Pemberdayaan
warga masyarakat juga akan lebih mudah diwujudkan karena kepala daerah dan
pemda serta DPRD tidak hanya dengan mudah berdialog dengan masyarakat untuk
mengetahui jenis kemampuan dan keterampilan yang diperlukan, tetapi juga lebih
mudah diwujudkan karena menyangkut lingkup daerah yang tidak terlalu luas.
Setidak-tidaknya
itulah yang dikemukakan oleh para tokoh yang memprakarsai setiap pembentukan
daerah otonom baru. Tujuan pertama tersebut akan dapat dicapai lebih cepat bila
terjadi efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah.
Kedua tujuan
itu sama sekali tak disinggung dalam PP No 13 Tahun 2019. Patut dipertanyakan
apakah capaian kinerja makro dan capain kerja setiap indikator LPPD dan capaian
indikator kinerja penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berkaitan dengan
kedua tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pembinaan
yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap daerah otonom adalah membantu dan
mengarahkan daerah otonom mewujudkan kedua tujuan penyelenggaraan pemerintahan
daerah itu. UU No 23 Tahun 2014 menguraikan secara panjang lebar pelayanan
publik yang harus dilakukan, termasuk mengeluarkan Maklumat Informasi mengenai
Pelayanan Publik.
Pada Pasal
354 UU itu baik DPRD maupun kepala daerah yang memimpin pemerintah daerah
diwajibkan menyebarluaskan tak hanya informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan daerah, tetapi juga informasi tentang RAPBD dan setiap rencana
perda lainnya kepada semua pemangku kepentingan, seperti berbagai organisasi
masyarakat sipil, dan berbagai kelompok usaha besar, menengah, dan kecil.
Berbagai unsur masyarakat akan dapat berperan serta bila mengetahui tidak hanya
rencana pemda dan DPRD membuat kebijakan, tapi dapat membaca draf Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) dan draf rancangan peraturan
daerah (raperda) yang sudah disiapkan.
Dimensi waktu
Untuk mencapai
kedua tujuan itu, sudah barang tentu memerlukan waktu. Dimensi waktu ini juga
penting karena masa jabatan kepala dan wakil kepala daerah dan masa jabatan
anggota DPRD telah ditentukan secara jelas, maka kinerja mereka pada masa
jabatan tersebut akan dapat dinilai. Karena itu, untuk mengevaluasi apakah
kedua tujuan itu telah dicapai, Daerah Otonom Provinsi (DOP) dan Daerah Otonom
Kabupaten/Kota (DOK/K) perlu diklasifikasi berdasarkan umur daerah otonom
tersebut.
Pemerintah
pusat dan DPR harus memiliki data tentang seberapa jauh DOP dan DOK/K telah
mencapai kedua tujuan tersebut. Kebijakan pengembangan daerah otonom harus
berdasarkan data yang valid, bukan berdasarkan kesan, pandangan mata, dan
sejumlah kasus. Ketika pemerintah dan DPR menaikkan dana transfer kepada semua
daerah otonom setiap tahun, atas dasar apa kenaikan itu dilakukan kecuali demi
penyelenggaraan pemerintahan daerah?
Ramlan Surbakti ; Guru Besar
Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, dan Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar