Akhirnya—setelah 8 tahun lalu muncul dalam pertemuan ASEAN Summit 2011 di bawah kepemimpinan Indonesia dan 6 tahun setelah negosiasi mulai pada 2013—perjanjian East Asia Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP pun lahir.
Kelahiran itu berkat diselesaikannya (concluded) negosiasi untuk 20 bab yang ada dalam perjanjian.  Seperti diketahui, negosiasi RCEP melibatkan 16 negara di Asia Timur, yang merupakan mitra free trade area (FTA) dengan ASEAN, yaitu 10 negara ASEAN dan RRC, Jepang, Korea, Australia-Selandia Baru, dan India.
Walaupun India belum bergabung, diselesaikannya perjanjian dan negosiasi untuk 15 anggota tetap sangat penting bagi dunia, kawasan Asia dan Indonesia karena beberapa alasan.
Pertama penyelesaian negosiasi memberi sinyal sangat kuat dan positif ditengah-tengah ketidakpastian sistem perdagangan dunia pasca-perang dagang AS-China. Hal tersebut meningkatkan risiko perekonomian global, karena sudah memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3% pada 2019;  menurunnya pertumbuhan perdagangan dunia menjadi 2,6% dibanding 4,6% pada 2017; dan anjloknya arus investasi sebesar 72%.
Sinyal positif
Dalam pernyataan bersama Kepala Negara anggota RCEP disampaikan, selesainya rundingan RCEP memberi sinyal positif kepada dunia mengenai kepemimpinan dan “komitmen bersama untuk iklim perdagangan dan investasi terbuka di kawasan ini.”
Para Kepala Negara juga menegaskan kembali tujuan RCEP, yaitu meningkatkan integrasi ekonomi agar memperluas dan mendalami rantai nilai tambah yang berkembang di kawasan dan memberi manfaat kepada UMKM, pekerja, produsen dan konsumen.  Dengan demikian kawasan juga mendapat manfaat dari sumber pertumbuhan baru di tengah melambatnya ekonomi dunia.
Kedua memaknai penyelesaian 20 bab perjanjian RCEP, yang merupakan perjanjian komprehensif, berkualitas dan bermutu.  Mereka yang tidak paham proses, semangat dan evolusi RCEP, bisa saja fokus kepada aspek kekurangan daripada kelebihannya.
Kekurangan pertama yang disorot adalah India belum bisa bergabung.  Namun, tanpa India pun RCEP tetap merupakan perjanjian regional terbesar dunia, dengan pangsa 30% penduduk dunia, 29% PDB dunia, 27% perdagangan dunia dan 29% dari PMA dunia. Dibanding dengan Comprehensive Progressive Trans Pacific Partnership (CPTPP), misalnya, dengan 11 negara setelah AS keluar, 7% penduduk dunia, 13% PDB dunia, 15% perdagangan dunia, dan 20% PMA dunia.
Dampak belum masuknya India sangat berbeda dengan keluarnya AS dari segi pengaruh kepada anggota perjanjian dan perkiraan dampaknya.  Masih ada kemungkinan India masuk jika masalah-masalah yang dia hadapi—terutama kekhawatiran bersaing dengan RRC— bisa teratasi, selain komitmen politis untuk melakukan reformasi di tengah melambatnya perekonomian India.
ASEAN sesungguhnya sudah menganut prinsip minus x, walaupun jarang digunakan dan memang diciptakan agar bisa melanjutkan suatu proses atau negosiasi jika sebagian besar bisa setuju.
Salah satu kasus minus x yang pernah terjadi adalah ASEAN Korea FTA 2008, yang saat ditanda-tangani minus Thailand karena ada masalah sensitif terkait beras bagi kedua negara.  Kurang lebih dua tahun kemudianhal itu dapat diselesaikan dan Thailand masuk ke dalam ASEAN Korea FTA.
Kekurangan lain yang sering disorot adalah ambisi dan standar yang lebih “rendah” dibanding CPTPP.  Kritik seperti ini memang lumrah, tetapi tidak memperhitungkan atau pun memahami bahwa RCEP adalah suatu kerangka strategis bagi negara-negara di Asia Timur untuk “memulai ” konsolidasi proses integrasi ekonomi dan cakupannya komprehensif, yaitu 20 bab, termasuk isu-isu tradisional seperti perdagangan barang, jasa dan investasi, dan isu baru seperti electronic commerce.
RCEP diciptakan dengan kesepakatan antar-Kepala Negara ASEAN, agar dapat terus berevolusi untuk kerjasama yang lebih luas dan lebih dalam dengan prinsip-prinsip bahwa RCEP menjadi basis untuk terus memperbaiki perjanjian secara berkala, memasukkan isu baru, proses yang secara bertahap (sequential), dan open accession atau tidak menutup penambahan anggota.
Bertahap bermanfaat
Sejarah ASEAN selama ini menunjukkan proses yang berjalan secara bertahap dan berevolusi, dengan terbangunnya percaya diri di masing-masing negara dan dengan dirasakan manfaatnya.
Misalnya, sejarah ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang pada 1991 hanya mencakup barang dan penurunan bea masuk antar negara ASEAN, akhirnya berakselerasi dengan target penurunan bea masuk menjadi nol dipercepat dari 15 menjadi 10 tahun. Tahun 2003, dengan kepemimpinan Indonesia, lahir konsep perluasan dan pendalaman dari sisi perjanjian antara ASEAN menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Ketiga, kunci utama ASEAN dan RCEP adalah kepemimpinan Indonesia. Benih konsolidasi semua FTA menjadi satu kawasan terintegrasi di Asia Timur di bawah RCEP, lahir saat Indonesia memimpin ASEAN di 2011.
Dari benih hingga terwujud hari ini, juga tidak terlepas dari kepemimpinan Indonesia dalam proses negosiasi yang panjang dan rumit untuk menjaga konsistensi, dan sentralitas ASEAN.  Jika ada nama yang terkait dengan lahirnya RCEP, kita harus mengakui peran utama Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan dan timnya, sebagai Ketua Negosiasi RCEP (Chair Trade Negotiating Council), yang terus mengawal negosiasi sampai RCEP lahir.
Bukan hal yang mudah, tetapi sangat terbantu pada tiga tahun terakhir ini dengan dukungan politis dari Presiden Joko Widodo dan Menteri Perdagangan yang mengawalnya.
Bagaimana ke depan?
Ke depan, terutama 2020, berita dan sinyal baik bahwa proses negosiasi sudah selesai secara substantif perlu ditindaklanjuti dengan dituntaskannya berbagai isu-isu yang belum selesai dan merampungkan proses hukum atas dokumen teks. Harapannya dapat ditanda-tangani oleh 15 anggota RCEP pada 2020.
Mengenai kapan India bergabung akan menjadi suatu proses yang juga diharapkan dapat berlangsung 2020. Tentunya diharapkan ada komitmen politis dari India untuk mendukung apa yang telah disepakati dan mengunakan kesempatan proses RCEP untuk proses reformasi.
RCEP adalah mega regional pertama di mana India ikut serta, dan seperti pengalaman Indonesia dan negara ASEAN lain, keikutesertaan di ASEAN kemudian di ASEAN plus one FTAs sangat membantu memberi kerangka untuk proses reformasi dan juga keuntungan bagi masing-masing negara.
Tentunya hal penting yang perlu dirampungkan adalah program kerja sama ekonomi dan teknis yang didesain untuk membantu negara-negara yang tingkat perkembangan lebih rendah untuk mengejar yang lebih maju, dan bagi India, menjawab kekhawatirannya terhadap persaingan dengan RRC.
Dengan rampungnya RCEP dan menjadi basis strategis berevolusi, akan menjadi platform strategis untuk RRC-Jepang-Korea bekerja sama serta mengisi isu ekonomi dalam East Asia Summit dan Indo Pasifik, di mana peran ASEAN akan tetap sentral.
Perkembangan-perkembangan ini tentunya akan berarti kawasan kita. Yang penting terus menunjukkan kepemimpinan dalam menjaga sistem perdagangan dan investasi yang berdasarkan aturan main yang jelas, serta terus melanjutkan proses integrasi ekonomi antara kita, tetapi dengan manfaat untuk dunia.
Akhir kata, PR untuk Indonesia dalam isu-isu meningkatkan daya saing perlu juga menjadi prioritas agar dapat mendapat manfaat dan menjadi bagian yang penting dari rantai nilai tambah yang akan berkembang di bawah RCEP.
(Mari Pangestu ;  Profesor Ekonomi Internasional, FEBUI)