Rabu, 13 November 2019

Pertumbuhan dan Produktivitas

ANALISIS EKONOMI
Pertumbuhan dan Produktivitas

Oleh :  A PRASETYANTOKO

KOMPAS, 12 November 2019


Prospek perekonomian domestik tak terlalu optimistis; pertumbuhan melambat, sementara peringkat daya saing menurun. Meski begitu, harapan masih tetap besar dalam jangka panjang asal segera terjadi konsolidasi kebijakan dan fokus pada peningkatan produktivitas.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia triwulan III-2019 sebesar Rp 4.067,8 triliun atas dasar harga berlaku. Jika dibandingkan dengan PDB triwulan III-2018, terjadi kenaikan 5,02 persen. Dengan kata lain, perekonomian Indonesia masih tumbuh baik di atas 5 persen meski melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yakni 5,07 persen pada triwulan I-2019 dan 5,05 persen pada triwulan II-2019.

Terkait rilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 yang 5,02 persen oleh BPS, Gareth Leather, ekonom Capital Economics Ltd London, menyangsikan akurasinya (Bloomberg, 5/11/2019). Pertumbuhan ekonomi yang stabil pada kisaran 5 persen sepanjang pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo dianggap tak mencerminkan realitas karena faktanya kegiatan ekonomi menurun tajam pada triwulan III ini.

Gugatan tersebut direspons BPS dengan menunjukkan metodologi penghitungan yang dilakukan secara ketat dan di bawah supervisi lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Terlepas dari gugatan metodologi, bagaimanapun mitigasi harus segera diambil agar siklus pelambatan tak berlanjut, dan lagi peluang tumbuh lebih tinggi masih tersedia pada jangka menengah dan panjang. Esensinya, jangan menyia-nyiakan kesempatan.

Produktivitas

PDB mengukur total output akvititas ekonomi berdasarkan kelompok lapangan usaha atau pengeluaran. Berdasarkan lapangan usaha, sektor industri pengolahan memiliki kontribusi terbesar, yakni Rp 798,1 triliun pada triwulan III-2019 atau tumbuh 4,15 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Kontribusi terbesar kedua adalah sektor pertanian yang tumbuh 3,8 persen, disusul sektor perdagangan eceran yang tumbuh 4,75 persen.

Jika dihitung berdasarkan pengeluaran atas dasar harga berlaku, pengeluaran konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi tertinggi, yakni Rp 2.298,9 triliun pada triwulan III-2019, atau naik 5,1 persen dibandingkan dengan tahun lalu.

Jika dilihat secara kewilayahan, perekonomian di Pulau Jawa mendominasi dengan kontribusi 59,15 persen. Jika Pulau Jawa digabungkan dengan Pulau Sumatera, dominasinya menjadi 80,29 persen.

Pendek kata, pola perekonomian masih sangat mengandalkan sektor konsumsi ataupun manufaktur yang cenderung melambat diiringi kesenjangan spasial, dengan konsentrasi ekonomi masih di Jawa-Sumatera. Mau apa kita dengan situasi seperti ini?

Perekonomian kita tengah mengalami siklus melambat, seiring dengan pola pelambatan global yang terjadi secara sinkron di hampir semua negara. Ada beberapa pengecualian akibat aneka faktor spesifik, seperti Vietnam.

Di tengah pelambatan, tentu harus diambil tindakan memompa perekonomian sekurangnya agar tak menurun lebih jauh. Selebihnya, kebijakan harus diarahkan untuk memaksimalkan perekonomian agar kembali naik dan merealisasikan berbagai peluang yang memang tersedia.

Kebijakan fiskal melalui berbagai relaksasi perpajakan akan mampu menahan pelambatan. Namun, guna mendorong dinamika perekonomian agar berbalik arah, diperlukan kebijakan struktural yang komprehensif. Intinya, meningkatkan produktivitas, yaitu dengan input produksi yang sama bisa menghasilkan output lebih besar.

Sayangnya, berbagai indikator produktivitas juga menunjukkan gejala penurunan. Forum Ekonomi Dunia merilis peringkat daya saing global 2019, yang memperlihatkan penurunan peringkat Indonesia, dari 45 ke 50. Meskipun skor penilaian hanya turun tipis 0,3 poin menjadi 64,6, penurunan peringkat terjadi cukup besar. Artinya, banyak negara lain lebih progresif meningkatkan daya saing mereka.

Indeks daya saing mengukur berbagai variabel yang sebagian besar berfungsi sebagai faktor produksi, dengan kata lain menjadi peningkat daya saing mencerminkan proyeksi peningkatan produktivitas domestik.

Isu kesehatan (peringkat 96), ketenagakerjaan (peringkat 85), dan kemampuan melakukan inovasi (peringkat 74) merupakan tiga variabel terburuk yang harus ditangani dengan baik.

Peningkatan produktivitas akan terhambat jika persoalan di atas tak ditangani dengan baik. Masalahnya, menangani berbagai aspek itu tak akan mendongkrak produktivitas dan kemudian pertumbuhan dalam jangka pendek. Sementara tantangan eksternal begitu nyata dan akan berimbas pada kita dalam waktu dekat ini.

Untuk itu diperlukan kemampuan menavigasi perekonomian dengan memainkan instrumen jangka pendek, terutama kebijakan moneter, kebijakan jangka menengah (fiskal), dan panjang (struktural). Dan harus diakui, manuver kebijakan ini memerlukan kepiawaian para pengambil kebijakan, baik dari sisi teknis, pengalaman, maupun integritas.

Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dilantik tentu diharapkan mampu menjalankan kebijakan teknokratis menghadapi berbagai tantangan jangka pendek, menengah, dan panjang. Mengingat peningkatan produktivitas domestik memerlukan waktu lama, diperlukan beberapa strategi menengah yang mampu menopang agar perekonomian tak menyusur ke bawah.

Pertama, mengundang investasi asing langsung di berbagai sektor berbahan baku lokal serta berorientasi ekspor. Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Luar Negeri harus memiliki kerangka kerja yang jelas soal ini. Kedua, mengadopsi teknologi di berbagai lini guna mempercepat transformasi ekonomi, baik dari sisi pendukung maupun sektor usahanya sendiri.

Soal teknologi memang ada gejala paradoksal. Diane Coyle, professor kebijakan publik dari Universitas Cambridge, menulis artikel berjudul ”Rethinking Productivity” di laman Project Syndicate (5/11/2019) dan menjelaskan adopsi teknologi tak mampu mendorong produktivitas di negara maju. Dalam perekonomian dengan sektor jasa lebih dominan, teknologi tak akan menambah secara signifikan output produksi, hanya meningkatkan kualitas layanan saja.

Situasinya agak berbeda di negara berkembang seperti Indonesia. Di negeri ini teknologi masih berpeluang meningkatkan kapasitas produksi. Misalnya saja, melalui peningkatan akses keuangan dan pemasaran, berbagai sektor kecil dan menengah di berbagai pelosok Tanah Air bisa dikembangkan.

Hal itu dilakukan agar terjadi peningkatan kapasitas usaha dari mikro, kecil, menengah, selain mendorong distribusi pengembangan usaha di luar Jawa. Masalahnya, teknologi tak bisa bekerja sendiri. Harus ada regulasi yang mengarahkan melalui peta jalan pengembangan teknologi dan dunia usaha.

Sektor swasta hanya akan bergerak jika ada keuntungan, dan keuntungan bisnis berbasis teknologi masih di Pulau Jawa untuk penduduk yang sudah memiliki akses keuangan. Mereka tidak akan bergerak keluar dari zona nyaman secara bisnis jika tak ada fasilitas dan insentif dari pemerintah.

Selain itu, menyusun peta jalan pengembangan teknologi dalam rangka pemberdayaan harus disokong berbagai kementerian, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Perindustrian, Perdagangan, serta Koperasi dan UKM.

Jika Kabinet Indonesia Maju masih berpikir sektoral, perekonomian akan mengalami stagnasi berkepanjangan. Apalagi jika para menteri yang berasal dari partai politik masih sibuk mengurusi koalisi, tak akan fokus bekerja. Tak banyak waktu tersisa. Jika Presiden masih membiarkan kabinet berdinamika, harapan akan kembali hampa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar