Kamis, 08 Oktober 2015

Soal Impor Beras 1,5 Juta Ton

Soal Impor Beras 1,5 Juta Ton

Bustanul Arifin ;   Guru Besar Universitas Lampung;
Ekonom Senior Indef; Ketua Forum Masyarakat Statistik
                                                       KOMPAS, 03 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rencana impor beras 1,5 juta ton yang disampaikan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di Dubai, saat transit dalam perjalanan ke Amerika Serikat (Kompas, 25 September 2015), sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.

Para analis dan ekonom pertanian telah memperkirakannya jauh-jauh hari, terutama setelah kualitas data produksi semakin sulit diverifikasi. Dampak dari buruknya akurasi data tentu tidak hanya pada kredibilitas kebijakan, tetapi jauh sampai pada kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Tulisan ini menjelaskan tafsir kebijakan rencana impor beras tersebut, setidaknya meliputi akurasi data estimasi produksi, asimetri informasi harga dan struktur pasar beras dalam negeri, serta inkonsistensi kebijakan perberasan secara umum.

Akurasi data

Pertama, data produksi memerlukan kalibrasi dan rekalibrasi, setidaknya dengan data konsumsi. Pada awal Juli 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan secara resmi bahwa angka ramalan pertama produksi padi 2015 mencapai 75,55 juta juta ton gabah kering giling atau mengalami peningkatan 6,65 persen dibandingkan produksi pada 2014 yang mencapai 70,8 juta ton. Angka tersebut setara dengan 41 juta ton beras. Jika angka konsumsi beras 114,12 kilogram (kg) per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk sekitar 30 juta ton. Artinya, Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras lebih dari 10 juta ton, overestimasi yang sulit diverifikasi.

Dengan metodologi estimasi yang sama-sama fragile, tahun 2014 pun Indonesia mengalami surplus 8,8 juta ton, tahun 2013 surplus 9,5 juta ton, dan seterusnya ke belakang. Seandainya surplus beras itu benar adanya, stok beras yang dikuasai Perum Bulog, yang beredar di tengah masyarakat, dan yang dijadikan stok tahun berjalan (carry-over stock) seharusnya amat besar.

Fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan adalah bahwa estimasi data produksi padi, jagung, dan kedelai dilakukan bersama oleh BPS dan Kementerian Pertanian. Angka produksi adalah perkalian data produktivitas (ton/hektar) dengan luas panen (hektar). Data produktivitas adalah aproksimasi sampel lahan petani 2,5 meter x 2,5 meter (ubinan) yang dilakukan petugas lapangan BPS bekerja sama dengan kantor cabang dinas pertanian tanaman pangan atau dengan penyuluh pertanian lapang.

Data luas panen diperoleh bukan dari pengukuran, melainkan dengan metode kira-kira sejauh mata memandang (eye estimate) menggunakan sistem blok pengairan dan lain-lain. Bias data dapat terjadi pada metode ubinan yang tidak bebas dari sampling error dan non-sampling error ataupun pada metode eye estimate yang tidak lepas dari kepentingan politik dan birokrasi. Apalagi sistem pelaporan data dari lapangan akhir-akhir ini telah melibatkan petugas yang tidak memiliki kompetensi khusus melakukan pengukuran variabel produksi pangan.

Solusi yang dapat ditempuh adalah bahwa data produksi perlu dikalibrasi dengan data konsumsi beras yang menunjukkan penurunan secara perlahan, tetapi pasti. Hasil survei sosial ekonomi nasional menunjukkan, konsumsi beras langsung tahun 2014 menurun menjadi 85,04 kg/kapita dari 90,10 kg/kapita pada 2011. Konsumsi beras oleh rumah makan dan industri makanan-minuman menurun menjadi 19,32 kg/kapita pada 2014 dari 20,51 kg/kapita pada 2011.

Ditambah konsumsi beras di hotel, restoran, dan lain-lain, tingkat konsumsi beras pada 2014 tercatat 114,13 kg/kapita, angka yang cukup realistis dibandingkan dengan angka 139,15 kg/kapita yang selama ini digunakan. Langkah rekalibrasi boleh juga dilakukan dengan data hasil audit lahan sawah dan hasil pendataan industri penggilingan padi walau survei tidak dilakukan setiap tahun.

Asimetri informasi harga dan struktur pasar

Kedua, pasar beras di dalam negeri masih diliputi asimetri informasi harga dan struktur pasar yang jauh dari prinsip-prinsip persaingan sempurna. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa harga eceran beras premium di pasar dalam negeri per 25 September masih cukup mahal, Rp 10.280 per kg. Harga itu hampir dua kali lipat dari harga beras internasional untuk kualitas sejenis (Thailand 25 persen broken) yang tercatat 362 dollar AS/ton atau Rp 5.430 per kg atau bahkan kualitas lebih baik (Vietnam 5 persen broken) yang tercatat 340.1 dollar AS per ton atau Rp 5.100 per kg.

Sementara itu, harga jual gabah petani masih cukup "murah", Rp 4.100 per kg, walau lebih mahal dibandingkan harga referensi pembelian pemerintah Rp 3.700 per kg gabah kering panen dengan kadar air 25 persen dan kadar hampa/kotoran 25 persen maksimum. Perbedaan harga yang begitu besar antara harga internasional dan harga dalam negeri serta antara harga tingkat konsumen dan harga tingkat produsen adalah persoalan asimetri informasi yang perlu mendapat perhatian memadai.

Pada saat musim paceklik atau pada saat petani sedang menjadi konsumen beras, harga eceran beras di dalam negeri terlalu mahal sehingga sulit dijangkau oleh petani, terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Pemerintah merasa perlu untuk membantu kelompok prasejahtera melalui paket kebijakan ekonomi tanggal 9 September 2015 untuk menambah penyaluran beras untuk keluarga prasejahtera (sekarang bernama rastra, perubahan dari raskin) sampai bulan ke-13 dan ke-14. Jumlah stok beras yang dikuasai Bulog saat ini 1,5 juta ton-1,7 juta ton, jumlah yang tidak terlalu aman jika untuk mengantisipasi lonjakan harga eceran beras pada November, Desember dan Januari 2016 karena dampak kekeringan El Nino. Indeks El Nino yang saat ini telah mencapai 1,8 derajat celsius (kategori moderat) masih mungkin naik jika sampai akhir Oktober belum turun hujan secara normal.

Solusi yang dapat ditempuh adalah mempertegas penugasan negara kepada Perum Bulog untuk melakukan pengadaan gabah dan beras dalam negeri, tidak secara ad hoc, tetapi lebih permanen. Kewajiban pelayanan publik (PSO) bagi Bulog tidak hanya sebatas penambahan anggaran untuk rastra, tetapi juga pada fleksibilitas pembelian gabah petani.

Bulog tidak boleh kalah gesit dari para tengkulak yang telah menjalankan fungsi door to door mencari gabah petani sampai ke pelosok, terkadang menunggu di pinggir pematang sawah. Pemerintah juga perlu lebih tegas untuk segera mendirikan kelembagaan Badan Pangan Nasional sebagaimana amanat Pasal 126-129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Inkonsistensi kebijakan

Ketiga, rencana impor beras 1,5 juta ton dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar pada akhir tahun ini adalah satu lagi bukti inkonsistensi kebijakan perberasan nasional. Apa pun alasannya, kredibilitas kebijakan pemerintah telah dipertaruhkan walaupun anggaran Kementerian Pertanian pada 2015 telah ditambah dua kali lipat menjadi Rp 32,7 triliun.

Tambahan anggaran sebanyak itu untuk rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,1 juta hektar lahan (Rp 1,32 triliun), pengadaan benih untuk 12.000 hektar lahan tebu (Rp 1,18 triliun), bantuan pupuk untuk 3,6 juta hektar padi dan jagung (Rp 2,33 triliun), dan lain-lain. Rehabilitasi jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru dan ekspansi areal panen di luar Jawa seharusnya mendapat prioritas apabila aspek resiliensi, mitigasi risiko, dan pemerataan pembangunan dijadikan pertimbangan. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa pada keadaan normal, tambahan anggaran untuk investasi di infrastruktur dan proyek fisik lain baru akan memperlihatkan hasil pada tahun ketiga.

Rencana impor beras perlu dilihat sebagai alternatif terakhir dan bukan sebagai rutinitas kebijakan, apalagi sampai terjadi adiksi. Fenomena ketergantungan impor kedelai seharusnya dijadikan pelajaran amat berharga bahwa suatu sistem produksi yang mapan pun dapat roboh dan rusak hanya karena godaan harga murah kedelai impor dari Amerika Serikat. Kesejahteraan petani Indonesia dan masyarakat umum tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada pasar pangan global, apalagi pasar yang terdistorsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar