Mengapa Harus LNG?
Salis S Aprilian ; Presiden Direktur dan CEO PT Badak NGL
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Belum lama ini, tepatnya Maret
2015, Presiden Joko Widodo meresmikan proyek regasifikasi di Arun,
Lhokseumawe. Proyek ini menjadi sangat esensial karena berhasil memanfaatkan
kembali aset Arun LNG yang sudah tidak dioperasikan lagi.
Kargo LNG yang dikirim ke Korea
pada Oktober 2014 merupakan kargo terakhir dari pabrik LNG Arun yang telah
beroperasi hampir empat dekade sejak 1978. Aset berupa tangki-tangki LNG dan
LPG, pipa-pipa, gudang, workshop, pembangkit listrik, perumahan, rumah sakit,
sarana olahraga, kantor, mes, lapangan terbang, termasuk sumber daya
manusianya, menjadi aset yang kembali berharga setelah sempat menjadi isu
kesuraman masa depan kota Lhokseumawe.
Tetap dibukanya pabrik Pupuk
Iskandar Muda (PIM) dan pabrik kertas di sekitar lokasi bekas pabrik LNG Arun
serta terjaminnya suplai gas kota di Lhokseumawe dan sekitarnya menjadi arti
penting bagi para pekerjanya dan harapan baru bagi masyarakat dan pemerintah
daerah di kota kecil di wilayah Aceh timur itu.
Proyek ini terintegrasi dengan
pembangunan pipa gas yang dibangun Pertamina yang membentang dari Arun ke PLN
Belawan (Medan) sepanjang 350 kilometer, yang tercatat sebagai proyek
infrastruktur gas dengan kerumitan dan kompleksitas permasalahan sosial yang
dapat diselesaikan dengan cepat dan tanpa kecelakaan. Untuk memenuhi
kebutuhan konsumen, kemudian dilanjutkan dengan menyambung pipa gas dari
Belawan ke Kawasan Industri Medan (KIM) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Mata
rantai bisnis LNG
Dua proyek besar infrastruktur gas
ini, regasifikasi LNG dan pipanisasi gas, telah berhasil menepis keraguan
atas sulitnya pembebasan lahan dan lambannya proses perizinan serta faktor
nonteknikal lain. Semua pekerjaan rekayasa, pengadaan, hingga konstruksi
dilakukan oleh tenaga Indonesia sendiri.
Sampai saat ini telah diproses
sekurang-kurangnya tujuh kapal kargo LNG dari lapangan Tangguh dan satu kargo
dari Donggi-Senoro LNG (DSLNG) untuk dikirim ke PLN Belawan dan KIM serta KEK
dengan laju pengiriman gas yang terus meningkat. Inilah salah satu wujud
sinergi BUMN, yakni Pertamina-PLN-KIM-KEK, yang menghasilkan manfaat bukan
saja bagi BUMN itu sendiri, melainkan juga masyarakat Aceh dan Sumatera Utara
serta Papua (LNG Tangguh) dan Sulawesi (DSLNG).
Secara nasional, proyek ini telah
mengikat-eratkan persatuan dan kesatuan wilayah negara kepulauan ini.
Mendekatkan antara sumber gas dan para pemakainya. Memanfaatkan sumber daya
alam untuk konsumsi energi di dalam negeri.
Tidak hanya sampai di situ, proyek
ini sedang dilanjutkan dengan Proyek Fase 2 yang tidak kalah menarik, yakni
membangun pembangkit tenaga listrik, sebagai peaker (pemikul beban puncak)
yang dikerjakan PLN di dekat lokasi unit regasifikasi. Proyek ini
diperkirakan selesai tahun ini. Suplai listrik yang nantinya dimanfaatkan
pada saat beban puncak ini akan menerangi kota Lhokseumawe dan daerah-daerah
di Provinsi Aceh serta Sumatera Utara karena sebagian dari mereka sudah terhubung
dengan jaringan PLN yang sudah ada.
Selain itu, di tahun-tahun
mendatang telah disiapkan pula proyek berikutnya, yakni pembangunan filling
station (pusat pengisian) LNG ke truk-truk pengangkut tangki LNG (isotank)
yang akan mendistribusikannya ke konsumen industri, pembangkit listrik,
ataupun moda transportasi yang memerlukannya.
Hal ini terutama untuk mempercepat
pemenuhan kebutuhan akan gas sebagai bahan bakar ataupun bahan baku industri
dan transportasi di tempat yang tersebar. Skema ini sepertinya akan lebih
efisien dibandingkan membangun jaringan pipa gas yang sering terkendala
pembebasan lahan, perizinan, dan tata waktu pembangunannya.
Di samping truk LNG yang akan
mengangkut gas dalam bentuk cair ke konsumen, alternatif lain adalah
membangun filling station di pelabuhan untuk mengakomodasi kapal-kapal kecil
(small scale vessels) yang akan mendistribusikan LNG ke pulau terpencil di
masa mendatang. Tangki-tangki LNG dan LPG yang sudah tidak lagi terpakai
secara optimal juga akan digunakan sebagai LNG/LPG Hub untuk menyimpan
LNG/LPG sementara sebelum didistribusikan ke konsumen. Jika sudah demikian,
lengkaplah mata rantai bisnis LNG untuk memenuhi kebutuhan domestik dan
memperkuat ketahanan energi nasional.
Stasiun
regasifikasi
LNG merupakan gas alam yang
dicairkan dengan kondisi tekanan dan suhu yang sangat ekstrem, yang
menjadikan volume gas menyusut hingga seperenam ratus satuan volume. Dengan
demikian dapat dengan mudah, efektif, dan efisien untuk ditransportasikan
pada jarak yang jauh. Tak seperti CNG (compressed natural gas) yang masih
memerlukan volume yang besar, karena masih berwujud gas, LNG sangat praktis
untuk dibawa dengan angkutan darat ataupun laut sehingga cocok untuk negara
kepulauan seperti Indonesia.
Hal yang perlu segera dibangun
adalah infrastruktur berupa stasiun regasifikasi dalam skala kecil (mini
regasification units) sebagai terminal penerima LNG jika yang akan digunakan
adalah dalam bentuk gas, baik berupa unit yang terapung maupun yang dibangun
di atas tanah (floating atau onland storage and regasification units). Namun,
jika kita tetap ingin menjadikan LNG sebagai bahan bakar atau bahan baku,
kita perlu membangun tangki penampung dan/atau dispenser LNG untuk
mengisikannya langsung ke truk-truk besar di area tambang atau smelters.
Jika infrastruktur dan manufaktur
serta moda transportasi yang berbasis LNG dapat dibangun, impor BBM dan
minyak mentah untuk keperluan kilang BBM dapat dikurangi. Dengan langkah ini,
kita dapat menggunakan minyak mentah, yang semula untuk bahan baku BBM, untuk
pabrik-pabrik petrokimia lain yang memiliki rantai bisnis lebih panjang dan
menyerap tenaga kerja tak sedikit.
Dari sektor hulu migas, penemuan
lapangan gas yang akhir-akhir ini lebih dominan juga dapat menggunakan
teknologi pencairan gas dengan kapasitas yang kecil dan dapat dengan mudah
dipindah-pindahkan (skid mounted mini LNG plant) untuk dimanfaatkan di
lapangan-lapangan gas yang kecil dan tersebar. Kajian teknikal dan komersial
dapat dilakukan dengan lebih terintegrasi.
Demikianlah peran LNG di masa
depan, sebagai sumber energi bersih yang semakin kompetitif harganya untuk
kebutuhan pembangkit tenaga listrik, industri, ataupun transportasi. LNG
menjadi alternatif energi yang harus dijadikan prioritas sebagai jembatan
peralihan dari era minyak ke era gas dan energi terbarukan. Era minyak murah
sekarang sudah pasti akan berakhir dan era gas akan menggantikannya karena
cadangan gas dunia lebih besar dari cadangan minyak. Demikian juga dengan
cadangan gas Indonesia.
Kita tidak perlu membangun pipa
gas antarpulau jika memang sumber gas dan produksi kita juga sudah sangat
menurun dan ada batasnya. Dalam 10-20 tahun ke depan, "banjir LNG"
dari negara-negara baru penghasil LNG, seperti Qatar, Norwegia, Angola,
Mozambik, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, akan mengubah peta bisnis
LNG dunia dan ini harus kita antisipasi.
Lebih baik kita fokus pada kajian
kelayakan penggunaan LNG untuk industri serta transportasi darat dan laut
atau untuk bahan bakar IPP (independent power plant) di daerah terpencil.
Jadikan LNG sebagai energi pemersatu bangsa Negara Kesatuan Republik
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar