Ukraina,
Euromaidan, dan Rusia
Utaryo Santiko ;
Peneliti pada Center for International Relations
Studies (CIReS) Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 05 Maret 2014
Hubungan Rusia dan negara-negara Barat berada dalam episode
ketegangan baru berkenaan dengan kondisi yang saat ini tengah terjadi di
Crimea, wilayah selatan Ukraina.
Jatuhnya
Viktor Yanukovych dari kursi kepresidenan Ukraina sebagai akibat dari krisis
politik yang terjadi sejak akhir tahun lalu di negara tersebut, telah
berkembang menjadi krisis bilateral Rusia-Ukraina, dan bukan tidak mungkin
akan berkembang lebih jauh lagi dengan melibatkan aktor-aktor global lainnya,
termasuk Uni Eropa dan NATO.
Kompetisi Pengaruh
Ketegangan
antara Rusia dan negara-negara Barat berkenaan dengan Ukraina sejatinya bukan
merupakan hal baru. Sepuluh tahun lalu, pada pengujung tahun 2004, ketegangan
serupa juga nyaris muncul bersamaan dengan terjadinya ”Revolusi Oranye” yang
membawa kelompok pro-Eropa Barat pimpinan Viktor Yushchenko dan Yulia
Tymoshenko mengungguli kelompok pro-Rusia pimpinan Yanukovych.
Segera
setelah Yushchenko menjabat sebagai presiden Ukraina, semangat untuk membawa
Ukraina bergabung dengan Uni Eropa dan NATO dikumandangkan. Namun setelah
sepuluh tahun berlalu, cita-cita ”Revolusi Oranye” belum juga dapat dipenuhi.
Konflik internal yang terjadi di dalam tubuh kelompok pro-Eropa Barat membawa
Yanukovych dan kelompok pro-Rusia kembali ke panggung politik Ukraina, hanya
dua tahun setelah terjadinya ”Revolusi Oranye” dan otomatis kembali mengubah
halauan kebijakan luar negeri Ukraina.
Selain
disebabkan perpecahan pada level internal, belum berhasilnya Ukraina untuk
bergabung dengan Uni Eropa dan NATO juga disebabkan oleh kuatnya resistensi
Rusia. Ukraina dan negara-negara pecahan Uni Soviet merupakan wilayah vital
bagi Rusia. Sebagaimana disebutkan di dalam Konsepsi Kebijakan Luar Negeri
Federasi Rusia tahun 2013, upaya untuk membangun kemitraan dengan
negara-negara pecahan Uni Soviet yang tergabung di dalam Commonwealth of Independent States (CIS) dalam wilayah ekonomi
maupun politik dan keamanan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan
luar negeri Rusia.
Secara
khusus, dokumen tersebut menyebutkan keinginan Rusia untuk melibatkan Ukraina
dalam proses integrasi ekonomi Eurasia seiring dengan gagasan besar Rusia
untuk membentuk Eurasian Economic Union.
Dalam wilayah politik dan keamanan, Ukraina dan negaranegara pecahan Uni
Soviet merupakan salah satu poros utama kebijakan luar negeri dan keamanan
Rusia. Sudah sejak lama Rusia menentang keras upaya Ukraina untuk bergabung
dengan Uni Eropa dan NATO.
Bagi
Rusia, keberadaan ”elemen kekuatan asing” seperti NATO dan Uni Eropa di
negara yang berbatasan langsung dengannya merupakan sebuah ancaman langsung
bagi keamanan nasional Rusia. Tidak jarang penolakan ini disampaikan secara
keras, seperti ancaman Rusia pada Februari 2008 untuk mengarahkan rudalnya ke
Ukraina jika negara itu memaksa bergabung dengan NATO dan menyetujui
permintaan Amerika Serikat (saat itu) untuk menempatkan perisai rudalnya di
kawasan Eropa.
Proyeksi Konflik
Kondisi
yang saat ini tengah berkembang di Crimea dikhawatirkan oleh masyarakat
internasional akan berkembang ke arah konflik yang mengkhawatirkan. Hal ini
diperkuat oleh preseden dalam konflik nyaris serupa yang menyeret Rusia dan
Georgia ke dalam ”Perang 5 Hari” pada Agustus 2008. Perang Rusia-Georgia pada
tahun 2008 dipicu oleh upaya warga etnis Rusia di wilayah Ossetia Selatan dan
Abkhazia untuk melepaskan diri dari Georgia yang kala itu juga dipimpin oleh
rezim pro-Eropa Barat.
Upaya
pemerintah Georgia untuk meredam aksi separatisme tersebut kemudian menjadi
pemicu keterlibatan Rusia hingga pada terjadinya perang. Justifikasi yang
digunakan oleh Rusia kala itu adalah kewajiban mereka untuk melindungi warga
etnis Rusia di Ossetia Selatan dan Abkhazia yang terancam keselamatannya
akibat tindakan pemerintah Georgia. Justifikasi yang sama sudah disampaikan
oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam merespons perkembangan situasi di
Crimea.
Persetujuan
Parlemen Rusia atas kebijakan Putin untuk mengerahkan pasukan ke Crimea untuk
melindungi warga etnis Rusia yang menolak pemerintahan baru Ukraina,
dikhawatirkan akan mengarah pada kondisi yang sebelumnya terjadi di Georgia.
Tekanan dan ancaman sanksi yang disampaikan oleh Amerika Serikat melalui
Menteri Luar Negeri John F Kerry serta kecaman dari negara-negara anggota
NATO atas tindakan Rusia, diragukan akan dapat berpengaruh banyak bagi
langkah Rusia.
Ancaman
sanksi berupa pembekuan keanggotaan Rusia di G-8 dan embargo ekonomi tidak
akan berjalan efektif jika tidak dilakukan juga oleh negaranegara Eropa.
Hingga saat ini masih terdapat keraguan pada beberapa negara Eropa mengenai
dampak dari meluasnya konflik di Crimea. Sebagaimana diketahui, hingga saat
ini Rusia adalah pemasok utama kebutuhan gas alam bagi negaranegara Eropa.
Gas alam dari Rusia dialirkan ke Eropa
melalui dua belas pipa gas utama, di mana lima di antaranya dialirkan melalui
Ukraina. Penghentian pasokan gas oleh Rusia melalui Ukraina yang sebelumnya
pernah terjadi pada 2006 dan 2009 telah membuktikan bagaimana vitalnya
pasokan gas dari Rusia bagi negaranegara Eropa. Beberapa negara utama Uni
Eropa seperti Jerman dan Italia, juga telah sejak lama dikenal sebagai mitra
strategis Rusia.
Berdasarkan
pada kondisi itu, langkah mediasi menjadi upaya paling logis yang dapat
dilakukan oleh masyarakat internasional. NATO berada dalam posisi sulit untuk
dapat memenuhi permintaan dukungan dan perlindungan militer yang disampaikan
oleh pemerintah Ukraina, karena Ukraina hingga kini belum menjadi anggota
NATO. Kondisi yang tidak mudah juga dialami oleh Amerika Serikat yang sejak
tahun lalu telah secara penuh menggeser fokus kebijakan luar negeri dan
keamanannya ke kawasan Asia Timur.
Selain
itu, hubungan Amerika Serikat-Rusia juga sebenarnya tengah berada dalam
kondisi yang kondusif pascakebijakan reset dalam penataan hubungan bilateral
kedua negara yang melahirkan perjanjian New START (Strategic Arms Reduction Treaty) yang ditandatangani pada April
2010. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, besar kemungkinan gerakan massa
menjatuhkan Yanukovych yang dikenal sebagai gerakan Euromaidan akan memiliki
akhir antiklimaks bagi Ukraina yang tidak terlalu berbeda dengan ”Revolusi
Oranye” sepuluh tahun yang lalu.
Skenario lebih buruk dapat dialami oleh Ukraina jika memilih untuk
terus melakukan penetrasi militer ke wilayah Crimea tanpa garansi dukungan
dari masyarakat internasional. Bukan tidak mungkin apa yang sebelumnya
dialami oleh Georgia pada 2008 terjadi pada Ukraina, dan mungkin lebih buruk
mengingat gelar militer pasukan Rusia dapat lebih optimal dengan keberadaan
armada Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam yang bermarkas di Sevastopol,
Semenanjung Crimea. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar