Solusi
untuk Kelistrikan Kita
M Jusuf Kalla ;
Wakil
Presiden RI Periode 2004-2009
|
KOMPAS,
03 Maret 2014
SAAT
pulang ke rumah di sore hari, apa yang dilakukan? Umumnya, menghidupkan
lampu, menonton televisi, dan mengisi baterai ponsel. Semua itu butuh
listrik. Di kantor begitu juga. Apalagi perindustrian, semua mesin dan faktor
produksi beroperasi dengan listrik, karena ekonomi baru bisa tumbuh dengan
tersedianya tenaga listrik.
Kalau
penduduk Sumatera Utara marah dan memprotes kekurangan listrik, hal itu tentu
dapat dipahami karena kehidupan sehari-hari dan ekonomi mereka terganggu.
Itulah, karena dari sisi mana pun listrik sudah menjadi kebutuhan pokok kita.
Hal ini tentu diketahui dan disadari pemerintah, tetapi tak diatasi dengan
baik. Bahkan, daripada bekerja menyelesaikan masalah, menteri lebih memilih
menyalahkan padamnya listrik kepada pemerintah terdahulu. Mereka lupa bahwa
pemerintah terdahulu presidennya SBY juga.
Pada
2005, pemerintah menghadapi situasi sangat sulit. Akibat kenaikan harga
minyak, subsidi energi melebihi Rp 200 triliun, subsidi listrik Rp 50
triliun. Adapun pada waktu itu kapasitas PLN hanya 25.000 MW, sebanyak 6.000
MW di antaranya menggunakan diesel yang mahal biaya operasinya. Kebijakan
yang ditempuh harus drastis agar negara keluar dari masalah besar, dengan
cara mengurangi subsidi atau menaikkan harga BBM; mengurangi pemakaian
listrik dengan penghematan besar-besaran, seperti lampu reklame dan jam buka
mal dikurangi, pembatasan siaran televisi hanya sampai pukul 12 malam, AC
kantor hanya boleh 25 derajat celsius sehingga karyawan tidak nyaman lagi
memakai jas, lalu beralih ke batik yang menjadi tren sampai sekarang.
Dengan
upaya itu, ekonomi kita selamat dan bertumbuh baik. Langkah berikutnya,
konversi minyak tanah ke elpiji untuk mengurangi subsidi BBM dan hasilnya
menghemat subsidi Rp 50 triliun per tahun. Dari sisi pembangkit listrik harus
ditambah daya dengan proyek 10.000 MW yang harus dibangun cepat, yakni
membangun PLTU batubara yang biaya listriknya sekitar 7 sen dollar AS per
KwH, menggantikan pembangkit bertenaga diesel yang biaya operasionalnya lima
kali lebih mahal, 35 sen dollar AS per KwH.
Waktu
itu, beberapa anggota direksi PLN meminta pembangunan pembangkit baru hanya
3.000 MW. Namun, saya tegas menerapkan 10.000 MW, yang tahap awalnya (tahap
I) dimulai 2007. Jika kita mau konsisten membangun ekonomi dan memenuhi
kebutuhan masyarakat, kita seharusnya membangun pembangkit dalam jumlah yang
sama setiap tiga tahun. Dengan perhitungan, kebutuhan listrik setiap tahun
naik 15 persen karena pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, gaya hidup,
penyusutan, dan penghapusan diesel. Di samping untuk ketahanan pasokan
listrik, harus tersedia cadangan daya 30 persen. Karena saat ini cadangan
listrik kita hanya sekitar 15 persen, sulit melakukan perawatan pembangkit.
Bandingkan dengan Singapura yang punya cadangan hampir 100 persen.
Mengapa
tiga tahun? Karena pembangunan pembangkit listrik membutuhkan waktu
pengerjaan konstruksi paling cepat tiga tahun. Ketika pembangunan pembangkit
listrik tahap I tahun 2007 dimulai, dana APBN dan PLN tak ada, maka harus
pinjam dan crash program. Saya sampaikan kepada Presiden SBY waktu itu, ”Kalau pembangunan pembangkit listrik
tidak dipercepat, pada akhir masa jabatan 2009 akan terjadi krisis listrik.”
Beliau pun langsung setuju.
Mengapa buatan China?
Pengadaan
dilakukan melalui tender terbuka dan hanya China yang mampu mengerjakan
dengan cepat serta dukungan kredit berikut harga yang lebih murah. Mengingat
pembangkit China memang tidak sebaik Siemens atau GE, pada saat pemesanan PLN
secara khusus menyewa konsultan dari Eropa untuk menjaga kualitas pembangkit.
Kredit, yang semula semua berasal dari China, oleh menteri keuangan diubah
sebagian ke bank asing dan domestik dengan jaminan pemerintah. Di China
kapasitas listriknya sekitar 600.000 MW dan sebagian besar dengan mesin
mereka sendiri, yang faktanya beroperasi dengan baik. Pembangkit di China seluruhnya
berkapasitas besar di atas 600 MW mengingat kebutuhan industri yang besar dan
mereka umumnya di mulut tambang dan memiliki National Grid.
Kita
negara kepulauan yang kebutuhannya berbeda-beda dan tentu tak tersedia
jaringan transmisi nasional. Sejarah pembangkit listrik buatan China di
Indonesia, pertama kali digunakan sejak tahun 2000 oleh perusahaan listrik
Dahlan Iskan di Kalimantan dan pabrik semen Tonasa yang tetap beroperasi baik
hingga kini.
Nasib listrik 10.000 MW
Rencana
proyek 10.000 MW itu seharusnya selesai tahun 2010/2011, tetapi karena
perhatian pemerintah dan PLN dalam mengatasi masalah seperti lahan dan
teknisnya serta progres kontraktornya tidak maksimal, maka sampai tahun 2014
yang rampung hanya sekitar 8.000 MW. Padahal, dalam kurun waktu sama,
pembangunan PLTU Bosowa di Sulawesi Selatan dapat diselesaikan hanya dalam
tempo 2,5 tahun karena perhatian yang baik.
Tanpa
crash program yang telah dilaksanakan pemerintah sebelumnya, seluruh
Indonesia akan kesulitan listrik saat ini. Sayangnya, kini pemerintah dan PLN
kelihatan kurang serius dengan penyelesaian sisa proyek dan justru memilih
menyewa ratusan mesin diesel yang mahal. Akibatnya, subsidi listrik yang
tahun 2009 sudah dihemat hingga hanya Rp 50 triliun sekarang naik menjadi Rp
100 triliun per tahun. Suatu ironi yang luar biasa sebab artinya terjadi
penambahan subsidi Rp 250 triliun selama kurun waktu lima tahun. Dana ini
sekiranya digunakan untuk membangun pembangkit listrik, negeri ini dapat
menambah pasokan listrik sebesar 20.000 MW dan masalah pun selesai. Namun,
apa yang terjadi saat ini, uang habis dan negara tetap kekurangan listrik
sehingga pemadaman bergilir pun tetap terjadi di beberapa daerah.
Setelah
proyek tahap I tahun 2007 berjalan, tahun 2008 dirancang proyek tahap II,
juga 10.000 MW yang seharusnya dimulai tahun 2010 dengan menggunakan
teknologi ramah lingkungan, seperti geotermal, hidro dan gas, agar terjadi
bauran energi yang baik. Tetapi belum banyak diketahui proyek ini dijalankan
atau tidak karena pertumbuhan kapasitas PLN dari tahun 2006 ke 2013 sebesar
8.000 MW sebagian besar masih merupakan peninggalan proyek 10.000 MW tahap
pertama.
Peran swasta
Di
samping pembangunan PLN, dibuka kesempatan kepada swasta membangun pembangkit
yang produksinya dijual ke PLN. Swasta dipermudah dengan kebijakan harga yang
saling menguntungkan. Kebijakan ini akan menghasilkan investasi swasta yang
baik. Apalagi harga listrik swasta masih jauh lebih murah dibandingkan dengan
pembelian listrik PLN dari Malaysia. Dewasa ini, dengan kebijakan tak jelas
dan rumit, minat swasta bisa menurun, diperparah lagi dengan pembebasan lahan
yang sulit. Tanpa upaya keras pemerintah, target akan sulit dicapai. Lihatlah
proyek listrik 2.000 MW di Batang yang mangkrak. Menurut Bupati Batang Yoyok,
pembebasan lahan dapat dibereskan apabila pejabat pusat membantu.
Menyangkut
hambatan seperti ini, saya teringat kerap keliling dengan helikopter ke
daerah meninjau pembangunan pembangkit listrik untuk membantu mengatasi
apabila terjadi kesulitan. Selain hambatan lahan seperti di Batang, negosiasi
panjang tanpa akhir akibat ketakutan pengambilan kebijakan juga jadi kendala
serius. Dampaknya akan terjadi lagi krisis listrik dalam dua tahun ke depan.
Untuk
mengatasi krisis listrik di Sumatera dapat dilakukan dengan cara seluruh daya
600 MW proyek Inalum yang baru diambil pemerintah sebaiknya dipakai untuk
PLN. Adapun pabrik Inalum untuk sementara dihentikan sambil dilakukan
perbaikan mesin mengingat teknologi Inalum sudah uzur dengan usia 30 tahun.
Sewa listrik 600 MW selama tiga tahun dapat digunakan pemerintah untuk
membayar lunas harga Inalum berikut biaya modernisasi mesinnya.
Kasus penahanan pegawai PLN Sumatera Utara yang merawat pembangkit dan
pengusaha pemasok peralatan tanpa alasan yang kuat akan menjadikan
kekhawatiran tersendiri, dan akan menurunkan semangat staf PLN merawat mesin
yang bisa berakibat fatal untuk operasi. Belum lagi keterlambatan pembangunan
transmisi di beberapa tempat sehingga pembangkit selesai, tetapi tidak bisa
dimanfaatkan. Pada saat yang sama sewa diesel terus berjalan yang memperbesar
angka subsidi. Karena itu, ketidakseriusan dan rasa takut mengambil
keputusan/kebijakan serta membiarkan negara membayar mahal subsidi listrik
jadi penghambat kemajuan ekonomi dan menghalangi pemenuhan kebutuhan listrik
rakyat. Sekadar rapat, mengeluarkan surat
keputusan dan berwacana tidak akan menyelesaikan masalah. Pada akhirnya,
hanya kerja nyata dengan program yang jelaslah yang dapat menjadi solusi atas
masalah yang dihadapi bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar