Sertifikasi
Halal
Benni
Setiawan ; Dosen
Universitas Negeri Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
01 Maret 2014
Memalukan.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan "jual-beli" sertifikasi halal oleh oknum Majelis Ulama
Indonesia (MUI). MUI, sebagai kumpulan orang alim (berilmu) dan menjadi
corong umat Islam, ternyata belum mampu membentengi diri terhindar dari "urusan dunia". Mereka
seakan tidak ada bedanya dengan manusia lain yang culas dan korup. Mereka
hidup bergelimang kemewahan dan kedudukan yang diraih tanpa kerja keras dan
menggadaikan idealisme. Ironisnya, dalam sertifikasi halal, mereka menjual
ayat-ayat Tuhan dengan harga murah.
Terungkapnya "jual-beli" sertifikasi halal
ini mengingatkan saya akan perkataan Profesor M. Amin Abdullah enam tahun
lalu. Saat perkuliahan "Pendekatan
dalam Pengkajian Islam", mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga itu
menyatakan, sertifikasi halal selayaknya diberikan kepada universitas
(perguruan tinggi). Guru besar bidang filsafat Islam itu beralasan, melalui
pengkajian berbasis integratif-interkoneksi, labelisasi/sertifikasi
halal/haram dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Lebih lanjut,
ia menyatakan sertifikasi halal bukan hanya domain ilmu agama. Tapi juga
berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pasalnya, dalam menyatakan bahwa daging
babi itu haram tidak hanya berdasar pada narasi besar dalam teks Al-Quran.
Tapi juga perlu pengkajian tentang ilmu biologi, kimia, dan gizi. Pengkajian
ilmu itu tentu menjadi keseharian akademisi di perguruan tinggi.
Pendapat
tersebut tentu sangat beralasan. Pasalnya, jika sertifikasi halal mutlak
hanya menjadi milik MUI, yang terjadi adalah "monopoli fatwa". Artinya, perspektif kehalalan hanya
muncul dari satu bidang ilmu. Padahal ilmu tidak berdiri sendiri. Ia
berkaitan dengan bidang ilmu lain.
Monopoli fatwa
ini pun cenderung menyeret oknum di dalamnya bersikap tidak independen.
Mereka akan mudah tergoda oleh banyaknya uang yang digelontorkan pengusaha
demi mendapatkan stempel halal.
Uang pun
kembali menunjukkan kuasanya. Ia dapat membeli kehendak seseorang. Uang
mengendalikan alam bawah sadar dan kesalehan menuju pengingkaran keimanan dan
kemaslahatan (kepentingan orang banyak).
Oleh karena
itu, sudah selayaknya sertifikasi halal tidak hanya menjadi pekerjaan utama
MUI. MUI seyogianya menyerahkan pengkajian kehalalan kepada perguruan tinggi.
Sertifikasi halal yang dilakukan oleh perguruan tinggi pun dapat menjauhkan
ulama dari kepentingan duniawi. Kedudukan ulama dikembalikan sebagai lentara
umat. Ia senantiasa menerangi dan menyatu dalam nadi kehidupan bermasyarakat.
Labelisasi
ulama suu' (buruk) pun akan lenyap
dengan sendirinya. Pasalnya, ulama jauh dari "pekerjaan" yang dapat menyeret mereka ke dalam lembah
kenistaan.
Lebih dari itu,
sertifikasi halal merupakan pintu masuk ketenteraman batin umat Islam. Guna
menjamin itu, meminjam istilah Imam al-Ghazali (w. 1111 M)-dalam merumuskan
tujuan adanya syariat (maqasid syariah)--aktivitas
penghalalan selayaknya juga mencerminkan kerja intelektual yang menjamin
pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs)
dan menjamin optimalisasi kerja akal (hifz
al-aql).
Pada akhirnya,
dugaan "jual-beli"
sertifikasi halal oleh oknum MUI selayaknya menyadarkan semua pihak bahwa
kehalalan bukan hanya menjadi ranah keagamaan an sich, tapi juga berkaitan erat dengan produk keilmuan lain
(hajat hidup orang banyak). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar