Rismaharini
sebagai Politik Harapan
Yudi Latif ;
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
04 Maret 2014
|
DRAMA
politik yang menyedot perhatian publik itu beruntung tak berujung sendu (sad end). Dengan jurus diplomasi
kekeluargaan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati
Soekarnoputri, disertai bintang pendampingnya, Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo, berhasil meyakinkan ”Superwali” Tri Rismaharini untuk tetap bertahan
memenuhi harapan publik.
Peristiwa
ini mengisyaratkan banyak hal. Sumber pesimisme dan apatisme publik terhadap
politik tidaklah terletak pada ”sisi permintaan” (demand side), seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat,
pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sumber itu
sebaliknya terletak pada kelemahan ”sisi penawaran” (supply side) dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk
membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat
dipercaya, seperti Tri Rismaharini, kegairahan warga untuk terlibat secara
politik kembali menguat.
Menurut
Donna Zajonc dalam The Politics of Hope,
untuk membangkitkan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap
anarki, tradisionalisme, dan apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang
sadar. Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika
pemenuhan kepentingan pribadi yang menghancurkan sensibilitas pelayanan
publik.
Pada
tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarjinalkan
orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi
tidak membuat rakyat berdaya justru membuatnya apatis.
Pada
tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya
merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami
kesalingtergantungan realitas serta kesediaan melayani kepentingan publik
dengan menerobos batas-batas politik lama.
Kekuasaan
digunakan untuk memotivasi dan memberikan inspirasi keteladanan yang
memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya
keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong
merealisasikan kebajikan bersama.
Masalah
terbesar demokrasi di negeri ini adalah mismatch antara ledakan pemburu
jabatan politik di satu sisi dan merosotnya kepercayaan rakyat kepada
pemimpin politik di sisi yang lain. Situasi ini bisa membuat demokrasi
bersifat korosif dan koruptif. Seperti dikatakan Montesquieu, ”Prinsip demokrasi dikorup bukan saja
ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang
ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”
Orang-orang eksentrik
Untuk
memulihkan kepercayaan rakyat pada politik, yang diperlukan bukan sekadar
pemimpin yang baik, melainkan pemimpin dengan kekhasan eksentrisitas, yang
mengindikasikan kekuatan karakter, kebesaran jiwa, dan keliaran visi
perubahan. Pemimpin yang tidak memedulikan bagaimana bisa dipilih ulang,
tetapi memedulikan bagaimana keterpilihannya dijadikan pintu masuk bagi
dekonstruksi dan rekonstruksi tata kelola pemerintahan secara sistemik.
Kreativitas
sosial dan transformasi masyarakat memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. Dalam
hal ini, John Stuart Mill menengarai, ”Jumlah
eksentrisitas dalam masyarakat pada umumnya proporsional dengan jumlah
genius, kekuatan mental, dan keberanian moral yang dikandung masyarakat
tersebut.” Defisit orang-orang eksentrik berkarakter, yang memiliki
kekuatan mental, kebernasan gagasan dan keberanian moral untuk mengambil
pilihan, menimbulkan rintangan besar dalam transformasi bangsa.
Desain
institusi politik yang menekankan pada sumber daya alokatif (kekuatan
finansial) ketimbang sumber daya otoritatif (kapasitas-karakter) menyempitkan
kesempatan orang-orang eksentrik untuk memainkan peran politik. Padahal,
terdapat sejumlah pengalaman empiris. Begitu partai politik memberikan
kesempatan kepada figur-figur eksentrik untuk diusung menjadi pemimpin
politik, prestasi kepemimpinan menggembirakan dan kepercayaan rakyat pada
politik pulih kembali.
Superwali Risma adalah contoh persenyawaan yang baik antara
eksentrisitas tokoh dan kesediaan partai untuk mengusungnya tanpa
pertimbangan uang. Eksentrisitas Ibu Wali terlihat dari paradoks
antara keluguan perangai dan keberanian bertindak; kesantunan berbusana
muslimah dan keliaran visi; kesederhanaan penampilan dan ekselensi pelayanan
serta kerapian tata kota; kemungilan tubuh dan kebesaran jiwa; antara
keurakan ala ”bonek” dan kelembutan welas asih.
Menjadi
wali kota tanpa kobaran ambisi dan modal membuatnya tidak mengalami konflik
kepentingan dan berani bertindak; nothing
to lose. Dalam waktu singkat, Surabaya yang dalam istilah Lewis Mumford
bisa dilukiskan sebagai kota ”heterogenik” (penuh ambiguitas, kekumuhan,
kekerasan, kemiskinan, disintegrasi, dan anarki) bisa disulap menjadi kota
”ortogenetik” (mengekspresikan tatanan keindahan, keadaban, dan keadilan).
Pada
akhirnya, Sang Superwali benar-benar membuktikan keagungan politik seperti
yang disebutkan oleh Harry Truman, ”Politik—politik
luhur—adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan tempat
manusia menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau
negaranya selain dalam politik yang baik.”
Kita harus mengkloning Sang Superwali ke kota-kota
lain di negeri ini agar kepercayaan warga pada politik bisa dipulihkan dan
negeri sebesar serta seluas Indonesia bisa meraih marwah dan kejayaan yang
sepadan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar