Pendidikan
Kesejarahan
Naufil Istikhari Kr ; Peneliti
Psikologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
UIN Sunan
Kalijaga
|
KOMPAS,
24 Maret 2014
Menurut
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud Ibnu Hamad, kurikulum—lebih
tepatnya Kurikulum 2013—mengandung strategi kebudayaan yang bergerak dari
sejarah ke kesadaran menuju peradaban. Rancangan Kurikulum 2013 bersifat
eklektik. Berbagai pendekatan, seperti pengakuan Hamad, diambil guna
mempersiapkan anak didik yang tangguh mental serta ”siap pakai”. Terdapat
pendekatan scientific base yang
diadopsi dalam rangka melahirkan generasi positivis (Comte) dan fungsionalis
(Van Peursen). Tak lupa pula adanya aksentuasi pendekatan active learning yang dimasukkan untuk
membidani lahirnya generasi teknologis-informatif (Dissanayake dan Toffler).
Eklektisisme
dalam Kurikulum 2013, meski banyak yang pesimistis, saya kira mengandung
beberapa sisi positif untuk siswa. Salah satunya adalah dapat memantik proses
berpikir divergen, yakni suatu model berpikir yang dalam psikologi pendidikan
dianggap sebagai syarat utama timbulnya kreativitas tanpa batas.
Saya pun
senang ketika membaca penjelasan Hamad tentang tujuan yang inheren dalam Kurikulum
2013. Menurut dia, pola semacam itu dapat mendorong siswa berani mengamati (observing), menanyakan (questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting), dan membentuk jejaring
(networking). Siswa, kata dia,
didorong untuk mencari tahu, bukan diberi tahu (discovery learning).
Melihat
rancangan seperti di atas, sudah tercium hawa progresif di sana. Artinya,
Kurikulum 2013 sudah mendemonstrasikan langkah visioner dalam menyongsong
seabad Indonesia pada tahun 2045. Meski demikian, ada persoalan penting yang
perlu segera diklirkan di sini. Persoalan itu menyangkut isi dan materi.
Perlu
diingat, sebagai manifestasi strategi kebudayaan, pendidikan harus mengikuti
pendulum kesejarahan baru akan timbul kesadaran lalu peradaban. Tak mungkin
kesadaran akan hadir tanpa menggali kedalaman sejarah. Sejarah jadi tak
sekadar ”semata-semata”, tetapi menjadi hal yang pertama dan utama.
Itu
tidak berarti kita tak bisa lepas dari pengaruh masa lalu, seperti teori
psikoanalisisnya Freud. Sejarah adalah—dalam bahasa Jung—panggung arketipe
manusia yang menyimpan pesan-pesan berharga. Kita bisa belajar dari sana.
Menyebut-nyebut kosakata sejarah di Indonesia ibarat igauan yang lepas ketika
tidur lelap. Di titik inilah problemnya bermula.
Negara ahistoris
Sebagai strategi
budaya, Kurikulum 2013 tak bisa memisahkan diri dari akarnya. Kebudayaan
merupakan batang yang penopangnya adalah akar-akar bernama kesejarahan.
Menghidupkan batang sudah tentu harus memedulikan akar. Memisahkan perhatian
terhadap keduanya akan berakhir percuma.
Kalau
mau jujur, dimensi kesejarahan kita terlalu goyah. Negara yang punya sejuta
sejarah diam-diam meninggalkannya dengan sengaja. Walaupun Bung Karno lantang
berteriak, ”Jangan sekali-kali
melupakan sejarah”, toh amanat itu pada akhirnya tak dihiraukan.
Mudah
diterima ketika Peter Carey, dalam sebuah acara di Bentara Budaya Jakarta, 6
Maret, menyebut Indonesia hidup dalam kekosongan historiografi. Bahkan,
katanya, orang Indonesia lebih akrab dengan budaya Barat dibandingkan warisan
budayanya sendiri yang unik. Carey adalah peneliti asing yang sudah 40 tahun
meneliti riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Bukti
lain yang menguatkan ahistorisitas negara kita dapat ditemukan pada banyak
Indonesianis asing yang serius meneliti sejarah Indonesia. Sangat sedikit
peneliti Indonesia yang total menekuni sejarah. Jika kita ingin melacak
sejarah Jawa, misalnya, terpaksa kita berutang jasa kepada Denys Lombard
(Perancis) dan Thomas Stamford Raffles (Inggris). Belum lagi HJ de Graaf
(Belanda) yang menulis sejarah Mataram, Clifford Geertz (AS) tentang tipologi
masyarakat Jawa, Benedict Anderson (AS) tentang sejarah politik Indonesia,
Martin van Bruinessen (Belanda) tentang Islam Indonesia, dan masih banyak
lagi yang lain.
Begitu
pun dalam konteks sejarah lokal. Ambil contoh Madura. Peneliti asing jauh
lebih banyak ketimbang peneliti lokal. Sebut saja Huub de Jonge dan Elly
Touwen-Bouwsma (Belanda) serta Hèlèna Bouvier dan Glenn Smith (Perancis).
Fakta ini menjadi saksi betapa bangsa kita miskin inisiasi untuk menengok
sejarahnya sendiri.
Orientasi sejarah
Langkanya
sejarawan—yang ini berdampak pada riskannya kebudayaan—tentu disertai banyak
faktor. Namun, ada satu di antara yang banyak itu, yang saya kira paling
primordial, yaitu faktor pendidikan kesejarahan. Sejak bangku SD hingga SLTA,
pelajaran sejarah tidak begitu ditekankan. Selain itu, buku-buku mata
pelajaran sejarah banyak sekali mengalami distorsi.
Sudah
menjadi rahasia umum di Indonesia mengenai banyaknya angka penggelapan
sejarah. Sejarah diproduksi untuk kepentingan penguasa. Yang dibuka terbatas
pada sejarah-sejarah yang dianggap resmi dan sah. Sensor buku sejarah
menyebabkan pola pikir siswa tentang sejarah menjadi sempit dan satu arah.
Selain penuh kepalsuan, tentu pelajaran demikian dapat mengundang rasa bosan.
Rezim
Orde Baru mengubah wajah sejarah agar masyarakat turut mengutuk orang-orang
kiri dengan amarah. Pejuang sekaliber Tan Malaka (1879-1949) yang dinobatkan
pahlawan oleh Bung Karno tak pernah disebut dalam buku ajar. Pokoknya, apa
pun yang berbau ”kiri” disimpan rapi-rapi. Justru, lagi-lagi, Harry A Poeze
(Belanda) yang setia meneliti biografi Tan Malaka, padahal dia bukan orang
Indonesia. Buku Poeze hingga sekarang mencapai enam jilid.
Saya
kira, hal-hal semacam ini penting dielaborasi dalam Kurikulum 2013. Jangan
sampai sejarah dibiarkan beku terbonsai kepentingan penguasa. Sejarah perlu
dibuka, diajarkan apa adanya, dan ditulis berdasarkan fakta yang sungguh
nyata. Ragam pendekatan dalam Kurikulum 2013 sudah cukup maju untuk
menciptakan generasi baru.
Wawasan
kesejarahan perlu dibentangkan di dalam peta kognitif siswa. Tentu saja
sejarah yang jauh dari rekayasa. Ini tidak lain karena generasi berbudaya tak
akan tercipta tanpa landasan sejarah. Siswa perlu diajak menyelami akar
sejarahnya sendiri tanpa dibatasi, apalagi ditakuti.
Sebab,
tanpa merevisi buku ajar yang berorientasi pada sejarah, kurikulum sebagai
strategi budaya akan hambar dan sia-sia. Hanya dengan reorientasi pendidikan
kesejarahan generasi kini akan lebih menghargai narasi panjang bangsanya
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar