Peluang
Kudeta Konstitusional Pemilu 2014
Soleman
B Ponto ; Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI
2011-2013
|
TEMPO.CO,
28 Februari 2014
Pada 23 Januari
2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Namun, aneh tapi nyata, undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK
dinyatakan masih dapat dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2014.
Dengan
demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu
2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya
inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang,
baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena
menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Akibat
inkonstitusional Pemilu 2014, sangat mungkin pihak terkait, baik para
pendukung status quo maupun yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk
menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan
terjadi dua kubu yang saling klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini
berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang. Maka
yang akan terjadi adalah keadaan chaos,
yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa
terjadi karena alamiah atau bisa pula rekayasa oleh pihak yang mau mengambil
atau mendapat keuntungan oleh kondisi
ini.
Dalam kondisi chaos inilah, apalagi kalau sudah
menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, posisi TNI menjadi sangat penting.
Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota TNI
akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta
tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan,
"Tugas pokok TNI adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara."
Sudah sangat
jelas positioning TNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada pihak yang
mendukung pelaksanaan UUD45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga
ia harus menjaga keutuhan bangsa. Bila
keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos,
TNI wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi
pemberontakan bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2
Undang-Undang No. 34/2004.
Di sisi lain,
dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaos yang mengarah ke perang saudara,
karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori konflik bersenjata
internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum humaniter. Ini
artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal
ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi
chaos berada di tangan TNI.
Bila TNI tidak
bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai
pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya
korban. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang
bertugas di Timor-Timur dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan
pembiaran sehingga menyebabkan perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi
saat ini sangat jelas perintah undang-undang kepada TNI agar menegakkan
kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga keutuhan bangsa.
Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan apabila
tidak melaksanakan sumpahnya.
Memang, dalam
UU TNI Pasal 17 ayat (1) disebutkan, "(1)
Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada
Presiden." Juga dalam Pasal 7
ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan tentang operasi militer untuk perang maupun
selain perang dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik
negara. Pertanyaan besarnya, bagaimana TNI harus tunduk ketika posisi
presiden maupun DPR dianggap tidak berdasarkan UUD 1945?
Dengan
demikian, sangatlah jelas keputusan MK--yang membenarkan penggunaan
undang-undang yang bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dalam Pemilu 2014--akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun memang dengan sengaja
direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaos terjadi, terbuka peluang TNI melakukan "kudeta"
konstitusional atau kudeta yang di perintah oleh undang-undang.
Nah,
supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan
pada Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda
daripada tidak legitimated. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar