Paradigma
Iklan Kampanye
Augustinus Simanjuntak ;
Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas
Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 04 Maret 2014
|
EMPAT
lembaga, yaitu KPU, Bawaslu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi
Informasi Pusat (KIP) telah menyepakati moratorium iklan kampanye Pemilu
April 2014. Mereka sepakat bahwa batas maksimum iklan 10 spot dengan durasi
maksimum 30 detik per hari untuk stasiun televisi dan 10 spot berdurasi
maksimum 60 detik per hari untuk stasiun radio selama masa kampanye.
Lalu,
pada masa tenang, segala bentuk pemberitaan, rekam jejak, dan program yang
mengandung unsur kampanye dilarang muncul di lembaga penyiaran (Jawa Pos,
1/3). Harapannya, dengan moratorium semua partai politik (parpol) peserta
pemilu, termasuk calon presiden (capres) dan calon legislatif (caleg) mampu
bersaing secara sehat dan tertib. Dengan begitu, publik bisa terfokus pada
penilaian esensi iklan. Masyarakat butuh iklan yang jujur dan berkualitas
untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang parpol, capres dan
caleg.
Iklan
memang berperan besar dalam memengaruhi pilihan masyarakat. Bahkan, menurut
Walter Muelder dalam bukunya berjudul Foundations
of the Responsible Society, pemasangan iklan merupakan tindakan yang
berjasa bagi masyarakat. Parpol, capres, dan caleg yang telah menghabiskan
biaya besar untuk memasang iklan di media massa dan alat peraga (banner,
spanduk, dan baliho) tergolong berjasa dalam membiayai proses demokrasi.
Apalagi, jika parpol, capres, dan caleg menampilkan bukti-bukti nyata tentang
ragam karya dan prestasinya di masyarakat selama lima tahun terakhir.
Hanya,
proses demokrasi ini belum lengkap jika biaya iklan hanya mampu dijangkau
oleh parpol/caleg berkantong tebal. Atau, donatur kampanye (terutama
pebisnis) lebih mendukung parpol/caleg yang menguntungkan bisnis di kemudian
hari ketimbang parpol/caleg yang berkomitmen terhadap politik yang
berintegritas. Idealnya, donatur perlu mengaudisi parpol dan caleg yang akan
didukung berdasarkan komitmen terhadap kejujuran, kerja-keras, dan keadilan.
Jika
donasi kampanye hanya untuk mengamankan atau menguntungkan bisnis donatur,
persaingan dalam pemenangan pemilu berlangsung secara tidak sehat. Proses
pemenangan pemilu akhirnya berpola driven
by money, bukan lagi driven by
morality. Bahayanya, pasca pemilu nanti muncul intervensi ilegal dan
permintaan donatur sebagai imbal jasa. Misalnya; jatah mendapat proyek
pemerintah, fasilitas pajak, dan kompromi atas kegiatan usaha yang berbahaya
terhadap lingkungan hidup.
Karena
itu, Hatrik (1996) menggolongkan intervensi ilegal sebagai bentuk kejahatan
korporasi yang bisa merusak sistem dan moralitas pemerintahan. Berpedoman pada
teori A.D. Farbey dalam bukunya berjudul How
To Produce Successful Advertising, iklan politik memiliki tiga tujuan
penting. Pertama, menumbuhkan kesadaran politik masyarakat dalam berdemokrasi
demi berkurangnya angka golongan putih (golput). Kedua, membujuk masyarakat
untuk percaya atas program-program parpol/caleg. Ketiga, peluncuran program
baru yang realistis dan sangat dibutuhkan masyarakat.
Intinya,
iklan politik merupakan sarana strategis dalam mengubah arah dan sikap
politik masyarakat. Salah satu pola iklan politik yang tidak etis ialah iklan
yang sifatnya mengumpan masyarakat (bait
and switch political advertising). Misalnya, parpol yang tidak cukup
peduli dengan upaya pemberantasan korupsi ternyata berani memasang iklan
berisi propaganda antikorupsi ketika kampanye guna mendulang suara. Padahal,
iklan kampanye seharusnya menekankan iktikad baik dan kualitas informasi yang
dibutuhkan masyarakat.
Iklan dan Personal Brand
Persoalannya,
apakah parpol sudah mengusung capres dan caleg yang prestasinya diakui
masyarakat? Capres dan caleg yang sudah terkenal dan reputasinya telah diakui
masyarakat tidak perlu memasang iklan yang berlebihan atau hyper-reality. Sebaliknya, ketiadaan
prestasi capres dan caleg akan menuntut pemasangan iklan yang banyak
mengumbar janji atau slogan supaya bisa memengaruhi pikiran pemilih.
Capres
dan caleg yang hanya bermodal setoran uang ke kas parpol sebenarnya malah
merugikan parpol itu sendiri. Sebab, lebih mudah mengiklankan capres dan
caleg yang sudah terkenal dan berprestasi daripada capres/caleg yang
tiba-tiba muncul dalam pentas politik gara-gara kekuatan uang. Tokoh yang
sudah memiliki personal brand yang kuat tidak perlu menghabiskan biaya besar
untuk memasang iklan. Bahkan, tokoh-tokoh yang sudah bereputasi sangat baik
di masyarakat bisa mengangkat elektabilitas parpol yang merekrutnya sebagai
capres atau caleg.
Sebenarnya,
ada banyak tokoh nonparpol yang bereputasi kuat di masyarakat. Misalnya,
berdasar riset Political Communication
Institut (Polcomm Institute),
Menteri BUMN Dahlan Iskan didapuk sebagai sosok capres alternatif nonparpol
yang paling disukai publik dengan tingkat kemampuan yang lumayan (18,7
persen), disusul Irman Gusman (11,9 pesen), Ali Masykur Musa (11,2 persen),
Mahfud M.D. (10,3 persen), dan Gita Wirjawan (8,7 persen).
Dari
perspektif bisnis, nilai personal brand
tokoh-tokoh nonparpol tersebut sebenarnya sudah masuk ke dalam kelas iklan
yang mahal andaikata mereka dijadikan bintang iklan suatu produk bisnis.
Artinya, publik telah mengakui dan mengenal mereka sebagai tokoh berprestasi
berdasarkan kinerja, integritas, dan profesionalitas. Bahkan, elektabilitas
sebuah parpol dan para calegnya otomatis bakal naik jika tokoh-tokoh
bereputasi itu direkrut menjadi capres.
Perlu diingat bahwa membangun reputasi atau personal brand itu butuh
proses dan perjuangan panjang. Karena itu, tokoh-tokoh yang saat ini memiliki
elektabilitas tinggi seharusnya diperebutkan parpol sebagai aset mahal yang
berpotensi besar menaikkan elektabilitas. Sungguh keterlaluan jika
tokoh-tokoh bereputasi baik malah dimintai uang oleh parpol untuk bisa
diusung sebagai capres atau caleg. Justru sebaliknya, parpol seharusnya
berani membayar harga yang mahal untuk merekrut tokoh-tokoh berprestasi masuk
ke dalam parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar