Novel
dan Sejarah
Bakdi Soemanto ;
Sastrawan
|
KOMPAS,
02 Februari 2014
Pada
waktu almarhum A Teeuw menyiapkan sejumlah doktor sastra di Universitas
Gadjah Mada, kurang lebih akhir 1970-an dan awal 1980-an, muncullah
perdebatan di sejumlah perguruan tinggi yang mempunyai fakultas sastra, yakni
sastra itu dokumen atau monumen.
Diskusi
seperti ini sumbernya dari A Teeuw, yang ingin dengan tegas membedakan antara
karya sastra (fiksi) dan yang bukan sastra (nonfiksi). Berbarengan dengan
itu, A Teeuw juga menyebarkan isu diskusi bahwa sastra, seperti dikemukakan
oleh Rene Wellek dan Austin Warren, adalah fiction, yang konsekuensinya kata ”Aku” dalam sajak Chairil Anwar
bukan ”aku”-nya pengarang, tetapi ”aku lirik”. Wellek dan Warren menyebutnya
”the dramatic I”. Maksudnya, ”aku”-nya milik sajak berjudul ”Aku” itu.
Pandangan
A Teeuw yang demikian ini begitu kenceng dan menular kepada sejumlah ahli
sastra di Yogya, yang melakukan pengulangan-pengulangan di depan mahasiswa.
Hasilnya, gagasan A Teeuw itu bagaikan sebuah ideologi yang membangkitkan
fanatisme. Konsekuen dengan konsep dasar ini, maka yang disebut sastra adalah
monumen dan bukan dokumen. Keduanya menandai peristiwa sejarah, tetapi
monumen tidak cukup sahih untuk menyusun suatu konstruk. Sebab, sejumlah
politisi dengan kepentingan-kepentingannya ikut membentuk monumen. Dokumen
dihadirkan dengan obyektif penyajian datanya serta bisa dikaji ulang dengan
pandangan kritis.
Tahun 1986
saya diundang ke Amerika untuk menjelaskan duduk perkara tentang sejumlah
larangan pemerintah, pada zaman pemerintahan Soekarno dan Soeharto tentang
peredaran buku. Dalam banyak kesempatan berdiskusi dengan mahasiswa sejarah
dan sastra serta teater, juga beberapa guru besar, saya mendapat pelajaran
baru bahwa antara novel dan sejarah tidak perlu dibedakan dengan pandangan
yang positivistik. Alasan Profesor Sanford Shepperd, yang merekomendasi saya
ke Amerika, adalah bahwa novel dan sejarah keduanya berbicara tentang fakta.
Sejarah menyajikan fakta lugas, sedangkan novel, cerita pendek, drama
menghadirkan fakta dengan penghayatan pengarang. Gordon Kelly menegaskan
bahwa penghayatan itulah menjadikan sejarah menjadi hidup. Ia mengambil
contoh perang saudara di Amerika, Civil Wars (1861-1865). Ada seorang
pengamat sastra mengatakan bahwa perang saudara itu, antara lain, disulut
oleh sebuah novel yang ditulis oleh Harriet Stowe berjudul Uncle Tom’s Cabin.
Duduk perkara
Apa yang
penting di sini adalah bahwa jika novel hanya dipandang fiction yang oleh A Teeuw sendiri diterjemahkan rekaan, bagaimana
karya Stowe bisa membakar perang yang mengerikan. Saya sendiri tak begitu
jelas bagaimana duduk perkaranya, tetapi yang terang dan jelas di samping ada
sejumlah buku sejarah yang menjelaskan tentang perang saudara, muncul sebuah
novel karya Robert Mitchell berjudul Gone
with the Wind bahkan kemudian dibuat film yang dibintangi Clark Gable. Di
UGM, mahasiswa-mahasiswi Pengajian Amerika diminta membaca novel dan menonton
film itu. Adapun hukumnya wajib!
Karena
saya mengikuti kelas Pengajian Amerika di Oberlin College, saya mewajibkan diri
membaca novel dan menonton film itu beberapa kali. Saya mendapat kesan, novel
dan filmnya sedikit berpihak kepada orang-orang Selatan. Orang-orang Utara
dan tentaranya digambarkan begitu brutal. Tetapi saya tak mengutuki novel
ataupun film itu sebab saya tak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam
perang saudara itu.
Seandainya
saya tahu sekalipun, saya tidak akan berbuat itu. Sebab, siapa tahu nanti ada
novelis dan sutradara lain yang membuat novel dan film dengan keberpihakan
yang sebaliknya. Dan seandainya itu terjadi, yang tampak ada perang saudara
Utara-Selatan tahun 1861-1865 itu merupakan l’histoire realite yang kemudian muncul sebuah novel dan film
dengan judul lain tetapi isunya sama, bahwa itu l’histoire recite. Dengan teori resepsi, Jauss menyusun buku
tentang sejarah penerimaan. Peristiwa perang-saudara dan novel serta film
itu, kiranya kelak, akan mewujud menjadi sejarah penerimaan perang-saudara
itu.
Di UGM
ada seorang tokoh yang dahsyat. Ia seorang sejarawan terkemuka dan seorang penulis
fiksi bahkan penyair papan atas. Beliau sudah almarhum, namanya Kuntowijoyo.
Sebagai seorang sejarawan dan penulis fiksi, ia pernah memberikan
pandangannya bahwa sejarawan dan novelis yang memandang fakta sebenarnya
sama. Yang berbeda, cara mereka menyikapi. Sejarawan, sesuai dengan ”soempah”-nya mencari kebenaran
peristiwa, harus bersikap kritis terhadap fakta; novelis tidak usah demikian.
Seperti dikatakan Ven Gillie di Oberlin College, novelis ingin mengalami
secara batin peristiwa sejarah itu, sedangkan seorang sejarawan menolak
melibatkan penghayatannya. Kalau saya tak salah tangkap, Ven Gillie melihat
seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, dan dramawan ingin bahwa
yang ia lihat, dengar, raba, cecap, dan sentuh menjadi satu dengan pengalamannya
sendiri, sehingga seperti Robert Mitchell melihat perang saudara di Amerika
sebagai perang yang tidak seimbang. Karena itu, baik novel Gone with the Wind dan filmnya terasa
memihak orang-orang Selatan.
Berangkat
dari konsep Jauss, novel terhadap peristiwa adalah responsnya, yang akan
direspons kelak oleh generasi mendatang. Peristiwa itu sendiri menjadi lebih
afdal ketika ditanggapi tak henti-henti.
Dari sana tampak, seperti dikatakan oleh Sanford Shepperd, sastra adalah rekaman sejarah intelektual. Marilah kita
tidak lagi pisahkan secara positivistik yang sebelah kiri: novel dan yang
sebelah kanan: sejarah. Keduanya harus dicatat, dapat tempat dan harus dibaca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar