Mungkir
Adi Andojo Soetjipto ;
Mantan Ketua Muda MA
|
KOMPAS,
12 Maret 2014
|
MUNGKIR
adalah suatu sikap seseorang yang tidak mau mengakui perbuatan (jahat) yang
dituduhkan kepadanya. Biasanya sikap ini diberikan terdakwa di depan sidang
pengadilan.
Berdasarkan
pengalaman saya, biasanya yang mungkir itu adalah orang-orang yang didakwa
melakukan kejahatan yang sifatnya sepele, seperti mencuri dan menipu
kecil-kecilan. Dari zaman dahulu sampai sekarang pun orang yang melakukan
pencurian kebanyakan adalah orang-orang miskin yang berpendidikan rendah
sehingga biasanya tidak peduli akan harga dirinya. Kadang-kadang hakim sampai
kesal menghadapi terdakwa yang mungkir demikian. Sebab, meskipun fakta di
persidangan, keterangan saksi-saksi sudah jelas mengarah ke kenyataan yang
sebenarnya, terdakwa tetap saja mungkir.
Kalau
saksi di depan sidang pengadilan yang memberikan keterangan bertentangan
dengan keadaan yang sebenarnya (biasanya saksi yang punya kepentingan
tertentu dengan terdakwa) itu namanya bukan mungkir, tetapi memberikan
keterangan palsu. Berbeda dengan sikap mungkir terdakwa yang merupakan ”hak”,
sikap saksi yang memberikan keterangan palsu dapat dipidana karena merupakan
kejahatan (Pasal 242 KUHP).
Ada juga
saksi yang tak punya kepentingan tertentu dengan terdakwa, tetapi memberikan
keterangan yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi untuk
kepentingannya sendiri. Ini juga termasuk ”memberikan keterangan palsu” dan
dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP.
Apa yang
kita hadapi sekarang terkait perkara para koruptor yang sedang diadili, di
banyak keterangan yang saling bertentangan antara terdakwa dan para saksi
atau antara saksi dan saksi sendiri? Bahkan, para saksi dari kalangan DPR
secara en-bloc menyangkal keterangan terdakwa dan saksi-saksi. Ini bagi orang
yang mengikuti pemberitaan dari media cetak ataupun elektronik sangat
membingungkan. Mana dari keterangan-keterangan itu yang benar?
Sekarang
pasti orang berpikir: kok, begitu rendahnya moral kaum intelektual kita,
sampai rela mengorbankan harga dirinya sampai sebegitu rendahnya, seperti
moral para maling yang mencuri karena terpaksa! Tidakkah mereka merasa bahwa
mereka, para saksi dalam perkara korupsi sekarang, adalah kaum intelektual
yang seharusnya menjunjung tinggi harga dirinya? Kalau memang ya, akui saja
secara ksatria: jangan jadi pengecut! Harga diri lebih penting daripada
ketakutan masuk bui. Pepatah Jawa mengatakan ajining diri gumantung saka
lati, yang berarti ’harga diri itu bergantung pada apa yang diucapkan
seseorang’.
Pada
akhirnya semuanya nanti bergantung pada putusan hakim. Kalau hakim
berkeyakinan dan memutuskan bahwa tindak pidana yang didakwakan terbukti dan
keterangan yang berbeda dianggap bohong belaka, kita mau apa? Bukankah rasa
malu yang kemudian harus ditanggung sendiri oleh sang koruptor? Tidakkah juga
jadi malu pada keluarga, malu pada tetangga, dan malu pada masyarakat?
Subhanallah, semoga hal itu jangan sampai terjadi pada anak cucu kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar